Selasa, 16 Juni 2015

Kemuliaan orang2 yg berakal

"Kemuliaan Orang-
orang Yang Berakal"

Oleh: Teungku Azhar,
Lc.

Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ
ﻭَﺍﻷَﺭْﺽِ ﻭَﺍﺧْﺘِﻼَﻑِ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ
ﻭَﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ َﻵَﻳَﺎﺕٍ ِﻷُﻭﻟِﻲ ﺍﻷَﻟْﺒَﺎﺏِ
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan
bumi, dan silih
bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang
yang berakal.”
Tafsir Ayat
Imam Ath-Thabari –
rahimahullah- berkata,
“Ayat ini adalah hujjah
yang nyata dari Allah
kepada seluruh
makhluk-Nya bahwa Dia-
lah yang mengatur,
mempersilih-gantikan
sesuatu, dan kepada-
Nya lah semua makhluk
berharap dan
bergantung. Maka
perhatikanlah wahai
orang-orang yang
berakal.”
Imam Ibnu Katsir –
rahimahullah- berkata,
“Bahwasanya pada
penciptaan langit dan
bumi (dan apa-apa yang
ada pada keduanya),
serta bergantinya siang
dan malam terdapat
tanda-tanda bagi orang
yang berakal sempurna,
yang mengenal sesuatu
dengan hakikatnya, dan
bukan seperti orang-
orang yang bisu, tuli,
dan buta yang disifati
oleh Allah dengan,
ﻭَﻛَﺄَﻳِّﻦْ ﻣِﻦْ ﺁﻳَﺔٍ ﻓِﻲ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽِ ﻳَﻤُﺮُّﻭﻥَ
ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻣُﻌْﺮِﺿُﻮﻥَ
. ﻭَﻣَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ
ﺇِﻻ ﻭَﻫُﻢْ ﻣُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ
“Dan banyak sekali
tanda-tanda (kekuasaan
Allah) di langit dan di
bumi yang mereka
melaluinya, sedang
mereka berpaling dari
padanya. Dan
sebahagian besar dari
mereka tidak beriman
kepada Allah, melainkan
dalam keadaan
mempersekutukan Allah
(dengan sembahan-
sembahan lain).” (QS.
Yusuf: 105 dan 106)
Kemudian beliau
berkata, “Kemudian
Allah menjelaskan
tentang sifat orang-
orang yang berakal
tersebut dalam ayat-
ayat berikutnya:
“(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah
sambil berdiri atau
duduk atau dalam
keadan berbaring dan
mereka memikirkan
tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha suci
Engkau, Maka
peliharalah Kami dari
siksa neraka.” (QS. Ali
Imran: 191)
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
ﺻَﻞِّ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻊْ
ﻓَﻘَﺎﻋِﺪًﺍ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻊْ
ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺟَﻨْﺐٍ
“Shalatlah dalam
keadaan berdiri, jika
kamu tidak mampu
maka shalatlah dengan
keadaan duduk, jika
tidak mampu juga maka
shalatlah dalam
keadaan
berbaring.” (HR. Al-
Bukhari, Abu Dawud,
dan At-Tirmidzi)
Beberapa Karakteristik
Akal Seorang Muslim
Akal adalah potensi. Ia
bersifat netral,
tergantung kepada
siapa yang
menggunakannya.
Manakala digunakan
oleh orang beriman, ia
akan menuntunnya
kepada keagungan Allah
Ta’ala dan
kesejahteraan manusia.
Namun manakala ia
dimanfaatkan oleh
orang kafir yang jauh
dan lepas dari
bimbingan wahyu, akal
justru akan menyeret
manusia kepada
kerusakan dan
kesengsaraan. Karena
itu Islam menggariskan
beberapa karakteristik
yang mesti ada agar
potensi akal bisa
dimanfaatkan untuk
kebaikan manusia.
Dr. Abdus Salam Al
Basyuni menyebutkan
beberapa karakteristik
yang tersebut adalah :
Pertama: Akal muslim
Maknanya akal yang
benar-benar tunduk
kepada ketentuan Allah
Ta’ala. Ia mengerti
betul medan mana saja
yang harus digeluti dan
medan mana yang ia
tidak boleh turut
campur di dalamnya.
Akal muslim berarti akal
yang beragama bukan
akal seorang atheis.
Dalam medan yang
dilarang bergerak, ia
berhenti dan
menyerahkan diri
sepenuhnya kepada
nash secara sempurna
karena ia menyadari
memang ada medan
yang di luar
kemampuan dan
jangkauannya. Setelah
meneliti, akal menyadari
bahwa syar’I tak
mungkin
memerintahkan hal
yang membawa
kemudharatan bagi
manusia. Akal
menyadari antara hati
dan akal beredar di
orbit yang sama, tak
mungkin keduanya
bertabrakan atau saling
menghancurkan. Akal
dan hati laksana bulan
dan planet. Akal
mengikuti hati yang
dibimbing wahyu,
sebagaimana bulan
beredar mengelilingi
planet.
Dalam medan yang
diperbolehkan, akal
bekerja mengerahkan
segenap kemampuannya
untuk berdaya upaya
bagi kesejahteraan
manusia, dengan satu
syarat tidak keluar atau
menentang wahyu.
Dalam medan ayang
dibolehkan bergerak
inilah, akal benar-benar
bermanfaaat melahirkan
berbagai kemajuan fisik
yang memabawa
kesejahteraan hiduap
manusia. Akal menjadi
awal dari perbagai
penemuan dan
kemajiuan di bidang
industri, iptek,
kesehatan dan bidang
kehidupan lainanya.
Ustadz Muhammad
Qutb menjelaskan
hubungan akal dengan
wahyu dengan jelas.
Kata beliau,” Jadi wahyu
dan akal bukanlah dua
hal yang seimbang
(serupa dan sama). Tapi
yang pertama (wahyu)
lebih besar dan lebih
sempurna dari yang
kedua. Yang pertama
datang untuk menjadi
pokok bagi yang kedua
dan mizan (neraca
timbangan) untuk
menguji konsep dan
pemahaman yang kedua
(akal) dan membenarkan
kekurangan dan
penyelewengan yang
kedua. Antara
keduanaya ---tak
diragukan lagi ---
memang ada kesesuaian
namun atas dasar ini
(sama-sama bekeraja
demi kemaslahatan
manusia namun wahyu
mengendalikan dan
mengawasi akal---pent),
bukan atas dasar
menganggap keduanya
sebagai dua hal
sebanding.” [Khashoishu
al Tashawur al Islamy
hal. 20, dari Basyuni
hal. 27].
Dari sini akal seorang
muslim adalah akal
ghoibi, dalam artian
kata mengimani hal-hal
yang ghoib dan
mu’jizat-mu’jizat yang
telah ditetapkan Alalh
sekalipun tak bisa
dicerna akal sehat. Hal-
hal yang ghaib dan
mu’jizat para nabi
memang seratus persen
dari Allah, karena itu
para nabi sendiri
mendatangkan mu’jizat
itu bukan atas kemauan
mereka sendiri, namun
sekali lagi atas kehedak
Allah sebagaimana
disebutkan dalam ayat,”
Katakanlah Maha Suci
Rabbku. Bukankah aku
tak lain hanyalah
seorang manusia biasa
dan seorang rasul.” [QS.
Al Isra’ :93].
Ini tentu berbeda
dengan akal para “
pakar dan cendekiawan
muslim ” hari ini yang
banyak meragukan
wahtu, hal-hal yang
ghoib dan mu’jizat para
nabi dengan alasan tak
masuk akal. Akal yang
demikian ini tentu
bukan akal yang sehat,
namun akal yang sakit
dan teracuni oleh virus-
virus pemikiran barat
dan kufur.
Kedua: Akal Ushuli
Salafy
Artinya akal yang benar-
benar mengakui dasar-
dasar dan pokok-pokok
sumber ajaran Islam :
a) Mengakui dan
mengimani Al-Qur’an Al-
Karim, berikut muhkam
dan mutasyabihnya,
qath’i dilalah dan
dhoni’ dialahnya.
b) Menghormati dan
berkhidmat kepada
sunah nabawiayah,
menerima yang sunah
yang shahih yang
diterima oleh umat
setelah diperiksa oleh
para pakar hadits
melalui qaidah-qaidah
musthalah hadits. Akal
seorang muslim selalu
menerima setiap hadits
yang shahih, tanpa
membuat dikotomi
hadits ahad-hadits
mutawatir, hadits
masalah hukum-hadits
masalah aqidah dst
seperti dilakukan oleh
kaum Mu’tazilah, yang
ditiru para
“cendekaiawan gerakan
pembaharuan
keagamaan” dewasa ini.
c) Mengakui ijma’ dan
mencari hal-hal yang
telah menjadi ijma’
para ulama. Manakala
suatu masalah telah
menjadi ijma’, akal tak
boleh mencari-cari celah
untuk menemukan
pendapat yang lain.
d) Mengakui qiyas
shahih sebagai dasar
keempat bagi ijtihad.
Qiyas yang shahih akan
membimbing akal
menuju kesesuaian
ajaran Islam dengan
berbagai perkembangan
zaman.
Karena itu akal seorang
muslim menolak
berbagai pemikiran
yang merusak keempat
dasar Islam ini. Akal
menolak :
a) Orang-orang yang
meragukan Al Qur’an
baik seluruhnya,
sebagiannya atau meski
satu huruf sekalipun.
Karena itu kita menolak
anggapan dan tuduhan
bohong yang
mengatakan ada mushaf
lain selain Al Qur’an
yang lebh lengkap
seperti pendapat
Rafidzah, atau yang
mengatakan Al Qur’an
adalah kisah fiktif biasa
layaknya novel picisan
seperti yang dikatakan
Thoha Husain dalam
buku Al Syi’ru al
Jahili’nya atau yang
meragukan adanya
Ibrahim seperti
dikatakan oleh
Muhammad Ahmad
Khalfullah dalam
disertasinya, Al Qashash
al Fanni fi al Qur’anil
Karim. Sebagaimana kita
juga menolak orang-
orang yang memasukkan
teori-teori impor dari
orang kafir untuk
memahamai Al Qur’an
seperti teori
materialistik, sosialisme
dst.
b) Kita juga menolak
orang-orang yang
mengingkari as sunah,
yang menyerang dan
menghujat manhaj
penulisan hadits, para
perawi-nya,
mukharijnya, kaedah
mustholah hadits dst.
c) Kita Juga menolak
orang-orang yang hanya
menerima sunah bila
sesuai dengan
kepentinagan mereka,
namun menolaknya
manakala tidak memberi
keuntungan kepada
mereka, sebagaimana
disebutkan Allah dalam
QS. An Nur : 47-50.
d) Kita juga menolak
orang-orang yang
mengingkari ijma’
secara terus terang atau
menolaknya dengan
alasan tak mungkin
terajadi.
e) Kita Menolak orang-
orang yang menolak dan
mengingkari qiyas,
karena qiyas seperti
disebut oleh imam Al
Asnawi adalah dan
qoidatu al ijtihad wa al
mushil ila al ahkam
allati laa hasro laha /
kaedah ijtihad dan hal
yang menyampaikan
kepada hukum yang
jauh tak terbatas.
Selain empat dasar ini,
akal seorang muslim
juga menerapkan
kaedah-kaedah yang
telah disepakati untuk
melakukan ijtihad
seperti ushul fiqh, ilmu
tentang waqi’, ilmu
tentang bahasa arab
[Nahwu, Sharaf,
Balaghah dll], ilmu
tentang asbabun nuzul,
nasikh dan mansukh
dll. Sebaliknya, kita
menolak orang-orang
yang memaksakan akal
mereka untuk ikut
nimbrung – bila tanpa
dasar ilmu-ilmu dan
syarat ijtiahad --- dalam
arena ijtihad dengan
alasan kajian ulang dan
ijtihad serta
pembaharuan.
Seperti kita ketahui
bersama, memang
banyak yang mengkritik
sikap berpegang teguh
dengan dasar-dasar
ajaran Islam ini sebagai
sikap jumud, statis,
kuno, ketinggalan
zaman dan tak mampu
menyesuaikan diri
dengaperkemabangan
zaman. Tuduhan ini
selain salah juga
mengada-ada. Betapa
tidak, tak ada pihak
manapun yang tidak
memeganag teguh
alandasa berpikirnya,
sampai orang-orang
kafir sekalipun. Lihat
saja Eropa. Mereka
betul-betul memegangi
pendapat dan teori
tokoh-tokoh filsafat kuno
mereka seperti Plato
dan Aristoteles,
demikian juga dengan
sastrawan seperti
skahespear dan tokoh-
tokoh lain. Bahkan
orang Islam yang
kebarat-baratan yang
meneriakkan tuduhan
tadi ternyata juga
bangga dengan budaya
kuno Yunani, Romawi,
Babilonia, Asyuriah,
Qibthiyah dst.

[diambil
dari majalah YDSUI]
Wallahu A’lamu bish
Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar