Selasa, 03 Mei 2016

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama

Syarat Dan Kaidah Berdakwah
kepada Aqidah Salafush Shalih
Ahlus Sunnah Wal Jama

Oleh: Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari

Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush
Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa
dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan
teralisasi kecuali dengan tiga syarat :
Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush
Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa
dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan
teralisasi kecuali dengan tiga syarat :
Pertama : Aqidah yang benar
Selamat aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita
ber’aqidah sebagaimana aqidah salaf tentang
tauhid Rubuwiyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat,
serta semua yang berkaitan dengan masalah
aqidah dan keimanan.
Kedua : Manhaj yang benar
Yaitu memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai
dengan pemahaman Salafush Shalih, mengikuti
prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan.
Ketiga : Pengalaman yang benar
Seorang yang berdakwah, mengajak ummat
kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal
dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas
karena Allah dan ittiba’(mengikuti) contoh
Rasulullah saw, tidak mengadakan bid’ah baik
dalam I’tiqad (keyakinan), perbuatan atau
perkataan.
Sesungguhnya dakwah ke jalan Allah Ta’ala
merupakan amal yang paling mulia dan ibadah
yang paling tinggi serta merupakan kekhususan
dari para utusan Allah swt dan tugas dari para
wali (Allah) dan orang-orang yang shalih yang
paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman :
“Siapakah yang paling baik perkataanya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih
dan berkata : “Sesungguhnya saya termasuk orang-orang
yang berserah diri.” (Fushshilat :33).
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita tentang
bagaimana seharusnya kita mengemban dakwah
ini kepada manusia, bagaimana metode
menyampaikannya. Di dalam sejarah peri
kehidupan beliau saw banyak pelajaran yang dapat
kita ambil bagi orang yang menghendakinya.
Maka wajiblah bagi para juru dakwah dalam
menyerukan aqidah Salaf agar mengikuti manhaj
Nabi saw dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi
bahwa didalam manhaj beliau saw terdapat
keterangan dan penjelasan yang benar tentang
ushub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga
mereka tidak membutuhkan lagi metode-metode
bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia.
Yang menyeslisihi manhaj dan peri kehidupan
beliau saw.
Oleh karena itu, wajib bagi para juru dakwah
untuk menyeru ke jalan Allah Ta’ala seperti yang
telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan
memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Berangkat dari pemahaman yang benar ini, maka
saya berusaha untuk menyebutkan sebagian
kaidah dan landasan bagi para juru dakwah,
dengan harapan semoga hal ini bermanfaat dalam
perbaikan ummat yang kita idamkan :
Kaidah dan Landasan para juru Dakwah
1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala
itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di
dunia maupun di akhirat. “Sungguh seseorang yang
diberikan hidayat oleh Allah melalui jalan kamu hal itu lebih
baik bagimu daripada unta yang merah
(pilihan).” (Mutafaq ‘alaihi,) (Sebagaimana hadits
yang diriwayatan oleh al-Bukhari no.2942 dan
Muslim no. 2406 (Syarah Muslim lin Nawawi
(XV/179), cet. Daar Ibnu al-Haitsam) dari Sahabat
Sahl bin Sa’ad, dengan lafazh: “Maka demi Allah,
sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah
melalui dirimu, hal itu lebih baik daripada unta yang merah
(harta yang paling berharga) bagimu”) Pahala akan
diperoleh hanya dnegan sekedar berdakwah dan
tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru
dakwa tidak dituntut untuk mereaisasikan
kemenangan agama Islam karena hal ini adalah
urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan
tetapi bagi juru dakwah dituntut untuk
mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.
Bagi juru dakwah memperisapkan diri merupakan
syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sedang
dakwah merupakan salah satu bentuk dari jihad,
terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad
dalam tujuan dan hasil.
2. Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush
Shalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, yang tekenal dengan wasathiyah
(pertengahan), syumulliyah (universalitas), I’tidal
(moderat) dan jauh di ifrath (berlebihan) dan
tafrith (melalaikan).
Landasannya adalah ilmu syar’I yang konsisten
terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang shalih.
Landasan inilah yang memelihara dari
ketergelinciran dengan anugerah dari Allah dan
memberikan cahaya bagi orang yang bertekad
bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.
3. Berupaya untuk mewujudkan jama’atul
Muslimin (jama’ah kaum Muslimin) dan
menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran,
yang bersumber dari manhaj yang menyatakan :
“Kalimatut tauhid (Laa Ilaaha Illallaah) merupakan
pokok untuk menyatukan brisan.” Dengan
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat
memecah belah kelompok-kelompok Islam pada
saat ini seperti tahazzub (membuat partai-partai)
yang tercela, yang mencerai beraikan barisan
kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati
mereka.
Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah
dakwa kepada Allah adalah : Suatu jama’ah dari
kaum Muslimin tidak dapta disebut jama’ah kaum
Muslimin
4. Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk
para tokoh; karena kebenaran akan kekal sedang
para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu
niscaya kamu akan mengenal penganutnya.
5. Menyeru untuk saling tolong menolong dan
(menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat
mewujudkannya. Menjahi dari khilaf
(perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat
menyebabkan khilaf tersebut. Ohendaknya satu
sama lain harus tolong menolong dan nasehat
menasehati dalam hal yang kita perselisihkan
selama hal tersebut dalam masalah khilafiyah
dengan tanpa saling membenci.
Prinsip yang harus ditegakkan diantara kelompok-
kelompok Islam adalah : saling bekerja sama dan
bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan,
maka hendaknya saling hidup damai
berdampingan; kalau itupun tidak, maka yang
keempat adalah kebinasaan,
6. Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya.
Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji
yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai
dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tarfith.
7. Perselisihan dalam masalah firi’ (cabang-
cabang) syari’ah menuntut sikap lapang dada dan
dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.
8. Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu
dan evalusi yang berkesinambungan.
9. Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam
dasar-dasar diskusi dan menyatakan bahwa
kedua-duanya adalah penting dan perlu
seharusnya dimiliki sarananya.
10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan
berhati-hati dalam masalah ini serta tidak adil
dalam menghukumi setiap pribadi.
Termasuk keadilan adalah menghukumi
berdasarkan makna-makna (yang tersirat) bukan
yang tersurat.
11. Membedakan antara tujuan dan sarana;
misalkan dakwah adalah tujuan, sedangkan
pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center)
dan lain-lain merupakan sarana.
12. Teguh dalam tujuan fleksibel dalam sarana
berdakwah sesuai yang diperbolehkan oleh
syari’at.
13. Memperhatikan masalah prioritas dan
menyusun segala sesuatu secara berurutan sesuai
dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu
masalah yang sekunder, maka harus
memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang
tepat.
14. Tukar-menukar pengalaman diantara para juru
dakwah adalah hal yang penting an membangun
diatas pengalaman orang yang mendahului.
Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai
dair kosong (nol). Bukanlah dia orang pertama
yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan
juga bukan orang yang terakhir. Karena sekali-kali
tidak akan ada orang yang tidak perlu nasehat dan
petunjuk; atau tidak akan ada orang yang
memonopoli seluruh kebenaran dan sebaliknya.
15. Menghormati para ulama ummat yang dikenal
dengan konsistensinya terhadap as-Sunnah dan
‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya,
mengormatinya, tidak bersikap sombong padanya,
menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat
baiknya, tidak fanatik kepadanya dan tidak
menuduh mereka. Karena setiap orang alim ada
benar dan salahnya. Kealahan dari orang laim ter
sebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan
kdudukannya selama dia seorang mujtahid.
16. Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan
membawa perkataannya kepada pengertian yang
terbaik serta menuntuk cacat mereka, tanpa
melalaikan untuk memberikan keterangan kepada
orang yang bersangkutan.
17. Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka
tidak disebut kejelekannya kecuali kalau ada
maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak,
maka kebaikannya tidak disebut, karena takut
menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.
18. Menggunakan kata-kata yang syar’I karena
lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata
asing, dan pelik seperti : musyawarah bukan
demokrasi.
19. Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih
: bahwa ia merupakan kekayaan fiqih yang agung,
wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil
manfaat darinya dan tidak fanatik serta tidak
menolaknya secara keseluruhan. Kit ahendaknya
menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil
yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an
dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush
Shalih.
20. Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia
bara dan peradabannya, yaitu dengan mengambil
manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka
sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-
ketentuan agama kita yang agung ini.
21. Mengakui urgensi musyawarah dalam
berdakwah dan keharusan juru dakwah
mempelajari tentang fiqih musyawarah.
22. Suri tauladan yang baik. Seorang juru dakwah
merupakan cerminan dan contoh hidup dalam
misi dakwahannya.
23. Mengikuti metode hikmah dan nasehat yang
baik serta menjadikan firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik ….” (An-Nahl : 125)
sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah
untuk diikuti.
24. Berhias diri dengan kesabaran, karena itu
merupakan sifat dari para Nabi dan utusan Allah
serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.
25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-
hati dari penyakit tasyaddud dan hasilnya yang
negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut
dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh
syari’at.
26. Seorang muslim selalu mencari kebenaranl dan
k eberanian dalam mengatakan kebenaran sangat
dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah
untuk mengatakan yang benar maka janganlah
mengatakan yang bathil.
27. Berhati-hati terhadap futur (patah semangat)
dan hasilnya yang negatif serta tidak lalai dalam
mempelajari sebab dan solusinya.
28. Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan
menyebarluaskannya serta hal-hal negatif yang
ditimbulkannya pada masyarakat Islam.
29. Barometer keistimewaan seseorang adalah
takwa dan amal shalih; dan mengenyampingkan
segala fanatisme jahiliyah seperti fantisme daerah,
keluarga, kelompok maupun jama’ah.
30. Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah
adalah memulai dengan mengemukakan hakikat
Islam yang manhajnya. Bukan mendatangkan
syubuhat lalu membatahnya. Kemudian
memberikan kepada manusia neraca kebenaran,
mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan
berbicara kepada mereka menurut kemampuan
akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk
memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk
untuk memberikan hidayah kepada mereka.
31. Para juru dakwah dan pergerakan Islam
hendaknya senantiasa menjaga hubungan dengan
Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya
manusiawi, meminta pertolongan kepada Allah
Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang
membimbing dan mengarahkan perjalanan
dakwah serta Dialah yang akan melimpahkan
taufik bagi para da’i. sesungguhnya agama dan
segala urusan ini adalah milik Allah Ta’ala.
Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang
merupakan buah pikiran dari pengalaman
kebanyakan para ulama dan juru dakwah.
Hendaknya kita ketahui dengan yakin bahwa para
juru dakwah seandainya mereka mengerti kaidah-
kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya,
pasti mereka akan mendapatkan kebaikan yang
banyak dalam perjalanan dakwah.
Hendaknya seluruh juru dakwah mengetahui
bahwa tidak ada keberhsailan dalam dakwahnya
kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah
Ta’ala, bertawakkal kepada-Nya dalam segala
urusan, memohon Taufiq-Nya, niat yang ikhlash,
bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan
segala perkara hanya milik Allah Ta’ala.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul
Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih
(Ahlis Sunnah wal Jama’ah) , atau Intisari Aqidah Ahlus
Sunah wal Jama’ah ), terj. Farid bin Muhammad
Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm.255 –
262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar