Selasa, 16 Juni 2015

Bagaimana hukum pakai batu akik?

Bagaimana hukum memakai
cincin batu akik? Apakah boleh
ataukah haram dan dihukumi
syirik?
Asal Pakai Cincin itu Boleh
Hal ini berdasarkan riwayat
dari Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu , ia berkata,
ﻛَﺘَﺐَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ – ﺃَﻭْ
ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻜْﺘُﺐَ – ﻓَﻘِﻴﻞَ ﻟَﻪُ
ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻻَ ﻳَﻘْﺮَﺀُﻭﻥَ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﺇِﻻَّ
ﻣَﺨْﺘُﻮﻣًﺎ . ﻓَﺎﺗَّﺨَﺬَ ﺧَﺎﺗَﻤًﺎ ﻣِﻦْ
ﻓِﻀَّﺔٍ ﻧَﻘْﺸُﻪُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٌ ﺭَﺳُﻮﻝُ
ﺍﻟﻠَّﻪِ . ﻛَﺄَﻧِّﻰ ﺃَﻧْﻈُﺮُ ﺇِﻟَﻰ
ﺑَﻴَﺎﺿِﻪِ ﻓِﻰ ﻳَﺪِﻩِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah menulis atau
ingin menulis. Ada yang
mengatakan padanya, mereka
tidak membaca kitab kecuali
dicap. Kemudian beliau
mengambil cincin dari perak
yang terukir nama ‘Muhammad
Rasulullah’. Seakan-akan saya
melihat putihnya tangan
beliau.” (HR. Bukhari no. 65
dan Muslim no. 2092)
Baca selengkapnya: Cincin
Perak Bagi Pria.
Keyakinan pada Batu Akik
Kalau batu akik dipakai sebagai
hiasan di jari saja tak jadi
masalah besar. Yang jadi
masalah adalah jika diyakini
sebagai batu akik tersebut
sebagai penglaris, pengasihan,
pelindung diri, pencegah
penyakit, dan keyakinan lainnya
yang tak terbukti ilmiahnya.
Berdasarkan keterangan dari
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam
Fathu Dzil Jalali wal Ikram (15:
217), ada tiga sebab yaitu bisa
jadi terbukti secara syar’i (ada
dalil), bisa jadi terbukti secara
eksperimen, yang ketiga itu
tidak terbukti secara syar’i dan
eksperimen. Itu sebab jenis
ketiga ini termasuk kesyirikan
menurut beliau.
Jika ada yang memakai batu
cincin akik lebih dari sekedar
dipakai, yaitu punya keyakinan
tambahan seperti batu akik
dianggap sebagai penglaris
dagangan, sebagaian
pengasihan, diyakini sebagai
pencegah dan penyembuh
penyakit tanpa ada bukti
ilmiah, berarti termasuk dalam
kesyirikan.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻣَﻦْ ﺧَﻠَﻖَ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗُﻞْ ﺃَﻓَﺮَﺃَﻳْﺘُﻢْ ﻣَﺎ
ﺗَﺪْﻋُﻮﻥَ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥْ
ﺃَﺭَﺍﺩَﻧِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻀُﺮٍّ ﻫَﻞْ ﻫُﻦَّ
ﻛَﺎﺷِﻔَﺎﺕُ ﺿُﺮِّﻩِ ﺃَﻭْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻧِﻲ
ﺑِﺮَﺣْﻤَﺔٍ ﻫَﻞْ ﻫُﻦَّ ﻣُﻤْﺴِﻜَﺎﺕُ
ﺭَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻗُﻞْ ﺣَﺴْﺒِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞُ ﺍﻟْﻤُﺘَﻮَﻛِّﻠُﻮﻥَ
“Dan sungguh jika kamu
bertanya kepada mereka:
“Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?”, niscaya
mereka menjawab: “Allah”.
Katakanlah: “Maka terangkanlah
kepadaku tentang apa yang
kamu seru selain Allah, jika
Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu
dapat menghilangkan
kemudharatan itu , atau jika
Allah hendak memberi rahmat
kepadaku, apakah mereka dapat
menahan rahmat-Nya?.
Katakanlah: “Cukuplah Allah
bagiku”. Kepada-Nya-lah
bertawakkal orang-orang yang
berserah diri. ” (QS. Az Zumar:
38)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan
Alu Syaikh rahimahullah –
penulis Fathul Majid– berkata,
“Ayat ini dan semisalnya adalah
dalil yang menunjukkan tidak
bolehnya menggantungkan hati
kepada selain Allah ketika ingin
meraih manfaat atau menolak
bahaya. Ketergantungan hati
kepada selain Allah dalam hal
itu termasuk
kesyirikan.“ ( Fathul Majid,
127-128). Sama halnya
ketergantungan hati (tawakkal)
hati pada benda seperti batu
akik.
Dari ‘Imron bin Hushain
radhiyallahu ‘anhu , ia berkata,
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
-ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﺃَﺑْﺼَﺮَ ﻋَﻠَﻰ
ﻋَﻀُﺪِ ﺭَﺟُﻞٍ ﺣَﻠْﻘَﺔً ﺃُﺭَﺍﻩُ ﻗَﺎﻝَ
ﻣِﻦْ ﺻُﻔْﺮٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﻭَﻳْﺤَﻚَ ﻣَﺎ
ﻫَﺬِﻩِ ‏». ﻗَﺎﻝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺍﻫِﻨَﺔِ
ﻗَﺎﻝَ ‏« ﺃَﻣَﺎ ﺇِﻧَّﻬَﺎ ﻻَ ﺗَﺰِﻳﺪُﻙَ
ﺇِﻻَّ ﻭَﻫْﻨﺎً ﺍﻧْﺒِﺬْﻫَﺎ ﻋَﻨْﻚَ
ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﻟَﻮْ ﻣِﺖَّ ﻭَﻫِﻰَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ
ﻣَﺎ ﺃَﻓْﻠَﺤْﺖَ ﺃَﺑَﺪﺍً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melihat di
lengan seorang pria terdapat
gelang yang dinampakkan
padanya. Pria tersebut berkata
bahwa gelang itu terbuat dari
kuningan. Lalu beliau berkata,
“Untuk apa engkau
memakainya? ” Pria tadi
menjawab, “(Ini dipasang untuk
mencegah dari) wahinah
(penyakit yang ada di lengan
atas).” Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lantas bersabda,
“Gelang tadi malah
membuatmu semakin lemah.
Buanglah! Seandainya engkau
mati dalam keadaan masih
mengenakan gelang tersebut,
engkau tidak akan beruntung
selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445
dan Ibnu Majah no. 3531) [1] .
Dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim
(43: 179), dari Hudzaifah, di
mana ia pernah melihat
seseorang memakai benang
untuk mencegah demam,
kemudian ia memotongnya.
Lantas Hudzaifah membacakan
firman Allah Ta’ala ,
ﻭَﻣَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ
ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻣُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ
“Dan sebahagian besar dari
mereka tidak beriman kepada
Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-
sembahan lain).” (QS. Yusuf:
106)
Begitu pula Waki’ pernah
meriwayatkan dari Hudzaifah.
Beliau pernah mengunjungi
orang sakit. Lantas beliau
melihat-lihat di lengan atas
orang sakit tersebut dan
mendapati benang. Hudzaifah
pun bertanya, “Apa ini?” “Ini
adalah sesuatu yang bisa
menjagaku dari rasa sakit
tersebut”, jawab orang sakit
tadi. Lantas Hudzaifah pun
memotong benang tadi. Lantas
Hudzaifah berkata, “Seandainya
engkau mati dalam keadaan
engkau masih mengenakan
benang ini, aku tidak akan
menyolatkanmu” ( Fathul Majid ,
132).
Lihatlah bagaimana sikap keras
para sahabat bagi orang yang
mengenakan jimat untuk
melindungi dirinya dari sakit,
dalam rangka meraih maslahat.
Jimat tersebut sampai
dipotong, walau tidak diizinkan.
Dalam penjelesan di atas
menunjukkan bahwa seseorang
bisa berdalil dengan ayat yang
menjelaskan tentang syirik
akbar (besar) untuk maksud
menjelaskan syirik ashgor
(kecil) karena kedua-duanya
sama-sama syirik (Lihat Fathul
Majid, 132).
Kesimpulannya, memakai batu
akik asalnya boleh selama tidak
ada keyakinan syirik di
dalamnya. Yang jadi masalah
adalah jika diyakini sebagai
batu akik tersebut sebagai
penglaris, pengasihan,
pelindung diri, pencegah
penyakit, dan keyakinan lainnya
yang tak terbukti ilmiahnya.
Adapun hadits-
hadits yang
membicarakan
keutamaan batu
akik,
mendatangkan
manfaat dan
khasiat tertentu,
kebaikan demikian
dan demikian
adalah hadits-
hadits yang tidak
shahih yang tidak
bisa dijadikan
argumen.
Wallahu waliyyut taufiq . Hanya
Allah yang memberi taufik dan
hidayah.
[1] Al Hakim mengatakan,
“Kebanyakan guru kami
berpendapat bahwa Hasan Al
Bashri mendengar hadits ini
langsung dari ‘Imron (Lihat
Fathul Majid, 128). Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baz termasuk ulama yang
menyatakan bahwa sanad
hadits ini jayyid, artinya tidak
bermasalah (Fatawa Nur ‘ala
Darb, 1: 383). Ulama lain
mengatakan bahwa Al Hasan Al
Bashri tidak mendengar hadits
ini langsung dari ‘Imron,
sehingga sanad hadits ini
inqitho’ (terputus). Inilah
pendapat Ibnu Ma’in, Ibnu Abi
Hatim dan Ahmad. Oleh
karenanya, hadits ini lemah,
walaupun maknanya shahih
(Lihat Syarh Kitabit Tauhid , 54).
Yang mendho’ifkan hadits ini
adalah Syaikh Syu’aib Al
Arnauth dalam tahqiq Musnad
Imam Ahmad dan Syaikh Al
Albani dalam As Silsilah Adh
Dho’ifah no. 1029.

Selesai disusun 1:05 AM di
Darush Sholihin , 5 Jumadal Ula
1436 H
Oleh: Muhammad Abduh
Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar