Selasa, 24 Mei 2016

SASARAN PEMBAGIAN ZAKAT

Sasaran Pembagian Zakat

Allah SWT berfirman , “Sesungguhnya zakat-zakat ini,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk orang-orang
yang berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana." (At-Taubah:60).
Ibnu Katsir r.a. ketika menafsirkan ayat ini dalam
kitab tafsirnya II: 364 mengatakan, “Tatkala Allah
SWT menyebutkan penentangan orang-orang
munafik yang bodoh itu atas penjelasan Nabi saw.
dan mereka mengecam Rasulullah mengenai
pembagian zakat, maka kemudian Allah SWT
menerangkan dengan gamblang bahwa Dialah
yang membaginya. Dialah yang menetapkan
ketentuannya, dan Dialah pula yang memproses
ketentuan-ketentuan zakat itu, sendirian, tanpa
campur tangan siapapun. Dia tidak pernah
menyerahkan masalah pembagian ini kepada
siapapun selain Dia. Maka Dia membagi-
bagikannya kepada orang-orang yang telah
disebutkan dalam ayat di atas :
Apakah Delapan Golongan Ini Harus Mendapatkan
Bagian Semua ?
Pakar tafsir kenamaan Ibnu Katsir menegaskan
bahwa para ulama’ berbeda pendapat mengenai
delapan kelompok ini, apakah mereka harus
mendapatkan bagian semua, ataukah boleh
diberikan kepada sebagian di antara mereka ?
Dalam hal ini, ada dua pendapat :
Pendapat pertama , mengatakan bahwa zakat itu
harus dibagikan kepada semua delapan kelompok
itu. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan
sejumlah ulama’ yang lain.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa tidak harus
dibagikan kepada mereka semua, boleh saja,
dibagikan pada satu kelompok saja diantara
mereka, seluruh zakat diberikan kepada kelompok
tersebut, walaupun ada kelompok-kelompok yang
lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan
sejumlah ulama’ salaf dan khalaf, di antara
mereka ialah Umar bin Khatab, Hudzifah Ibnul
Yaman, Ibnu Abbas Abul’Aliyah, Sa’id bin Jubair,
Maimun bin Mahcar, Ibnu Jarir mengatakan, “Ini
adalah pendapat mayoritas ahli ilmu. Oleh karena
itu, penulis, (Abdul ‘Azhim bin Badawi)
menyebutkan semua kelompok yang berhak
menerima zakat di sini hanyalah untuk
menjelaskan pengertian masing-masing kelompok,
bukan karena keharusan memberikan zakat itu
kepada semuanya.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, bahwa ia akan
menyebutkan hadits –hadits yang bertalian dengan
masing-masing dari delapan kelompok kita:
Kelompok pertama ; Orang-orang fakir
Dari Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Zakat tidak halal bagi orang
yang kaya dan tidak (pula) bagi orang yang sehat dan
kuat,” (Shahih : Shahihul Jami’ no: 7251, Tirmidzi
II: 81 no: 647, ‘Aunul Ma’bud V:42 no:1618, dan
Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah
I:589 no: 1839 dan Nasa’i V:39).
Dari Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar r.a. bahwa
ada dua orang sahabat mengabarkan kepadanya
bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi saw.
meminta zakat kepadanya, maka Rasulullah
memperhatikan mereka berdua dengan seksama
dan Rasulullah mendapatkan mereka sebagai
orang-orang yang gagah. Kemudian Rasulullah
bersabda, “Jika kamu berdua mau, akan saya beri,
tetapi (sesungguhnya) orang yang kaya dan orang
yang kuat berusaha tidak mempunyai bagian
untuk menerima zakat,” (Shahih : Shahih Abu
Daud no: 1438, ‘Aunul Ma’bud V: 41 serta Nasa’i
V:99).
Kelompok kedua ; Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Orang miskin itu bukanlah mereka yang
berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap
makanan dan satu biji kurma,” (Kemudian) para
sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu)
siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Jawab
Beliau, “Salah mereka yang yang hidupnya tidak
berkecukupan dan dia tidak punya kepandaian untuk itu,
lalau diberi shadaqah, dan mereka tidak mau minta-minta
kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih:Muslim II :
719 no:1039 dan lafadz baginya, Fathul Bari III :
341 no: 1479, Nasa’i V:85 dan Abu Daud V:39 no:
1615).
Kelompok ketiga : Para Amil Zakat
Mereka adalah orang-orang yang bertugas menarik
dan mengumpulkan zakat. Mereka berhak
mendapatkan bagian dari zakat, namun mereka
tidak boleh berasal dari kalangan kerabat
Rasulullah saw. yang haram menerima zakat. Hal
ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam
Muslim dan lain-lain :
Dari Abdul Mutthalib bin Rabi’ah al Harits bahwa
ia pernah berangkat di Fadhl bin al Abbas r.a.
menghadap Rasulullah saw. lalu memohon kepada
beliau agar mereka diangkat sebagai penarik dan
pengumpul zakat. Maka (kepada mereka). Beliau
bersabda, “Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi
keluarga Muhammad dan tidak (pula) bagi keluarga
Muhammad; karena zakat itu adalah kotoran (untuk
mensucikan diri) manusia.” (Shahih ; Shahihul Jami’
no:1664, Muslim II : 752 no:1072, ‘Aunul Ma’bud
VIII: 205.(Imam Nawawi berkata, “Ma’na
AUSAKHUN NAAS ialah zakat itu sebagai
pembersih harta benda dan jiwa mereka,
sebagaimana yang ditegaskan Allah Ta’ala,
“Pungutlah sebagian dari harta benda mereka sebagai zakat
yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa)
mereka.“ Jadi zakat adalah pembersih kotoran. Lihat
Syarah Muslim VII:251).
Kelompok keempat : Orang-orang Muallaf
Kelompok muallaf ini terbagi menjadi beberapa
bagian.
1.Orang yang diberi sebagian zakat agar kemudian
memeluk Islam. Sebagai misal Nabi saw. pernah
memberi Shafwan bin Umayyah sebagian dari
hasil rampasan perang Hunain, dimana waktu itu
ia ikut berperang bersama kaum Muslimin:
"Nabi saw. selalu memberi kepada hingga beliau
menjadi orang yang paling kucintai, setelah
sebelumnya beliau menjadi orang yang paling
kubenci." (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 1558,
Muslim II:754 no:168 dan 1072, ‘Aunul Ma’bud
VIII: 205-208 no: 2969, dan Nasa’i V:105-106).
2.Golongan orang yang diberi zakat dengan
harapan agar keislamannya kian baik dan hatinya
semakin mantap.
Seperti pada waktu perang Hunain juga,ada
sekelompok prajurit beserta pemukanya diberi
seratus unta, kemudian Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya aku benar-benar memberi zakat kepada
seorang laki-laki, walaupun selain dia lebih kucintai
daripadanya (laki-laki tersebut) karena khawatir Allah akan
mencampakkannya ke (jurang) neraka
Jahanam.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I: 79
no:27, Muslim I:132 no:150, ‘Aunul Ma’bud XII :
440 no:4659, dan Nasa’i VIII:103).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
disebutkan dari Abu Sa’id r.a. bahwa Ali r.a.
pernah diutus menghadap kepada Nabi saw. dari
Yaman dengan membawa emas yang masih
berdebu, lalu dibagi oleh beliau saw. kepada
empat orang (pertama) al-Aqra’ bin Habis, (kedua)
Uyainah bin Badr, (ketiga) ‘Alqamah bin ‘Alatsah,
dan (keempat) Zaid al-Khair, lalu Rasulullah
bersabda, “Aku menarik hati
mereka.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III: 67
no:4351, Muslim II:741 no:1064, ‘Aunul Ma’bud
XIII : 109 no:4738).
3.Bagian ini ialah orang-orang muallaf yang diberi
zakat lantaran rekan-rekan mereka yang masih
diharapkan juga memeluk Islam.
4.Mereka yang mendapat bagian zakat agar
menarik zakat dari rekan-rekannya, atau agar
membantu ikut mengamankan kaum Muslimin
yang sedang bertugas di daerah perbatasan.
Wallahu a’lam.
Apakah muallaf sepeninggal Nabi saw. masih
berhak mendapatkan bagian dari zakat ?
Ibnu Katsir r.a. mengatakan bahwa dalam hal ini
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’
bahwa para muallaf tidak usah diberi bagian dari
zakat setelah beliau wafat, karena Allah telah
memperkuat agama Islam dan para pemeluknya
serta telah memberi kedudukan yang kuat kepada
mereka di bumi dan telah menjadikan hamba-
hambaNya tunduk pada mereka (kaum muslimin).
Kelompok yang lain berpendapat, bahwa para
muallaf itu tetap harus diberi, karena Rasulullah
saw. pernah memberi mereka zakat setelah
penaklukan kota Mekkah dan penaklukan
Hawazin, zakat ini kadang-kadang amat
dibutuhkan oleh mereka, sehingga mereka harus
mendapat alokasi bagian dari zakat.
Kelompok kelima :Untuk memerdekakan Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin
Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Sa’id bin Jubair, an-
Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa yang
dimaksud riqab, bentuk jama’ dari raqabah
“budak belian” ialah hamba mukatab (hama yang
telah menyatakan perjanjian dengan tuannya
bilamana sanggup menghasilkan harta dengan
nilai tertentu dia akan dimerdekakan, pent).
Diriwayatkan juga pendapat yang semisal dengan
pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asy’ari, dan
ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan al-Lain.
Ibnu Abbas dan al-Hasan berkata, “Tidak mengapa
memerdekakan budak belian dengan uang dari
zakat.” Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam
Ahmad, Imam Malik, dan Imam Ishaq. Yaitu
bahwa kata riqab lebih menyeluruh ma’nanya
daripada sekedar memberi zakat kepada hamba
mukatab, atau sekedar membeli budak lalu
dimerdekakan.
Ada banyak hadits yang menerangkan besarnya
pahala memerdekakan budak, dan Allah SWT
untuk setiap anggota badan budak tersebut
memerdekakan satu anggota badan orang yang
memerdekakannya dari api neraka, sampai untuk
kemaluan sang budak Allah memerdekakan
kemaluan orang yang memerdekakannya.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits berikut
:
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang telah
memerdekakan seorang budak mukmin, niscaya Allah
dengan setiap anggota badannya akan membebaskannya
anggota badan (orang yang memerdekakannya) dari api
neraka, hingga orang itu memerdekakan (masalah)
kemaluan dengan kemaluan.” (Shahih : Shahihul
Jami’us Shaghir no:6051,Tirmidzi III:49 no: 1581).
Hal itu tidak lain, karena balasan suatu amal
perbuatan sejenis dengan amal yang dilakukannya.
Allah berfirman, “Dan  kamu  tidak  diberi pembalasan,
melainkan apa yang telah kamu lakukan. " (QS.ash-
Shaffat.39).
Kelompok keenam : Orang-orang yang Berhutang
Mereka terbagi menjadi beberapa bagian : Pertama ,
orang yang mempunyai tanggungan atau dia
menjamin suatu hutang lalu menjadi wajib baginya
untuk melunasinya kemudian meludeskan seluruh
hartanya karena hutang tersebut; kedua , orang
yang bangkrut; ketiga, orang yang berhutang untuk
menutupi hutangnya; dan keempat, orang yang
berlumuran maksiat, lalu bertaubat. Maka mereka
semua layak menerima bagian dari zakat.
Dasar yang menjadikan pijakan untuk masalah ini
ialah hadits dari Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali
r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai
tanggungan (untuk mendamaikan dua pihak yang
bersengketa), kemudian aku datang kepada
Rasulullah saw. menanyakan perihal beban
tanggungan itu. Maka Beliau bersabda,
“Tegakkanlah, hingga datang zakat untuk
kuberikan kepadamu!” Rasulullah saw.
melanjutkan sabdanya, “Ya Qubaishah
sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal,
kecuali bagi tiga golongan: ( Pertama ) orang-orang
yang memikul beban untuk mendamaikan dua
pihak yang bersengketa, maka dihalalkan baginya
meminta, sampai berhasil mendapatkannya,
sehingga berhenti memintanya. ( Kedua ), orang
yang tertimpa kebingungan yang sangat, karena
rusaknya harta bendanya, maka kepadanya
dihalalkan meminta zakat, sehingga ia
mendapatkan kekuatan untuk menutupi
kebutuhan hidupnya. ( Ketiga), orang yang
mendapatkan kesulitan hidup hingga tiga orang
dari pemuka kaumnya berdiri (lalu bertutur),
bahwa kesulitan hidup telah menimpa si fulan,
maka baginya dihalalkan meminta hingga
mempunyai kekuatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Maka tidak ada hak bagi selain yang
tiga kelompok itu untuk meminta wahai
Qubaishah!” (Shahih : Mukhtashar Muslim no:
568, Muslim II: 722 no:1044, ‘Aunul Ma’bud V:49
no: 1624, dan Nasa’i V:96).
Kelompok ketujuh : fi sabilillah ialah para mujahid
sukarelawan yang tidak memiliki bagian atau gaji
yang tetap dari kas negara.
Menurut Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan
Ishaq bahwa menunaikan ibadah haji termasuk fi
sabilillah. Menurut hemat penulis Syaikh Abdul
‘Azhim bin Badawi, tiga imam itu mendasarkan
pendapatnya pada hadits berikut :
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah
saw. bermaksud hendak menunaikan ibadah haji.
Lalu ada seorang wanita berkata kepada suaminya
(tolong) hajikanlah aku bersama Rasulullah saw.”
Maka jawabnya, “Aku tidak punya biaya untuk
menghajikanmu.“ Ia berkata (lagi) kepada
suaminya, “(Tolong) hajikanlah diriku dengan
biaya dari menjual untamu (yang berasal dari
zakat) si fulan itu.” Maka jawabnya, “Itu
diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa Jalla.”
Kemudian sang suami datang menghadap
Rasulullah saw. lalu bertutur, “(Ya Rasulullah),
sesungguhnya isteriku menyampaikan salam
kepadamu; dan ia meminta kepadaku agar ia bisa
menunaikan ibadah haji bersamamu. Ia
mengatakan, kepadaku, “(Tolong) hajikanlah aku
dengan biaya dari hasil menjual untamu (yang
berasal dari zakat) si fulan itu,’ Lalu saya jawab,
“Itu diperuntukkan fi sabilillah,’ “Maka Rasulullah
saw. bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau
menghajikannya dengan biaya berasal dari hasil tersebut,
berarti fi sabilillah juga).” (Hasan Shahih : Shahih Abu
Daud no : 1753, ‘Aunul Ma’bud V:465 no : 1974,
Mustadrak Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164).
Kelompok kedelapan : Ibnu Sabil
Adalah seorang yang musafir melintas di suatu
negeri tanpa membawa bekal yang cukup untuk
kepentingan perjalanannya, maka dia pantas
mendapat alokasi dari bagian zakat yang cukup
hingga kembali ke negerinya sendiri, meskipun ia
seorang yang mempunyai harta.
Demikian juga hukum yang diterapkan kepada
orang yang mengadakan safar dari negerinya ke
negeri orang dan dia ia tidak membawa bekal
sedikitpun, maka ia berhak diberi bagian dari
zakat yang sekiranya cukup untuk pulang dan
pergi. Adapun dalilnya ialah ayat enam puluh
surah at-Taubah dan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah.
Dari Ma’mar dari Yasid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin
Yassar dari Abi Sa’id r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “ Zakat tidak halal bagi orang yang kaya,
kecuali bagi lima (kelompok): (pertama) orang kaya yang
menjadi amil zakat, (kedua) orang kaya yang membeli
barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga) orang yang
berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di
jalan Allah, (kelima) orang miskin  yang mendapat bagian
zakat, lalu dihadiahkannya kembali kepada orang
kaya,” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7250,
‘Aunul Ma’bud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I:
590 no :1841).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi
al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz ,
atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
(Pustaka As-Sunnah), hlm. 439 – 448.

〰〰〰〰〰〰〰〰〰
NASIHAT INI DIHADIRKAN OLEH:
TPA BAITUL JALAL KLATEN
UNTUK INFORMASI lebih lanjut tentang TPA BAITUL JALAL KLATEN silahkan menghubungi:
085642493111 (Ust. Ahmad Setiawan Kurniadi, Direktur TPA BAITUL JALAL KLATEN)
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
INFORMASI LAHAN INFAK KEGIATAN DAKWAH TPA BAITUL JALAL KLATEN SEBAGAI BERKUT:

💸 Infak Donasi Uang untuk mukafa'ah/gaji Ustadz TPA BAITUL JALAL KLATEN, silahkan mendonasikan infaknya ke nomor rekening BANK SYAR'IAH MANDIRI dgn nomor rekening: 7085671701
A.n. Ahmad Setiawan Kurniadi

📲 Infak Donasi Pulsa silahkan mengisikan ke nomor HP: 0858 6920 2090
〰〰〰〰〰〰〰〰〰
BAGI ikhwah fillah yang ingin mengajak saudara/temannya untuk mendapatkan tausiyah broadcast TPA BAITUL JALAL KLATEN silahkan sarankan cara pendaftaran berikut ini kpd saudara/teman anda:
Ketik 👇🏼

Broadcast_Nama_alamat_nomor WhatsApp-nya

Dikirim ke nomor WA: 085729721203

Tidak ada komentar:

Posting Komentar