Rabu, 17 Juni 2015

Berjabat tangan

Al Hattab (ulama madzhab
Malikiyah) mengatakan: “Para ulama
kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat
tangan artinya meletakkan telapak
tangan pada telapak tangan orang
lain dan ditahan beberapa saat,
selama rentang waktu yang cukup
untuk menyampaikan
salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An
Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat
tangan adalah melekatkan telapak
tangan pada telapak tangan yang
lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah
bahwasanya jabat tangan adalah
satu hal yang disepakati sunnahnya
(untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum
asal jabat tangan adalah satu hal
yang baik menurut umumnya
ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari
Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku
untuk jabat tangan yang dilakukan
antara sesama laki-laki atau sesama
wanita.
Berikut adalah dalil-dalil
dianjurkannya jabat tangan:
Qatadah bertanya kepada Anas bin
Malik: “Apakah jabat tangan itu
dilakukan diantara para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al
Bukhari, 5908)
Abdullah bin Hisyam mengatakan:
“Kami pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
sementara beliau memegang tangan
Umar bin Al Khattab.” (HR. Al
Bukhari 5909)
Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku
masuk masjid, tiba-tiba di dalam
masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Kemudian Thalhah bin
Ubaidillah berlari menyambutku,
menjabat tanganku dan memberikan
ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al
Bukhari 4156)
Dan beberapa hadis lainnya yang
akan disebutkan dalam pembahasan
keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya
Imam Malik membenci jabat tangan.
Dan ini merupakan pendapat
Syahnun dan beberapa ulama
Malikiyah. Pendapat ini berdalil
dengan firman Allah ta’ala ketika
menceritakan salamnya Malaikat
kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Allah berfirman, yang artinya:
“(Ingatlah) ketika mereka masuk ke
tempatnya lalu mengucapkan:
‘Salaamun’ Ibrahim menjawab:
“Salaamun (kamu) adalah orang-
orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad
Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya
menyampaikan salam kepada Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka
tidak bersalaman. Sehingga
Malikiyah berkesimpulan bahwa di
antara kebiasaan orang saleh (nabi
Ibrahim & para Malaikat) adalah
tidak berjabat tangan ketika ketemu,
tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat
Imam Malik yang terkenal adalah
beliau menganjurkan jabat tangan.
Hal ini dikuatkan dengan sebuah
riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah
pernah menemui beliau dan Imam
Malik bersalaman dengan Sufyan.
Kemudian Imam Malik mengatakan:
“Andaikan bukan karena bid’ah,
niscaya aku akan memelukmu.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan:
“Orang yang lebih baik dari pada
aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memeluk
Ja’far ketika pulang dari negeri
Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus
(untuk Ja’far).” Komentar Sufyan:
“Tidak, itu umum. Apa yang berlaku
untuk Ja’far juga berlaku untuk kita,
jika kita termasuk orang saleh
(mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah
Al Kuwaitiyah , 2/13949)
Kesimpulannya , bahwasanya
pendapat yang paling tepat adalah
dianjurkannya berjabat tangan antar
sesama. Mengingat banyak dalil
yang menegaskan hal tersebut.
Sedangkan adanya pendapat yang
menyelisihi hal ini terlalu lemah
ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
1. Terampuninya dosa
Dari Al Barra’, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah
dua orang muslim bertemu
kemudian berjabat tangan kecuali
akan diampuni dosa keduanya
selama belum berpisah.” (Shahih
Abu Daud , 4343)
Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya seorang
mukmin jika bertemu dengan
mukmin yang lain, kemudian dia
memberi salam dan menjabat
tangannya maka dosa-dosa keduanya
akan saling berguguran sebagaimana
daun-daun pohon
berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al
Mundziri dalam At Targhib dan
dishahihkan Syaikh Al Albani dalam
As Shahihah, 525)
2. Menimbulkan rasa cinta antara
orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Maukah kalian aku
tunjukkan suatu perbuatan yang jika
kalian lakukan maka kalian akan
saling mencintai?” yaitu:
“Sebarkanlah salam di antara
kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan
salam bisa menimbulkan rasa cinta
maka lebih lagi jika salam tersebut
diiringi dengan jabat tangan.
3. Menimbulkan ketenangan jiwa
4. Menghilangkan kebencian dalam
hati
“Lakukanlah jabat tangan, karena
jabat tangan bisa menghilangkan
permusuhan.”  Tetapi hadis ini
didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad
Dha’ifah , 1766)
“Lakukanlah jabat tangan, itu akan
menghilangkan kedengkian dalam
hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam
Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh
Syaikh Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam
masalah ini, namun semuanya tidak
lepas dari cacat. Di antaranya
adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah
terbukti dalam realita bahwa
berjabat tangan memiliki pengaruh
dalam menghilangkan kedengkian
hati dan permusuhan.
5. Berjabat tangan merupakan ciri
orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Penduduk Yaman telah
datang, mereka adalah orang yang
hatinya lebih lembut dari pada
kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu berkomentar tentang sifat
mereka: “Mereka adalah orang yang
pertama kali mengajak untuk
berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212
& dishahihkan Syaikh Al Albani, As
Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa penduduk
Yaman adalah orang yang hatinya
lebih lembut dari pada para
sahabat. Di antara ciri khas mereka
adalah bersegera untuk mengajak
jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat
Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
“Ulama berbeda pendapat dalam
menghukumi mencium tangan ketika
bersalaman. Imam Malik
melarangnya, sementara yang lain
membolehkannya.” (Syarh Shahih Al
Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh
ulama yang membolehkan adalah:
Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik,
serta dua sahabat lainnya (yang
diboikot karena tidak mengikuti
perang tabuk) mencium tangan Nabi
Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika
taubat mereka diterima oleh Allah.
(HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail &
Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al
Hafizh dalam Al Fath tanpa
komentar)
Abu Ubaidah mencium tangan Umar
ketika datang dari Syam (HR. Sufyan
dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al
Hafizh dalam Al Fath tanpa
komentar)
Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn
Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan
tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari
& Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al
Hafizh dalam Al Fath tanpa
komentar)
Usamah bin Syarik mengatakan:
“Kami menyambut Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kami mencium
tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata
Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat
lainnya yang menunjukkan bolehnya
mencium tangan ketika berjabat
tangan. Bahkan Ibn Al Maqri
menulis buku khusus yang
mengumpulkan beberapa riwayat
tentang bolehnya mencium tangan
ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat
bahwasanya mencium tangan ini
diperbolehkan jika tidak sampai
menimbulkan perasaan
mengagungkan kepada orang yang
dicium tangannya dan merasa
rendah diri di hadapannya. Karena
hal ini telah masuk dalam batas
kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad
‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur
Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium
tangan seseorang karena sifat
zuhudnya, salehnya, amalnya,
mulianya, sikapnya dalam menjaga
diri dari dosa, atau sifat keagamaan
yang lainnya adalah satu hal yang
tidak makruh. Bahkan dianjurkan.
Akan tetapi jika mencium tangan
karena kayanya, kekuatannya, atau
kedudukan dunianya adalah satu hal
yang makruh dan sangat di benci.
Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli
mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul
Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan
ulama di atas dan dengan
mengambil keterangan ulama yang
lain, disimpulkan bahwa mencium
tangan diperbolehkan dengan
beberapa persyaratan:
Tidak sampai menimbulkan sikap
mengagungkan orang yang dicium
Tidak menimbulkan sikap
merendahkan diri di hadapan orang
yang dicium
Karena kemuliaan dan kedudukan
dalam agama dan bukan karena
dunianya
Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga
mengubah sunnah jabat tangan
biasa
Orang yang dicium tidak
menjulurkan tangannya kepada
orang yang mencium (keterangan
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan
Jenis
Masalah ini termasuk di antara
kajian yang banyak menjadi tema
pembahasan di beberapa kalangan
dan kelompok yang memiliki
semangat dalam dunia islam. Tak
heran, jika kemudian pembahasan
ini meninggalkan perbedaan
pendapat yang cukup meruncing.
Sebagian mengharamkan secara
mutlak, sebagian membolehkan
dengan bersyarat, bahkan sebagian
berpendapat sangat longgar. Tulisan
ini bukanlah dalam rangka
menghakimi dan memberi kata putus
untuk perselisihan pendapat
tersebut. Namun tidak lebih dari
sebatas usaha untuk menerapkan
firman Allah: “Jika kalian berselisih
pendapat dalam masalah apapun
maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul, jika kalian adalah orang
yang beriman kepada Allah dan hari
akhir.” (QS. An Nisa': 59)
Agar kajian lebih sistematis,
pembahasan masalah ini akan
diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama , Perbedaan pendapat
ulama dalam masalah jabat tangan
dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Diperbolehkan melakukan jabat
tangan dengan persyaratan aman
dari munculnya syahwat dari kedua
pihak orang yang berjabat tangan.
Sehingga mereka membedakan
antara yang tua dan yang masih
muda. Berdasarkan kemungkinan
munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Mazhab ini secara tegas melarang
jabat tangan, dan tidak
membedakan antara yang sudah tua
maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
Sebagian syafi’iyah membolehkan
jabat tangan dengan syarat adanya
benda yang melapisi dan aman dari
munculnya fitnah atau syahwat yang
mengarah pada perzinaan. Sebagian
yang lain melarang secara mutlak.
Dan pendapat kedua ini adalah
pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di
antaranya adalah An Nawawi dan
Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Dalam mazhab ini ada dua
pendapat. Pertama melarang secara
mutlak tanpa membedakan antara
yang muda, yang tua dan yang
kedua memakruhkan jika dilakukan
dengan yang sudah tua.
Pendapat yang lebih kuat, akan
disimpulkan di akhir pembahasan
ini.
Kedua , Apakah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berjabat
tangan dengan wanita?
Dari Umaimah binti Raqiqah
radhiyallahu ‘anhuma, beliau
mengatakan: “Aku mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama sekelompok wanita yang
membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk masuk islam. Para
wanita itu mengatakan: “Wahai
Rasulullah, kami berbaiat (berjanji
setia) kepadamu untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak kami,
tidak berbohong dengan
menganggap anak temuan sebagai
anak dari suami, dan menaatimu
dalam setiap perintah dan
laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan: “Dalam masalah
yang kalian bisa dan kalian mampu.”
Para wanita itu mengatakan: “Allah
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam lebih menyayangi kami dari
pada diri kami sendiri, mendekatlah,
kami akan membaiatmu wahai
Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “ Sesungguhnya aku tidak
berjabat tangan dengan wanita
(yang bukan mahram) , ucapanku
untuk seratus wanita itu
sebagaimana ucapanku untuk satu
wanita.” (HR. Ahmad 6/357 &
disahihkan Syaikh Al Albani dalam
As Shahihah, 2/64)
A’isyah Radhiyallahu ‘anha
mengatakan: “Jika ada wanita
mukmin yang berhijrah kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
mengujinya, berdasarkan firman
Allah dalam surat Al Mumtahanah
ayat 10. “Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan
mereka… Hai Nabi, apabila datang
kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman untuk mengadakan
baiat, bahwa mereka tiada akan
menyekutukan Allah, tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak
akan membunuh anak-anaknya, tidak
akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang
baik, maka terimalah baiat
mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat
10 s/d ayat 12)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha :
“Wanita mukmin yang menerima
perjanjian ini berarti telah lulus
ujian. Sementara jika para wanita
telah menerima perjanjian tersebut
secara lisan maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan kepada
mereka: ‘Pergilah, karena aku telah
menerima baiat kalian’ . Dan demi
Allah! Tangan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyentuh
tangan wanita (tersebut)
sedikitpun. Beliau hanya membaiat
dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari,
7214)
Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash
mengatakan: “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah menyentuh tangan wanita
ketika baiat. ” (HR. Ahmad 2/213 &
dishahihkan Syaikh Al Albani dalam
As Shahihah 530)
Riwayat-riwayat secara tegas
menunjukkan bahwa baiat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
para wanita adalah secara lisan, dan
tidak dengan berjabat tangan. Hadis
ini sekaligus menunjukkan
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah melakukan
jabat tangan dengan wanita asing di
selain momen baiat. Hal ini dapat
dipahami melalui dua alasan:
Pertama , Karena Baiat adalah
peristiwa sangat penting dalam
sejarah hidup seseorang. Momen
baiat merupakan momen yang
sangat mendesak untuk diiringi
dengan jabat tangan. Karena ini
akan lebih menunjukkan keseriusan
dan kesungguhan dalam baiat. Oleh
karena itu, para wanita yang
berbaiat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka mengajak
beliau untuk berjabat tangan.
Namun demikian, Beliau
menolaknya. Artinya, terdapat faktor
pendorong yang sangat kuat bagi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melakukan jabat tangan
dengan wanita asing.
Kedua , Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang yang paling
bertakwa kepada Allah, manusia
yang ma’shum (terjaga dari
kesalahan), sehingga sangat kecil
kemungkinan munculnya niat jahat
dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam jika harus berjabat tangan
dengan wanita. Artinya, faktor
penghalang yaitu munculnya niat
jahat, sehingga menyebabkan jabat
tangan ini menjadi perbuatan
maksiat karena diiringi dengan
syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah
posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk melakukan jabat
tangan. Ada faktor pendorong yang
kuat  dan tidak adanya faktor
penghalang. Namun demikian,
beliau tidak bersedia melakukan
jabat tangan dengan wanita asing.
Semua ini menunjukkan bahwasanya
bagian dari syariat beliau adalah
meninggalkan jabat tangan dengan
wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana
yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan
At Tsa’labi: ulama sepakat
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak pernah
menyentuhkan tangannya dengan
wanita yang bukan mahramnya sama
sekali. Dengan adanya nukilan ijma’
ini, diharapkan bisa memutus segala
perselisihan apakah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan
jabat tangan dengan wanita ataukah
tidak. Dengan demikian, semua
hadis yang secara tidak jelas
mengisyaratkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berjabat tangan dengan wanita,
dikembalikan pada kesimpulan tegas
ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah
berjabat tangan dengan wanita
asing.
Ketiga , Apakah sikap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan
menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa
sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam meninggalkan suatu
perbuatan tidaklah menunjukkan
bahwa perbuatan tersebut haram
secara mutlak. Tetapi hanya
menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat
kami tentang sikap Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggalkan
suatu perbuatan sama dengan
pendapat kami tentang status
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam semata.” ( Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan
statusnya untuk diikuti
sebagaimana sikap beliau dalam
melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya menunjukkan hukum sunah,
sebagaimana semata-mata sikap
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan
hanya menunjukkan hukum makruh.
Pendapat ini dinisbahkan kepada
Imam As Syafi’i, oleh karena itu
banyak diikuti oleh ulama
mazhabnya. Di antaranya adalah Al
Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As
Shairafi. Pendapat ini juga yang
dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan
adalah satu pendapat Imam Ahmad
yang kemudian dipilih oleh Abul
Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il,
dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan:
“Ini adalah pendapat para peneliti
di antara ahli hadis. Penulis kitab Al
Hawi mengatakan: “ini adalah
pendapat kebanyakan
ulama'” (Af’alur Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam, 66). (lihat
Keterangan di atas dalam Mushafaha
Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Berdalil dengan hadis-hadis yang
menegaskan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak berjabat
tangan dengan wanita asing tidak
cukup untuk menghukumi haramnya
berjabat tangan dengan wanita.
Karena semata-mata Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan
hanya menunjukkan hukum makruh.
Untuk menegaskan hukum haram,
memerlukan dalil khusus yang
menegaskannya. Lalu, apakah ada
dalil tegas yang melarang perbuatan
tersebut?
Keempat , Hadis-hadis yang secara
tegas melarang jabat tangan dengan
lawan jenis:
Pertama , Dari Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala
seseorang ditusuk dengan jarum
besi, itu lebih baik dari pada dia
menyentuh tangan wanita yang tidak
halal baginya.” (HR. At Tabrani
dalam Al Mu’jam Al Kabir ,
20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al
Musnad , 2/323/1283)
Hadis ini dibawakan oleh At
Thabrani dengan sanad berikut: Dari
Abdan bin Ahmad, dari Ali bin
Nashr, dari Syaddad bin Said, dari
Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin
Yasar mengatakan: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka
cukup untuk menjadi pemutus
perselisihan ulama dalam masalah
ini. Sehingga siapapun yang
berpendapat sebaliknya, layak untuk
digelari dengan pengekor hawa
nafsu. Namun hadis ini memiliki
cacat. Berikut keterangan
selengkapnya: Keterangan ulama
tentang status hadis ini :
Ibn Hajar Al haitami mengatakan:
“Sanadnya sahih.” (Az Zawajir , 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan:
“Perawinya adalah para perawi kitab
shahih.” ( Al Majma’uz Zawaid , 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis
ini sanadnya jayyid” (As Shahihah,
1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad
Abyadh menjelaskan secara lebih
terperinci sebagai berikut: “Semua
perawi hadis ini adalah perawi yang
terdapat dalam Al Bukhari & Muslim.
Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau
hanya terdapat dalam shahih
muslim dan hanya meriwayatkan
satu hadis saja dalam shahih
Muslim. Sebagian ulama, semacam
Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap
Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari
mengatakan tentang perawi ini:
“ Shaduq namun hafalannya agak
rusak.”… Ibn Hibban mengatakan:
“Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin
Sa’id menyelisihi riwayat perawi
yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah
dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu , secara mauquf
(perkataan Ma’qil bin Yasar dan
bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ). Ma’qil mengatakan:
“Kalian bersengaja membawa jarum
kemudian menusukkannya ke
kepalaku, itu lebih aku sukai dari
pada kepalaku dimandikan oleh
wanita yang bukan mahram. (HR.
Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf
3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah
perawi yang terdapat dalam shahih
Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena
itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih
didahulukan dari pada riwayat
Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al
Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan
sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat
disimpulkan bahwa riwayat di atas
bukanlah hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Akan tetapi
perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu .
Kedua , Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap
anak Adam bagian dari perbuatan
zina. Pasti dia alami dan tidak bisa
mengelak. Dua mata zinanya
melihat, dua telinga zinanya
mendengar, lidah zinanya berbicara,
tangan zinanya menyentuh, kaki
zinanya melangkah, hati zinanya
berangan-angan, dan kemaluan yang
akan membenarkan atau
mendustakan itu semua.” (HR.
Muslim 6925)
Beberapa keterangan untuk hadis
ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa
setiap anak Adam ditakdirkan untuk
melakukan perbuatan zina. Di antara
mereka ada yang melakukan zina
sesungguhnya, yaitu memasukkan
kemaluan ke dalam kemaluan. Di
antara mereka ada yang zinanya
tidak sungguhan, dengan melihat
hal-hal yang haram, atau
mendengarkan sesuatu yang
mengarahkan pada perzinaan dan
usaha-usaha untuk mewujudkan
zina, atau dengan bersentuhan
tangan, atau menyentuh wanita
asing dengan tangannya, atau
menciumnya…” (Syarh Shahih
Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini
dalam kitab Shahihnya. Beliau
meletakkan hadis ini di bawah judul:
“Bab Penggunaan istilah zina untuk
tangan yang menyentuh sesuatu
yang tidak halal.” ( Shahih Ibn
Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn
Hibban memberikan judul: “Bab,
digunakan istilah zina untuk anggota
badan yang melakukan suatu
perbuatan yang merupakan cabang
dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban,
10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab
shahihnya yang dilakukan Ibn
hibban di sini menunjukkan bahwa
beliau memahami bahwa kasus
pelanggaran yang dilakukan anggota
tubuh yang mengantarkan zina
adalah bentuk perbuatan zina.
Karena penamaan judul bab para
penulis hadis adalah pernyataan
pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan
istilah zina untuk kasus ini dalam
bentuk majaz (bukan zina
sesungguhnya dengan kemaluan, -
pen).” (Ahkam Al Qur’an , 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa
digunakan untuk semua anggota
badan yang melakukan pelanggaran,
karena perbuatan tersebut
merupakan pengantar terjadinya
perzinaan. Sedangkan zina yang
hakiki adalah zina kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu ) dapat
disimpulkan bahwa jabat tangan
dengan lawan jenis yang bukan
mahram dengan disertai syahwat
adalah perbuatan haram baik oleh
orang muda maupun tua, karena
perbuatan ini termasuk bagian
perbuatan zina.
Ketiga : Penjelasan Sinqithi yang
berdalil dengan perintah untuk
menundukkan pandangan.
Allahu a’lam …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar