Sabtu, 13 Juni 2015

Syarat dan kaidah berdakwah kepada aqidah salafush shalih ahluss sunnah wal jama'ah

Syarat Dan Kaidah Berdakwah
kepada Aqidah Salafush Shalih
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku
seiman, bahwa dakwah kepada
aqidah Salafush Shalih tidak akan
teralisasi kecuali dengan tiga
syarat :
Syarat Dan Kaidah Berdakwah
kepada Aqidah Salafush Shalih
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku
seiman, bahwa dakwah kepada
aqidah Salafush Shalih tidak akan
teralisasi kecuali dengan tiga
syarat :
Pertama : Aqidah yang benar
Selamat aqidahnya. Maksudnya,
hendaklah kita ber’aqidah
sebagaimana aqidah salaf tentang
tauhid Rubuwiyah, Uluhiyyah,
Asma’ dan Shifat, serta semua
yang berkaitan dengan masalah
aqidah dan keimanan.
Kedua : Manhaj yang benar
Yaitu memahami al-Qur’an dan as-
Sunnah sesuai dengan pemahaman
Salafush Shalih, mengikuti prinsip
dan kaidah yang telah ditetapkan.
Ketiga : Pengalaman yang benar
Seorang yang berdakwah, mengajak
ummat kepada Islam yang benar,
maka ia harus beramal dengan
benar yaitu beramal semata-mata
ikhlas karena Allah dan
ittiba’(mengikuti) contoh
Rasulullah saw, tidak mengadakan
bid’ah baik dalam I’tiqad
(keyakinan), perbuatan atau
perkataan.
Sesungguhnya dakwah ke jalan
Allah Ta’ala merupakan amal yang
paling mulia dan ibadah yang
paling tinggi serta merupakan
kekhususan dari para utusan Allah
swt dan tugas dari para wali
(Allah) dan orang-orang yang
shalih yang paling istimewa. Allah
Ta’ala berfirman :
“Siapakah yang paling baik
perkataanya daripada orang yang
menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan
berkata : “Sesungguhnya saya
termasuk orang-orang yang
berserah diri.” (Fushshilat :33).
Rasulullah saw mengajarkan
kepada kita tentang bagaimana
seharusnya kita mengemban
dakwah ini kepada manusia,
bagaimana metode
menyampaikannya. Di dalam
sejarah peri kehidupan beliau saw
banyak pelajaran yang dapat kita
ambil bagi orang yang
menghendakinya.
Maka wajiblah bagi para juru
dakwah dalam menyerukan aqidah
Salaf agar mengikuti manhaj Nabi
saw dalam berdakwah. Tidak
diragukan lagi bahwa didalam
manhaj beliau saw terdapat
keterangan dan penjelasan yang
benar tentang ushub (metode)
berdakwah kepada Allah, sehingga
mereka tidak membutuhkan lagi
metode-metode bid’ah yang diada-
adakan oleh sebagian manusia.
Yang menyeslisihi manhaj dan peri
kehidupan beliau saw.
Oleh karena itu, wajib bagi para
juru dakwah untuk menyeru ke
jalan Allah Ta’ala seperti yang
telah dilakukan generasi Salafush
Shalih dengan memperhatikan
perbedaan waktu dan tempat.
Berangkat dari pemahaman yang
benar ini, maka saya berusaha
untuk menyebutkan sebagian
kaidah dan landasan bagi para
juru dakwah, dengan harapan
semoga hal ini bermanfaat dalam
perbaikan ummat yang kita
idamkan :
Kaidah dan Landasan para juru
Dakwah
1. Ketahuilah bahwa dakwah
kepada Allah Ta’ala itu merupakan
suatu jalan keselamatan baik di
dunia maupun di akhirat.
“Sungguh seseorang yang
diberikan hidayat oleh Allah
melalui jalan kamu hal itu lebih
baik bagimu daripada unta yang
merah (pilihan).” (Mutafaq ‘alaihi,)
(Sebagaimana hadits yang
diriwayatan oleh al-Bukhari
no.2942 dan Muslim no. 2406
(Syarah Muslim lin Nawawi
(XV/179), cet. Daar Ibnu al-
Haitsam) dari Sahabat Sahl bin
Sa’ad, dengan lafazh: “Maka demi
Allah, sungguh seseorang yang
diberikan hidayah oleh Allah
melalui dirimu, hal itu lebih baik
daripada unta yang merah (harta
yang paling berharga) bagimu”)
Pahala akan diperoleh hanya
dnegan sekedar berdakwah dan
tidak terkait dengan respon (obyek
dakwah). Juru dakwa tidak dituntut
untuk mereaisasikan kemenangan
agama Islam karena hal ini adalah
urusan Allah dan berada di
tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru
dakwah dituntut untuk
mencurahkan kemampuannya
dalam berdakwah.
Bagi juru dakwah memperisapkan
diri merupakan syarat. Pertolongan
Allah merupakan janji. Sedang
dakwah merupakan salah satu
bentuk dari jihad, terdapat titik
temu antara berdakwah dan jihad
dalam tujuan dan hasil.
2. Menegaskan dan memperdalam
manhaj Salafush Shalih yang
tertuang dalam manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, yang tekenal
dengan wasathiyah (pertengahan),
syumulliyah (universalitas), I’tidal
(moderat) dan jauh di ifrath
(berlebihan) dan tafrith
(melalaikan).
Landasannya adalah ilmu syar’I
yang konsisten terhadap al-Qur’an
dan as-Sunnah yang shalih.
Landasan inilah yang memelihara
dari ketergelinciran dengan
anugerah dari Allah dan
memberikan cahaya bagi orang
yang bertekad bulat untuk
berjalan di atas jalan para Nabi.
3. Berupaya untuk mewujudkan
jama’atul Muslimin (jama’ah kaum
Muslimin) dan menyatukan kalimat
mereka diatas kebenaran, yang
bersumber dari manhaj yang
menyatakan : “Kalimatut tauhid
(Laa Ilaaha Illallaah) merupakan
pokok untuk menyatukan brisan.”
Dengan menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang dapat
memecah belah kelompok-kelompok
Islam pada saat ini seperti
tahazzub (membuat partai-partai)
yang tercela, yang mencerai
beraikan barisan kaum Muslimin
bahkan menjauhkan antara hati
mereka.
Pemahaman yang benar bagi
setiap jama’ah dakwa kepada Allah
adalah : Suatu jama’ah dari kaum
Muslimin tidak dapta disebut
jama’ah kaum Muslimin
4. Loyalitas itu wajib untuk agama
bukan untuk para tokoh; karena
kebenaran akan kekal sedang para
tokoh akan wafat. Kenalilah
kebenaran itu niscaya kamu akan
mengenal penganutnya.
5. Menyeru untuk saling tolong
menolong dan (menyeru) kepada
segala sesuatu yang dapat
mewujudkannya. Menjahi dari
khilaf (perselisihan) dan dari
segala sesuatu yang dapat
menyebabkan khilaf tersebut.
Ohendaknya satu sama lain harus
tolong menolong dan nasehat
menasehati dalam hal yang kita
perselisihkan selama hal tersebut
dalam masalah khilafiyah dengan
tanpa saling membenci.
Prinsip yang harus ditegakkan
diantara kelompok-kelompok Islam
adalah : saling bekerja sama dan
bersatu. Jika hal tersebut tidak
dapat diwujudkan, maka
hendaknya saling hidup damai
berdampingan; kalau itupun tidak,
maka yang keempat adalah
kebinasaan,
6. Tidak fanatik kepada jama’ah
yang dianutnya. Bersikap
menyambut apapun upaya yang
terpuji yang telah diberikan oleh
orang lain, selama sesuai dengan
syari’at lagi jauh dari ifrath dan
tarfith.
7. Perselisihan dalam masalah
firi’ (cabang-cabang) syari’ah
menuntut sikap lapang dada dan
dialog, bukan permusuhan dan
pembunuhan.
8. Melakukan introspeksi, koreksi
yang kontinyu dan evalusi yang
berkesinambungan.
9. Belajar adab berselisih
pendapat, memperdalam dasar-
dasar diskusi dan menyatakan
bahwa kedua-duanya adalah
penting dan perlu seharusnya
dimiliki sarananya.
10. Jauh dari sikap memvonis
secara umum dan berhati-hati
dalam masalah ini serta tidak adil
dalam menghukumi setiap pribadi.
Termasuk keadilan adalah
menghukumi berdasarkan makna-
makna (yang tersirat) bukan yang
tersurat.
11. Membedakan antara tujuan
dan sarana; misalkan dakwah
adalah tujuan, sedangkan
pergerakan, jama’ah dan markas
(Islamic Center) dan lain-lain
merupakan sarana.
12. Teguh dalam tujuan fleksibel
dalam sarana berdakwah sesuai
yang diperbolehkan oleh syari’at.
13. Memperhatikan masalah
prioritas dan menyusun segala
sesuatu secara berurutan sesuai
dengan kepentingannya. Jika perlu
ada sesuatu masalah yang
sekunder, maka harus
memperhatikan waktu, tempat dan
kondisi yang tepat.
14. Tukar-menukar pengalaman
diantara para juru dakwah adalah
hal yang penting an membangun
diatas pengalaman orang yang
mendahului. Seorang juru dakwah
hendaknya jangan memulai dair
kosong (nol). Bukanlah dia orang
pertama yang tampil berkhidmah
kepada agama ini dan juga bukan
orang yang terakhir. Karena sekali-
kali tidak akan ada orang yang
tidak perlu nasehat dan petunjuk;
atau tidak akan ada orang yang
memonopoli seluruh kebenaran
dan sebaliknya.
15. Menghormati para ulama
ummat yang dikenal dengan
konsistensinya terhadap as-Sunnah
dan ‘aqidah yang benar,
mengambil ilmu darinya,
mengormatinya, tidak bersikap
sombong padanya, menjaga
kehormatannya, tidak meragukan
niat baiknya, tidak fanatik
kepadanya dan tidak menuduh
mereka. Karena setiap orang alim
ada benar dan salahnya. Kealahan
dari orang laim ter sebut ditolak,
tanpa mengurangi keutamaan dan
kdudukannya selama dia seorang
mujtahid.
16. Berbaik sangka kepada kaum
muslimin dan membawa
perkataannya kepada pengertian
yang terbaik serta menuntuk cacat
mereka, tanpa melalaikan untuk
memberikan keterangan kepada
orang yang bersangkutan.
17. Jika kebaikan seseorang lebih
banyak, maka tidak disebut
kejelekannya kecuali kalau ada
maslahatnya. Jika kejelekannya
lebih banyak, maka kebaikannya
tidak disebut, karena takut
menjadikan rancu perkaranya bagi
orang awam.
18. Menggunakan kata-kata yang
syar’I karena lebih tepat dan
sesuai, dan menjauhi kata-kata
asing, dan pelik seperti :
musyawarah bukan demokrasi.
19. Sikap yang benar atas
madzhab-madzhab fiqih : bahwa ia
merupakan kekayaan fiqih yang
agung, wajib bagi kita
mempelajarinya, mengambil
manfaat darinya dan tidak fanatik
serta tidak menolaknya secara
keseluruhan. Kit ahendaknya
menjauhi pendapat yang lemah
dan mengambil yang haq dan
benar menurut tuntunan al-Qur’an
dan as-Sunnah dengan
pemahaman Salafush Shalih.
20. Menetapkan sikap yang benar
terhadap dunia bara dan
peradabannya, yaitu dengan
mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan empiris mereka
sesuai dengan kaidah-kaidah dan
ketentuan-ketentuan agama kita
yang agung ini.
21. Mengakui urgensi musyawarah
dalam berdakwah dan keharusan
juru dakwah mempelajari tentang
fiqih musyawarah.
22. Suri tauladan yang baik.
Seorang juru dakwah merupakan
cerminan dan contoh hidup dalam
misi dakwahannya.
23. Mengikuti metode hikmah dan
nasehat yang baik serta
menjadikan firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan
Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebih
baik ….” (An-Nahl : 125)
sebagai neraca dalam berdakwah
dan hikmah untuk diikuti.
24. Berhias diri dengan kesabaran,
karena itu merupakan sifat dari
para Nabi dan utusan Allah serta
penunjang keberhasilan dalam
dakwahnya.
25. Jauh dari tasyaddud
(mempersulit) dan berhati-hati
dari penyakit tasyaddud dan
hasilnya yang negatif. Berbuat
kemudahan dan lemah lembut
dalam batas-batas yang
diperbolehkan oleh syari’at.
26. Seorang muslim selalu mencari
kebenaranl dan k eberanian dalam
mengatakan kebenaran sangat
dibutuhkan dalam berdakwah. Jika
kamu lemah untuk mengatakan
yang benar maka janganlah
mengatakan yang bathil.
27. Berhati-hati terhadap futur
(patah semangat) dan hasilnya
yang negatif serta tidak lalai
dalam mempelajari sebab dan
solusinya.
28. Waspada terhadap segala isu
(kabar angin) dan
menyebarluaskannya serta hal-hal
negatif yang ditimbulkannya pada
masyarakat Islam.
29. Barometer keistimewaan
seseorang adalah takwa dan amal
shalih; dan mengenyampingkan
segala fanatisme jahiliyah seperti
fantisme daerah, keluarga,
kelompok maupun jama’ah.
30. Manhaj (metode) yang afdhal
dalam berdakwah adalah memulai
dengan mengemukakan hakikat
Islam yang manhajnya. Bukan
mendatangkan syubuhat lalu
membatahnya. Kemudian
memberikan kepada manusia
neraca kebenaran, mengajak
mereka pada pokok-pokok agama
dan berbicara kepada mereka
menurut kemampuan akal pikir
mereka. Mengetahui celah untuk
memasuki jiwa mereka merupakan
pintu masuk untuk memberikan
hidayah kepada mereka.
31. Para juru dakwah dan
pergerakan Islam hendaknya
senantiasa menjaga hubungan
dengan Allah Ta’ala,
mempersembahkan upaya
manusiawi, meminta pertolongan
kepada Allah Ta’ala dan meyakini
bahwa Allah-lah yang membimbing
dan mengarahkan perjalanan
dakwah serta Dialah yang akan
melimpahkan taufik bagi para da’i.
sesungguhnya agama dan segala
urusan ini adalah milik Allah
Ta’ala.
Itulah beberapa kaidah dan
manfaat yang merupakan buah
pikiran dari pengalaman
kebanyakan para ulama dan juru
dakwah.
Hendaknya kita ketahui dengan
yakin bahwa para juru dakwah
seandainya mereka mengerti
kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini
dan mengamalkannya, pasti
mereka akan mendapatkan
kebaikan yang banyak dalam
perjalanan dakwah.
Hendaknya seluruh juru dakwah
mengetahui bahwa tidak ada
keberhsailan dalam dakwahnya
kecuali dengan menjalin hubungan
dengan Allah Ta’ala, bertawakkal
kepada-Nya dalam segala urusan,
memohon Taufiq-Nya, niat yang
ikhlash, bersih dari keinginan
hawa nafsu dan menjadikan segala
perkara hanya milik Allah Ta’ala.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah
bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-
Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih
(Ahlis Sunnah wal Jama’ah) , atau
Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal
Jama’ah ), terj. Farid bin
Muhammad Bathathy (Pustaka
Imam Syafi’i, cet.I), hlm.255 – 262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar