Selasa, 03 Mei 2016

P R I N S I P

Prinsip
Oleh: Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari /
Publikasi: Sabtu, 17 November 2007 13:41
Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berjalan di atas
manhaj salafush shalih mereka berjalan di atas
prinsip-prinsip agama yang kokoh dan jelas baik
dalam masalah aqidah, amal maupun akhlak.
Prinsip-prinsip ini diambil dari kitabullah Ta’ala
dan semua yang shahih dan sunnah Rasul-Nya
baik yang mutawatir maupun yang ahaad dan
dengan pemahaman salaful ummah dari kalangan
para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti
mereka dengan baik.
Prinsip-prinsip agama Islam sudah di jelaskan oleh
Nabi saw dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu,
tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengada-
adakan sesuatu yang baru dalam prinsip-prinsip
agama ini lalu berprasangka bahwa apa yang
diada-adakannya merupakan bagian dari agama.
Oleh karena itu, ahlus sunnah wal jamaah
senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip
agama ini, menjauhi lafazh-lafazh yang bid’ah dan
konsisten dengan lafazh-lafazh yang syar’i. Dari
sinilah, ahlus sunnah wal jamaah merupakan
manifestasi lanjutan yang sebenarnya berasal dari
generasi salafuhs shalih.
Prinsip-prinsip agama Islam menurut ahlus
sunnah wal jama’ah secara global sebagai berikut :
Prinsip Pertama: Iman Dan Rukunnya
Aqidah salafush shalih -ahlus sunnah wal jamaah
dalam prinsip-prinsip keimanan terangkum dalam
iman dan tashdiq(pembenaran) terhadap rukun
iman yang enam sebagaimana yang disabdakan
Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits
Jibril, tatkala datang untuk menanyakan tentang
iman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
“Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-
Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan
(hendaknya) pula engkau beriman dengan qadar baik
maupun buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam
Kitaabul Imaan). (HR. Muslim no. 8, Ahmad
(VIII/27,51-52), Abu Dawud no. 4695, at-Tirmidzi
no. 2610, an-Nasa-i (VIII/97) dan Ibnu Majah no.
63 serta yang lainnya.
Keimanan bersendikan pada keenam rukun ini.
Jika salah satu rukun jatuh, maka seseorang tidak
dapat menjadi mukmin sama sekali, karena ia
telah kehilangan salah satu dari rukun iman. Jadi
keimanan itu tidak akan berdiri kecuali di atas
rukunnya yang sempurna, sebagaimana bangunan
tidak akan berdiri tegak kecuali di atas pilar-
pilarnya yang sempurna pula. Enam perkara ini
disebut “Rukun Iman”. Maka tidaklah sempurna
iman seseorang kecuali dengan mengimani semua
rukun diatas dengan cara yang benar sesuai
dengan apa yang ditunjukkan Al-Quran dan As-
Sunnah. Barangsiapa mengingkari salah satu
darinya, maka ia bukanlah seorang mukmin.
Rukun Pertama:
Iman Kepada Allah
Beriman kepada Allah Ta’ala membenarkan secara
pasti tentang keberadaan (wujud) Allah, semua
kesempurnaan dan keagungan yang dimiliki-Nya,
hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadahi, hati
diiringi dengan kemantapan akan hal itu yang
tercemin dari perilakunya, konsekuen dengan
perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya.
Iman kepada Allah adalah prinsip dan dasar dari
‘Aqidah Islam. Semua rukun ‘aqidah, bersumber
darinya dan mengikutinya.
Maka beriman kepada Allah mengandung arti
beriman dan ke-Esaan-Nya dan Dia-lah satu-
satunya yang berhak untuk diibadahi, karena
keberadan-Nya tidak diragukan lagi. Keberadaan
Allah telah terbukti baik secara fithrah, akal,
syari’at maupun indera.
Termasuk beriman kepada Allah Ta’ala ialah
beriman kepada ke-Esaan-Nya, Uluhiyah-Nya dan
Asma’ dan Sifat-Nya. Yaitu dengan menetapkan
tiga macam tauhid, myakininya dan
mengamalkannya :
1) Tauhid Rububiyah
2) Tauhid Uluhiyah
3) Tauhid Asma’wa Sifat
1. Tauhid Rububiyah :
Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa
hanya Allah semata Rabb dan Pemilik segala
sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia-lah Yang
Mahapencipta, Dia-lah yang mengatur alam dan
yang menjalankannya. Dia-lah yang menciptakan
para hamba, yang memberi rizki kepada mereka,
menghidupkan dan mematikannya. Dan beriman
kepada qada’ dan qadar-Nya serta ke-Esaan-Nya
dalam Dzat-Nya. Ringkasnya bahwa tauhid
Rububiyah Allah Ta’ala dalam segala perbuatan-
Nya:
Dalam dalil syar’i telah menegaskan tentang
wajibnya beriman kepada Rububiyyah Allah Ta’ala
seperti dalam firman-Nya, “Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam” (Al-Fatihah:2)
Dan firman-Nya, “Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb
semesta alam.” (Al-A’raaf : 54)
Firman-Nya, “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang
ada di bumi untukmu….” (Al-Baqarah :29).
Dan Firman-Nya, “Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha
Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(Adz-Dzariyaat: 58).
Macam tauhid ini tidak diperselisihkan oleh orang-
orang kafir Quraisy dan para penganut aliran dan
agama. Maksudnya mereka semua beri’tiqad
bahwa Pencipta alam semesta ini hanyalah Allah
semata. Allah SWT berfirman tentang mereka, “Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
“siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka
akan menjawab: ‘Allah.” (Luqman: 25)
Dan firman-Nya, “Katakanlah, “Kepunyaannya siapakah
bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui? Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.‘
Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah,
Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah, ‘Siapakah
yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu
sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka
akan menjawab : ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah Allah.’
Katakanlah: (Kalau demikian), maka dari jalan mankah
kamu ditipu ?’ Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran
kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar
orang-orang yang berdusta.” (Al Mukmin: 84-90).
Yang demikian itu, karena hati manusia secara
fitrah mengakui Rububiyyah-Nya oleh karena itu,
seseorang tidak menjadi orang yang bertauhid
sehingga ia mengakui dan konsisten dengan
macam kedua dari ketiga macam tauihid tersebut,
yaitu:
2. Tauhid Uluhiyah :
Yaitu mengesahkan Allah Ta’ala melalui perbuatan
para hamba , dinamakan juga dengan tauhid ibadah.
Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa
Allah adalah Ilah(sesembahan) yang haq dan tidak
ada ilah selain-Nya, segala yang diibadahi selain-
Nya adalah bathil, hanya Dia-lah yang patut
diibadahi, baginya ketundukan dan ketaatan
secara mutlak. Tidak boleh siapapun dijadikan
sebagai sekutu-Nya dan tidak boleh bentuk ibadah
apapun diperuntukannya kepada selain-Nya,
seperi shalat, puasa, zakat, haji,do’a, dan isti’anah
(meminta pertolongan), nadzar, menyembelih,
tawakal, khauf (takut), harap, cinta dan lain-lain
dari macam-macam ibadah yang zahir (tampak)
maupun bathin. Ibadah kepada Allah harus
dilandasi dengan rasa cinta, cemas, dan harap
secara bersamaan. Beribadah kepada-Nya dengan
sebagian saja dan meninggalkan sebagian lainnya
adalah kesesatan.
Allah Ta’ala berfirman, “Hanya kepada Engkau-lah
kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami
memohon pertolongan.” (Al-Faatihah: 5).
Dan firman-Nya pula, “Dan barangsiapa beribadah
kepada ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada
suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya
perhitungannya disisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang
yang kafir itu adalah beruntung.” (AlMukminun: 117).
Tauhid Uluhiyyah adalah inti dakwah yang
diserukan oleh para Rasul. Dan pengingkaran
terhadap hal itu merupakan penyebab dari
berbagai malapetaka yang menimpa ummat-
ummat terdahulu.
Tauhid Uluhiyyah merupakan awal dan akhir
agama, bathin dan lahirnya. Juga merupakan tema
pertama dakwa para Rasul dan yang terakhir. Oleh
karenanya diutuslah para Rasul, diturunkannya
kitab-kitab samawi, disyari’atkan jihad, dibedakan
antara orang muslim dengan orang kafir, dan
penghuni surga dengan penghuni neraka.
Itulah makna firman Allah, “…Tidak ada ilah yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah…” (Ash-
Shaafffat: 35).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami tidak mengutus
seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak)
melainkan Aku, maka beribadah kamu hanya kepada-
Ku.” (Al-Anbiyaa’: 25)
Yang menjadi Rabb Yang Maha Pencipta, Pemberi
Rizki, Yang Menguasai, Yang Mengatur, Yang
Menghidupkan, Yang Mematikan, yang disifati
dengan semua sifat kesempurnaan, yang suci dari
segala kekurangan, segala sesuatu (berada) di
tangan-Nya maka pasti Dia adalah Rabb Yang Esa
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak boleh ibadah
itu dipalingkan kecuali kepada-Nya semata. Allah
Ta’ala berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-
Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56).
Tauhid Uluhiyyah merupakan konsekuensi dari
tauhid Rububiyyah. Hal tersebut karena orang-
orang musyrik tidak menyembah Rabb yang Esa,
akan tetapi mereka menyembah banyak rabb
bahkan mereka menganggap rabb-rabb tersebut
dapat mendekatkan mereka kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya. Walaupun demikian, mereka
mengakui bahwa rabb-rabb tersebut tidak ada
mendatangkan mudharat maupun manfaat. Oleh
karena itu, Allah tidak menggolongkannya sebagai
orang-orang kafir sebab mereka
mempersekutukan-Nya dengan salain-Nya dalam
ibadah.
Dari sini, aqidah salafush shalih -Ahlus Sunnah wal
Jamaah berbeda dengan yang lainnya dalam hal
tauhid uluhiyyah. Ahlus Sunnah tidak mengartikan
tauhid seperti pendapat sebagian kelompok bahwa
makna tauhid itu “adalah tidak ada Pencipta
kecuali Allah,” akan tetapi menurut mereka tauhid
uluhiyyah tidak terlealisir kecuali bila ada dua
prinsip:
Pertama : Agar semua bentuk ibadah hanya
ditunjukkan kepadan-Nya SWT tidak boleh kepada
yang selain-Nya dan makhluk tidak diberikan hak
apapun dari hak-hak Pencipta dan ciri-ciri khas-
Nya.
Maka tidak boleh diibadahi kecuali Allah, tidak
boleh shalat kepada selain-Nya, tidak boleh sujud
kepada selain-Nya, tidak bernadzar kepada selain-
Nya dan tidak bertawakkal kepada selain-Nya.
Tauhid Uluhiyyah itu menuntut pengesahan Allah
dalam ibadah.
Ibadah: Mencakup perkataan hati dan lisan atau
juga berupa perbuatan hati dan anggota tubuh.
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matika hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada
Allah).” (Al-An’aam: 162-163).
Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya kepunyaan
Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)….” (Az-Zumar:
3)
Kedua: Ibadah itu harus sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
SAW.
Mentauhidkan Allah SWT dalam ibadah, tunduk
dan taat adalah realisasi dari syahadat: “Laa
Ilaha Illahlahu (tidak ada ilah yang diibadahi
kecuali Allah).”
Mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah SAW, dan
mentaati apa yang diperintahkannya serta
dilarangnya adalah realisasi dari syahadat:
“Muhammadur Rasulullah (Muhammad adalah
utusan Allah).
Manhaj ahlus sunnah wal jamaah: mereka
beribadah hanya kepada Allah SWT dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun,
mereka tidak memohon kecuali hanya kepada
Allah dan tidak meminta bantuan (beristighatsah)
kecuali kepada-Nya SWT, tidak bertawakal kecuali
kepada-Nya, tidak taku kecuali kepada-Nya dan
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
dengan (melakukan) ketaatan ibadah kepada-Nya
serta dengan melakukan amalan-amalan yang
shalih. Allah Ta’ala berfirman, “Beribadah kepada
Allah dan jangannlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun.” (An-Nisaa’: 36).
3. Tauhid Asma’wa Sifat:
Yaitu keyakinan dengan pasti bahwa Allah SWT
mempunyai asmaul husna (nama-nama yang baik),
dan sifat-sifat yang mulia. Dia memiliki semua
sifat yang sempurna dan suci dari segala
kekurangan. Dia-lah Yang Maha Esa dan sifat-sifat
tersebut, tidak dimiliki oleh makluk-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Mengetahui Rabb
mereka dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam
al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka menyifati Rabb-
nya seperti apa yang Allah SWT telah sifatkan
untuk diri-Nya dan seperti apa yang disifatkan
oleh Rasul-Nya SAW, tidak melakukan tahrif
(penyelewengan) ungkapan-ungkapan dari konteks
pengertian yang sebenarnya, ataupun ilhad (Al-
Ilhad yaitu berpaling dari kebenaran; dan
termasuk kategori ilhad adalah: ta’thil
(mengabaikan), tahrif (menyimpangkan), takyif
(menfisualiasikan) dan tamstil (menyerupakan)
sifat Allah. Ta’thil: Tidak menetapkan sifat-sifat
Allah atau menetapkan sebagaiannya dan
menafikan sisanya, Tahrif: Merubah nash baik
sifat secara lafazh kepada makna yang lafazhnya
tidak menunjukkan kepadanya kecuali dengan
kemungkinan makna yang marjub (tidak kuat).
Maka setiap tahrif adalah ta’thil dan tidak semua
ta’thil adalah tahrif, takyif: Menjelaskan hakekat
sifat, atau (bertanya dengan lafazh bagaimana),
Tamstil: Menyerupakan sesuatu dengan Allah dari
segala segi) dalam nama-nama-Nya dan ayat-ayat-
Nya, dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang
telah ditetapkan untuk dirinya-Nya tanpa tamstil,
takyif, ta’thil dan tahrif. Dasar mereka dalam
semua masalah ini adalah firman Allah, “Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (As-Syuura: 11).
Dan firman-Nya, “Hanya milik Allah Asmaul Husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul
Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Al-A’raaf: 180).
Ahlus sunnah wal jamaah: Mereka tidak
membatasi “kaifiyyah” (bagaimanakan) sifat-sifat
Allah Ta’ala, karena Dia -Tabaraka wa Ta’ala-
tidak mengabarkan tentang kaifiyyah-Nya dan
karena tiada seorang pun yang lebih mengetahui
daripada Allah SWT tentang diri-Nya. Allah Ta’ala
berfirman, “Katakanlah: ‘Apakah kamu yang lebih
mengetahui ataukah Allah?….” (Al-Baqarah: 140)
Dan firman Allah SWT, “Maka janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl:
74)
Dan tiada seorang pun yang lebih mengetahui
tentang Allah daripada Rasul-Nya SAW setelah
Allah, yang mana Allah SWT telah berfirman
tentang beliau, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-
Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (An-Najm: 34)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa
Allah SWT “Yang Awal” yaitu yang telah ada
sebelum segala sesuatu ada dan “yang Akhir” yaitu
yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah,
“Yang Zhahir” ialah tiada di atas-Nya suatu
apapun, dan “Yang Bathin” ialah tidak suatu
apapun yang menghalangi-Nya. Seperti firman
Allah SWT, “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang
Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Al-Hadiid: 3).
Sebagaimana Dzat-Nya SWT tidak menyerupai
dzat-dzat yang lain; maka demikian juga sifat-
sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat (makhluk-
Nya). Karena Dia tidak ada yang menyamai-Nya,
tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang
sebanding dengan-Nya dan tidak boleh
dianalogikan dengan ciptaan-Nya. Maka ahlus
sunnah wal jamaah benar-benar menetapkan bagi
Allah apa yang telah ditetapkan Allah untuk diri-
Nya dengan penetapan tanpa tamtsil dan
menyucikan tanpa ta’thil. Jadi ketika mereka
menetapkan bagi Allah apa yang ditetapkan Allah
untuk diri-Nya, maka mereka tidak men-tamtsil.
Dan jika menyucikan-Nya, maka mereka tidak
men-ta’thil sifat-sifat-Nya yang telah Allah sifatkan
untuk diri-Nya. (Tidak boleh sama sekali seorang
berkhayal baik tentang “kaifiyyah” Dzat Allah
maupun sifat-Nya).
Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala
sesuatu, Maha Pencipta segala sesuatu dan Maha
Pemberi rizki semua yang hidup. Allah Ta’ala
berfirman, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu merahasiakan);
dan dia maha halus lagi maha mengetahui.” (Al-Mulk:
14).
Dan berfirman pula, “Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha
Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat
Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 58).
Ahlus sunnah wal jamaah mengimani bahwa Allah
Ta’ala itu beristiwa'(Ber-istiwa’ (bersemayam) di
atas ‘Arsy dan al-‘Uluuw (Maha Tinggi) adalah dua
sifat yang kita tetapkan bagi Allah Ta’ala dengan
penetapan yang sesuai dengan keagungan-Nya.
Sedang interprestasi kata “istiwa” menurut ulama
Salaf adalah: Istaqarra = menetap, ‘alaa = tinggi,
irtafa’a = tinggi dan sha’ada = naik. Ulama salaf
menginterprestasikan kata tersebut dengan arti-
arti diatas, tidak melampaui batas dan tidak
menambah dari (semestinya). Dan tidak pernah
ada dalam interprestasi salaf (kata istiwa) dengan
arti: istaula=menguasi, atau Malaka=menguasai/
memerintah, dan atau Qahara = menundukkan/
mengalahkan. Kaifiyyahnya tidak diketahui, maka
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.
Mengimani hal ini adalah wajib, karena terdapat
beberapa dalil yang mendasarinya. Menanyakan
tentang hal tersebut adalah bid’ah, karena
kaifiyyah istawa’ Allah tidak ada seorang pun yang
mengetahui kecuali Allah. Dan juga karena para
Sahabat Nabi tidak ada yang bertanya kepada
Rasulullah SAW tentang kaifiyyah istiwa’ Allah di
atas Arsy berada di atas langit yang ketujuh,
terpisah dari makhluk-Nya namun mengetahui
segala sesuatu, seperti yang Allah firmankan
tentang diri-Nya dalam kitab-nya yang mulia
dalam tujuh ayat tanpa menjelaskan kaifiyyah-
Nya. (Yaitu secara berurutan, surat : (al-A’raaf:
54), (Yunus: 3), (ar-Ra’d: 2) (Thaahaa: 5), (al-
Furqaan: 59), (as-Sajdah: 4) dan (al-Hadiid: 4).
Allah Ta’ala berfirman, “Rabb Yang Maha Pemurah,
Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” ( Thaahaa: 5). (Imam
al-Hafizh Ishaq bin Rahawih r.a. berkata tentang
ayat ini: “Para ulama bersepakat bahwa Dia
bersemayam di atas ‘Arsy, dan mengetahui segala
sesuatu apa yang di bawah lapisan bumi yang
tujuh.” Diriwayatkan oleh Imran adz-Dzahabi
dalam kitab: Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffaar.
Allah Ta’ala berfirman, “Kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataaan yang baik dan amal yang shahih
dinaikkan-Nya” (Fathir: 10).
Dan firman-Nya, “Mereka takut kepada Rabb mereka
yang diatas mereka.” (An-Nahl: 50).
Nabi SAW bersabda, “Tidaklah kalian percaya
kepadaku, sedang aku adalah kepercayaan siapa yang di
atas langit?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-
Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064 (144) dari
Sahabat Abu Sa’id al-Khudri).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah: mengimani bahwa “al-
Kursi” dan “al-Arsy” itu benar (adanya).
Allah Ta’ala berfirman, “…Kursi Allah meliputi langit
dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara
keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al
Baqarah: 255).
Al-‘Arsy tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui kadar besarnya kecuali Allah, sedang
al-Kursi dibanding al-‘Arsy bagaimana gelang yang
terletak di padang pasir, ukurannya seluas langit
dan bumi. Allah tidak membutuhkan al-‘Arsy dan
al-Kursi, Allah beristiwa’ di atas al-‘Arsy bukan
karena membutuhkannya, tetapi hal itu karena
ada hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Allah
Maha Suci dari sifat membutuhkan kepada
al-‘Arsy, apa lagi kepada apa yang dibawahnya,
kedudukan Allah SWT lebih Agung dari hal itu.
Bahkan al’Arsy dan al-Kursi itu diangkat dengan
kekuasaan dan keagungan-Nya.
Allah Ta’ala menciptakan Adam a.s. dengan kedua
tangan-Nya, keduanya adalah kanan dan keduanya
terbuka, Allah memberi nafkah sebagaimana Dia
kehendaki. Seperti yang Allah sifati sendiri untuk
diri-Nya dalam firman-Nya, “Orang-orang Yahudi
berkata: “Tangan Allah terbelenggu. “sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat
disebabkan apa yang telah mereka katakan itu (tidak
demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia
menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Shaad: 75).
Dan firman-Nya, “Apakah yang menghalangi kamu
(Iblis) sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku?” (Shaad: 75)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bagi Allah:
pendengaran, penglihatan, ilmu, kekuasaan,
kekuatan, kemuliaan, kebersamaan (ma’iyyah),
firman, hidup, telapak kaki, betis, tangan dan lain-
lain dari sifat-sifat yang telah Allah sifatkan
sendiri untuk diri-Nya dalam kitab-Nya yang mulia
dan melalui lisan Nabi-Nya SAW dengan kaifiyyah
yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya sedang
kita tidak mengetahuinya, karena Dia tidak
mengabarkan kepada kita tentang kaifiyyah-Nya.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku beserta
kamu berdua (Musa dan Harun), Aku mendengar dan
melihat.” (Thaahaa: 46).
Dan beberapa firman-Nya, “Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (At-Tahriim: 2)
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dan langsung.”
(An-Nisaa’: 164)
“Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27).
“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-
Nya.” (Al-Maa-idah: 54)
“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami
menghukum mereka.” (Az-Zukhruuf: 55).
“ Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk
bersujud, maka mereka tidak kuasa.” (Al-Qalam: 42)
“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak diibadah) melainkan
Dia. Yang Hidup kekal lagi terus mengurus makhluk-
Nya.” (Ali ‘Imran: 42).
“……Allah telah murka kepada mereka…..” (Al-
Mumtahannah: 13)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah: mengimani bahwa
orang-orang Mukminin akan melihat Rabb mereka
di akhirat dengan mata kepala mereka dan mereka
mengunjungi-Nya, Allah akan berbicara dengan
mereka dan sebaliknya mereka akan berbicara
dengan-Nya. Allah berfirman, “Wajah-wajah (orang-
orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada rabb-
nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyaamah: 22-23)
Dan mereka akan melihat-Nya seperti halnya
melihat bulan pada malam bulan purnama, mereka
tidak berdesak-desakan saat melihat-Nya. Seperti
yang disabdakan Nabi SAW, “Sesungguhnya kalian
akan melihat Rabb kalian, seperti kalian melihat bulan di
malam bulan purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan
saat melihat-Nya.” (Muttafaq’alaihi). (HR. Al-Bukhari
no. 554 dan Muslim no. 633 (211), dari Sahabat
Jarir bin ‘Abdillah r.a. Lafazh bermakna tidak
terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh yang
bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul
Baari (II/33).
Allah ta’ala turun ke langit dunia pada seperti
malam dengan turun sebenar-benarnya sesuai
dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
Nabi SAW bersabda, “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala
turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal
sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman : ‘Siapa
yang berdo’a kepada-Ku, maka pasti Aku memperkenankan
do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku
memberinya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku,
maka Aku mengampuninya.” (Mutafaq’alaihi). (HR. Al-
Bukhari no. 7494 (168), at-Tirmidzi no. 3498, Abu
Dawud no. 1315, 4733 dan Ibnu Abi ‘Asihim dalam
as-Sunnah no. 492).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa
Allah ta’ala datang pada hari Akhir untuk
mengadili di antara para hamba-Nya dengan
datang secara hakiki sesuai dengan keagungan-
Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Jangan (berbuat
demikian)! Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan
datanglah Rabb-mu; sedang Malaikat berbaris-baris.” (Al-
Fajar: 21-22)
Dan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan
melainkan datangnya Allah dan Malaikat (pada hari
Kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskan
perkaranya.” (Al-Baqarah: 210)
Maka manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
semua hal tersebut: mengimani secara sempurna
dan menerima (taslim) apa yang dikabarkan Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya SAW.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam az-
Zuhri, “Risalah itu datangnya dari Allah, dan tugas
Rasul adalah menyampaikan (risalah tersebut)
sedang kewajiban kita adalah taslim (patuh/
tunduk).” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi,
dalam kitab Syarbus Sunnah (I/217). Lihat Fat-hul
Baari (XIII/503).
Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Sufyan bin
‘Uyainah, “Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk
diri-Nya dalam al-Qur-an, maka bacaannya adalah
tafsirnya, tidak ada kata ‘bagaimana’ dan tidak
ada tandingannya.” (Dirawayatkan oleh Imam al-
Lalika-i, dalam kitab Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, no. 736).
Imam asy-Syafi’i juga berkata, “Aku beriman
kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya sesuai
dengan apa yang dimaksud Allah. Aku beriman
kepada Rasul-Nya dan apa yang datang darinya
sesuai dengan apa yang dimaksudkan
Rasulullah.” (Lihat, Lum’atul I’tiqaad al-Haadi ilaa
Sabilir Rasyaad, karya imam ibnu Qudamah al
Magdisi yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin
‘Abdul Wahab al-‘Aqil (I/83) cet. Maktabah
Adhwaa-us Salaf, tahun 1419 H).
Al-Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya
kepada Al-Auza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik
bin Anas tentang hadits-hadits dalam masalah sifat
dan ru’yah, maka mereka menjawab,
“‘Perlakukanlah sebagaimana apa adanya, tanpa
menanyakan bagaimananya.’ (Diriwayatkan oleh
Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah
(I/171), lihat ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadiits oleh
Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ismail bin
‘Abdurrahman ash-Shabuni, tahqiq Badr bin
‘Abdullah al-Badr no. 90 dan Syarah Ushuul
I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i
no. 875).
Imam Malik bin Anas -Imam Darul Hijrah- berkata:
“Waspadalah kalian terhadap perbuatan bid’ah!”
Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu?” Beliau
menjawab: “Ahli bid’ah adalah mereka
memperbincangkan Asma’ Allah, Sifat-sifat-Nya,
kalam-Nya, ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya. Mereka
tidak diam seperti diamnya pada sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab
Syarhus Sunnah (I/217).
Seseorang bertanya kepada Imam Malik bin Anas
tentang maksud Firman Allah, “(Yaitu) Yang Maha
Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaahaa: 5)
Beliau menjawab, “”Istiwa’-nya Allah tidaklah
majhul (diketahui maknanya), dan kaifiyyatnya
tidak dapat dicapai akal (tidak diketahui), dan
beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal
tersebut adalah perbuatan bid’ah dan aku tidak
melihatmu kecuali engkau adalah seorang yang
sesat.”
Kemudian beliau menyuruh agar orang tersebut
dikeluarkan dari majlis ilmu
beliau.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi,
dalam kitab Syarhus Sunnah). (Dikeluarkan oleh al-
Lailak-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah
wal Jama’ah no. 664, Mukhtashar al-‘Uluw oleh
Imam ad-Dzahabi, Tahqiq Syaikh al-Albani, hal.
141-142, cet. Al-Maktab al-Islami, th. 1412 H.)
Imam Abu Hanifah berkata: “Seseorang tidak
boleh berbicara sedikit pun tentang Dzat Allah,
namun hendaknya ia mensifati-Nya dengan sifat-
sifat yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. Dan
tidak mengatakan dalam hal ini dengan
sependapatnya semata. Mahasuci Allah lagi Maha
Tinggi, Rabb semesta alam.”
Ketika beliau ditanya tentang sifat nuzul(turunnya
Allah ke langit dunia), maka beliau berkata: “Dia
turun dan (jangan bertanya) ‘bagaimana’ (Dia
turun)? (Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah
Tahqiq Syu’aib al-Arna-uth dan Dr. ‘Abdul Muhsin
at-Turki, hal. 264-269).
Imam al-Hafizh Nu’aim bin Hammad al Khuza’i
berkata, “Barangsiapa menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Dan
barangsiapa mengingkari apa yang telah Allah
sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Apa
yang Allah sifatkan untuk diri-Nya maupun
(disifatkan oleh) Rasul-Nya bukanlah tasybih
(penyerupaan).” (Diriwayatkan Imam adz-Dzahabi,
dalam kitab al-‘Uluuw lil ‘Aliyyil Ghoffar). (Hal. 184
no. 217).
Sebagian Salaf berkata, “Pijakan Islam tidak akan
kokoh kecuali di atas jembatan taslim (penyerahan
diri kepada Allah dan Rasul-Nya).” (Diriwayatkan
oleh Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
hal.171. Lihat pula Syarhul ‘Aqiidatith
Thahaawiyyah tahqiq Syaikh al-Albani hal. 201,
‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadits oleh Imam ash-
Shabuni no. 91).
Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti metode
Salaf dalam berbicara tentang Dzat Allah Ta’ala
dan sifat-Nya, maka ia akan konsisten dengan
manhaj al-Qur-an tentang Asma’ Allah dan Sifat-
sifat-Nya; meskipun orang tersebut hidup pada
zaman Salaf maupun pada zaman yang datang
kemudian.
Sebaliknya, barangsiapa berselisih dengan Salaf
dan manhajnya, maka ia tidak akan konsisten
dengan manhaj al-Qur-an, walaupun ia berada di
zaman salaf bahkan sekalipun ia hidup di antara
pada sahabat dan Tabi’in.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul
Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih
(Ahlis Sunnah wal Jama’ah) , atau Intisari Aqidah Ahlus
Sunah wal Jama’ah) , terj. Farid bin Muhammad
Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 68 -91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar