Kamis, 05 Mei 2016

ORANG YANG WAJIB MENJALANKAN SHIYAM

Orang Yang Wajib Melaksanakan
Shiyam
Oleh: Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi /
Publikasi: Ahad, 22 April 2007 20:15
Para ulama’ sepakat bahwa shiyam, puasa wajib
dilaksanakan oleh orang muslim, yang berakal
sehat, baligh, sehat, dan muqim (tidak sedang
bepergian) dan untuk perempuan harus dalam
keadaan suci dari darah haidh dan nifas. (lihat
Fihus Sunnah I:506). Adapun tidak diwajibkannya
shiyam atas orang yang tidak berakal sehat dan
belum baligh, didasarkan pada sabda Nabi saw.,
“Diangkat pena dari tiga golongan (pertama) dari orang
yang gila hingga sembuh, (kedua) dari orang yang tidur
hingga bangun dari tidurnya, dan (ketiga) dari anak kecil
sampai ihtilam (bermimpi basah) ." (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no:3514 dan Tirmidzi II:102 no:
693).
Adapun tidak diwajibkannya puasa atas orang
yang tidak sehat, tapi muqim, mengacu pada
firman Allah SWT, “Maka barangsiapa  diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah.
184).
Namun jika ternyata orang yang sakit dan yang
musafir itu tetap berpuasa, maka puasanya
mencukupi keduanya. Karena dibolehkannya
keduanya berbuka itu hanyalah sebagai rukhshah,
keringanan bagi mereka. Maka jika mreka berdua
tetap bersikeras untuk mengamalkan ketentuan
semula ‘azimah, maka itu lebih baik.
Manakah Yang Lebih Afdhal Berpuasa Atau Berbuka
Jika dengan berpuasa orang yang sakit dan yang
musafir tidak mendapatkan kesulitan yang berarti,
maka berpuasa lebih afdhal. Sebaliknya jika
mereka berdua ternyata menghadapi kesulitan dan
kepayahan yang sangat, maka berbuka lebih
afdhal.
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Dahulu
kami berperang bersama Rasulullah saw. di bulan
Ramadhan, maka diantara kami ada yang tetap
berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang
(tetap) berpuasa tidak marah (mencela) kepada
yang berbuka dan tidak (pula) yang berbuka
kepada yang berpuasa. Mereka berpendirian
bahwa barang siapa yang kuat, lalu berpuasa,
maka yang demikian itu lebih baik. (Shahih: Shahih
Tirmidzi no: 574, Muslim II:787 no.96 dan 1116,
dan Tirmidzi II: 108 no: 708).
Adapun tentang tidak diwajibkannya shiyam atas
perempuan yang haidh dan yang nifas, didasarkan
pada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa
Nabi saw. bersabda bersabda, “Bukankah bila
perempuan datang bulan ia tidak (boleh) shalat dan puasa ?
Maka yang demikian sebagai pertanda kekurangan pada
agamanya?” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:951
dan Fathul Bari IV: 191 no: 1951).
Apabila perempuan yang haidh atau nifas itu tetap
melaksanakan ibadah shiyam, maka tidak cukup
dan tidak berguna bagi mereka. Sebab, salah satu
syarat wajibnya berpuasa bagi kaum perempuan
adalah harus bersih dari haidh dan nifas, sehingga
keduanya tetap wajib menqadha’nya.
Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Kami biasa haidh
pada zaman Rasulullah saw., lalu kami diperintah
menqadha puasa, namun tidak diperintah
menqadha’ shalat. (Shahih: Shahih Tirmidzi no:
630, Muslim I:265 no:355, ‘Aunul Ma’bud I:444
no:259-260, Tirmidzi II: 141 no784 dan Nasa’i
IV:191).
Hal-Hal Yang Wajib Dilakukan Kakek Dan Nenek Yang
Tua Renta Serta Orang Yang Sakit Menahun Yang Tidak
Diharapkan Kesembuhannya
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena
usianya sudah lanjut, atau karena yang
semisalnya, maka harus berbuka puasa dengan
syarat ia harus memberi makan setiap hari satu
orang miskin. Hal ini didasarkan pada firman
Allah SWT, “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin." (Al-
Baqarah:184).
Dari ‘Atha’ bahwa ia pernah mendengar Ibnu
Abbas r.a. membaca ayati ini, lalu ia berkomentar,
“Sesungguhnya ayat ini tidak mansukh, yaitu
kakek dan nenek yang sudah tua renta yang tidak
mampu berpuasa hendaklah masing-masing
memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-
tiap hari (yang mereka tidak puasa
itu).” (Shahih:Irwa’ul Ghalil no:912 dan Fathul
Bari VIII:179 no:4505).
Wanita Yang Hamil Dan Yang Menyusui
Wanita yang hamil dan yang sedang menyusui
yang merasa berat melaksanakan ibadah shiyam,
atau keduanya merasa khawatir mengganggu
kesehatan bayinya., bila tetap berpuasa, maka
keduanya boleh berbuka dengan mengemban
kewajiban membayar fidyah dan tidak ada
kewajiban mengqadha’ bagi mereka. Hal ini
mengacu kepada riwayat berikut.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia bertutur, “Kakek yang
sudah tua renta dan nenek yang sudah lanjut usia,
yang merasa amat berat melaksanakan ibadah
shiyam diberi disepensasi untuk berbuka kalau
keduanya mau, dan harus memberi makan
seorang miskin setiap hari dan mereka tidak boleh
mengqadha. Kemudian ketentuan itu dihapus oleh
ayat ini, FAMAN SYAHIDA MINKUMUSY SYAHRA
FALSYASHUMU (Karena itu, barang siapa di anara
kamu hadir (di negeri/ tempat tinggalnya) pada
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan
itu), dan tetaplah bagi kakek dan nenek yang
lanjut usia, bila merasa berat menjalankan shiyam,
dan wanit yangh amil dan yang menyusui yang
merasa khawatir (mengganggu kesehatan
bayinya), agar berbuka dan mereka harus
memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-
tiap hari (yang mereka tidak puasa itu)”.
(Sanadnya kuat diriwayatkan : Baihaqi IV: 230).
Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, “Jika wanita yang
hamil merasa khawatir terganggu kesehatan
dirinya dan wanita yang menyusui khawatir
terganggu kesehatan bayinya ketika, berpuasa
Ramadhan, hendaklah mereka berbuka dan
memberi makan orang miskin sebagai ganti tiap
hari (yang mereka tidak puasa itu), dan mereka
tidak usah mengqadha’nya.” (Shahih: yang oleh al-
Albani dalam Irwa-ul Ghalil IV:19 nisbatkan
kepada ath-Thabari no: 2758 dan ia berkata,
“Sanadnya shahih menurut persyaratan Imam
Muslim).
Dari Nafi’I, ia bertutur, “Seorang puteri Ibnu Umar
menjadi isteri seorang laki-laki Quraisy, dan ketika
hamil merasa haus dahaga di (siang hari bulan)
Ramadhan, lalu diperintah oleh Ibnu Umar agar
berbuka dan (sebagai gantinya) agar memberi
makan setiap hari satu orang miskin.” (Shahih
sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV:20 dan Daruquthni
:207 no: 15).
Kadar Banyaknya Makanan Yang Wajib Diberikan
Mengenai hal ini dijelaskan dalam riwayat
berikut.
Dari Anas bin Malik r.a. ia mengatakan bahwa ia
pernah tidak mampu berpuasa pada suatu tahun
(selama sebulan), lalu ia membuat satu bejan
tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam
kuah. Lihat Kamus al-Munawwir (Penterj.)
kemudian mengundang sebanyak tigapuluh orang
miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka.
(Shahih Sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV: 21 dan
Daruquthni II: 207 no:16).
umber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz ,
atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah Ash-Shahihah , terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm.391 — 396.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar