Kamis, 10 Maret 2016

Surat AL-INSYIRAAH (KELAPANGAN)

🌹 Tafsir Al Azhar Surat ke 94, Surat Al INSYIRAAH  oleh Prof Dr. Buya Hamka

Surat AL-INSYIRAAH (KELAPANGAN)

Surat 94: 8 ayat Diturunkan di MAKKAH

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Surat ini terdiri atas 8 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah dan diturunkan sesudah surat Adh Dhuhaa. Nama Alam Nasyrah diambil dari kata Alam Nasyrah yang terdapat pada ayat pertama, yang berarti: bukankah Kami telah melapangkan.   Pokok-pokok isinya: Penegasan tentang nikmat-nikmat Allah s.w.t. yang diberikan kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan pernyataan Allah bahwa disamping kesukaran ada kemudahan karena itu diperintahkan kepada Nabi agar tetap melakukan amal-amal saleh dan bertawakkal kepada-Nya.

1- Bukankah telah Kami lapangkan untukmu dadamu?

١. أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

2- Dan telah Kami lepaskan daripadamu beban beratmu?
.
٢. وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ

3- Yang telah menekan punggungmu?

٣. الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ

4- Dan telah Kami tinggikan bagimu sebutan kamu

٤. وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ

"Bukankah telah Kami lapangkan untukmu dadamu?" (ayat 1). Tegas artinya ialah; Bukankah dadamu telah kami lapangkan? Yang tadinya sempit karena susah atau dukacita, atau sempit karena belum banyak diketahui jalan yang akan ditempuh, sehingga dengan Allah melapangkan dada itu, timbullah kebijaksanaan dan timbullah hukum dan pertimbangan yang adil. Bukankah dengan petunjuk Kami dadamu telah lapang menghadap segala kesulitan?

Dalam ungkapan bahasa kita sendiri pun telah terkenal dipakai kata-kata "lapang", dan "sempit dada" sebagai ungkapan fikiran yang sempit.

"Dan telah Kami lepaskan daripadamu beban beratmu?" (ayat 2). "Yang telah menekan punggungmu?" (ayat 3)

Berbagai tafsir telah saya baca tentang arti wizraka di sini. Beberapa ahli tafsir mengatakan: Beban berat ialah tekanan dosa yang menimpa perasaan Nabi s.a.w. Al-Qurthubi dalam tafsirnya menguatkan bahwa arti wizraka di sini ialah dosa-dosa. Dan itu adalah dosa-dosa zaman jahiliyah, meskipun di zaman jahiliyah itu  beliau tidak pernah menyembah berhala.

Tetapi satu tafsir yang menarik hati kita dan cocok dengan perasaan kita ialah yang diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Yahya dan Abu 'Ubaidah; "Dan Kami telah lepaskan daripadamu beban beratmu," ialah tanggungjawab nubuwwat. Sebab menjadi Nabi dan Rasul adalah satu beban berat. Itulah telah dibuat ringan oleh Allah sehingga tidak berat memikulnya lagi."

Ibnu 'Arafah pun menafsirkan secara demikian; "Beban berat yang membuat tulang punggung jadi bungkuk memikulnya. Mengadakan seruan da'wah kepada kaumnya, padahal sedikit sekali yang mau mengacuhkan katanya. Dan "assabiqunal awwalun", atau orang-orang yang mula-mula masuk itu umumnya ialah golongan-golongan lemah. Sedang di seluruh Tanah Arab faham musyrik yang lebih berkuasa, kesesatan lebih berpengaruh dan kekuatan ada pada tangan mereka." Ini semuanya adalah suatu pikulan yang amat berat, laksana dapat mematahkan tulang punggung.

"Dan telah Kami tinggikan bagimu sebutan kamu." (ayat 4). Meskipun demikian beratnya beban nubuwwat yang laksana membuat tulang punggung jadi bungkuk, namun sebutanmu Kami naikkan.
Namamu Kami junjung tinggi. Mujahid menafsirkan; "Tidaklah disebut orang namaKu, namun namamu turut disebutkan bersama namaKu."

Menurut riwayat yang dirawikan oleh Abu Dhahhak dari Ibnu Abbas, berkata beliau: "Bila disebut orang namaKu, namamu pun turut disebut dalam azan (bang), dalam iqamat, dalam syahadat. Di hari Jum'at di atas mimbar, di Hari Raya 'Idul Fithri, di Hari Raya 'Idul Adhha, di Hari Tasyriq di Mina, di hari wuquf di 'Arafah, di hari melontar jumrah ketiganya, di antara bukit Shafa dan Marwah, bahkan sampai kepada khutbah nikah, namun namamu disejejerkan menyebutkannya dengan namaKu, sampai ke Timur, sampai ke Barat. Malahan jika adalah seseorang menyembah beribadat kepada Allah yang Maha Kuasa, seraya mengakui akan adanya syurga dan neraka, dan segala yang patut diakui, padahal tidak dia akui bahwa engkau Rasulullah, tidaklah ada manfaatnya segala pengakuannya itu, malahan
dia masih kafir." Demikian satu tafsir Ibnu Abbas.

Dan lebih tepat lagi tafsir Imam asy-Syafi'i. Beliau berkata: Artinya ialah: "Tidak disebut namaKu, melainkan mesti diiringi dengan namamu. Kalau orang mengucapkan Asyhadu Alla Ilaha Illallah, barulah sah setelah diiringkan dengan Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah."

Kata Imam Syafi'i lagi: "Ucapan syahadat yang seiring dua itu adalah alamat Iman, dan ucapan seiring pada azan adalah panggilan ibadat. Diseiringkan pula ketika membaca al-Quran dan segala amal shalih dan taat, dan ketika berhenti dari maksiat." Kata beliau seterusnya: "Apa saja pun nikmat yang menyentuh kita, baik lahir ataupun batin. Atau nasib baik yang kita capai, baik dunia atau akhirat, atau kita terhindar bencana dosa yang kita benci, di dunia dan akhirat, atau di salah satu keduanya, pastilah Muhammad yang menjadi sebabnya.

Dari itu dapatlah diketahui bahwa meskipun pada lahirnya sebutan itu terbatas, namun dia pun mengandung juga dzikr-qalbi, (ingatan dalam hati) sehingga meliputi segala lapangan ibadat dan ketaatan. Seorang yang berakal lagi beriman, apabila dia mengingat Allah, akan senantiasa teringat pula dia kepada orang yang memperkenalkan Allah itu kepadanya dan siapa yang menunjukkan jalan bagaimana cara mentaati perintah Allah itu. Itulah Rasul Allah Shalallahu 'alaihi wasallama. Sebagai dikatakan orang:

"Engkau adalah laksana pintu untuk menuju Allah; siapa saja yang hendak datang kepadaNya tidaklah
dapat masuk kalau tidak melalui gerbangmu."

Demikian tafsir dari al-Imam asy-Syafi'i r.a.

Dan boleh juga engkau katakan. "Yang dimaksud dengan meninggikan sebutannya itu ialah selalu
memuliakannya dan menyebut namanya pada sekalian syi'ar-syi'ar agama yang lahir. Yang pertama
sekali ialah kalimat syahadat, sebagai pokok pertama dari agama. Kemudian itu pada azan dan iqamat
dan sembahyang dan khutbah, dan sebagainya." Itulah tafsir dari asy-Syihab.

5- Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.

 ٥. فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

6- Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.

 ٦. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

7- Maka apabila engkau telah selesai, maka tegaklah.

٧. فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ

8- Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap.

٨. وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

"Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (ayat 5). Ini adalah Sunnatullah! Nabi Muhammad merasa berat beban itu sampai seakan-akan hendak patah tulang punggung memikulnya. Namun di samping beratnya beban, atau beserta dengan beratnya beban, namanya diangkat Tuhan ke atas, sebutannya dimuliakan! Karena demikianlah rupanya Sunnatullah itu; kesulitan selalu beserta kemudahan Yang sulit saja tidak ada! Yang mudah saja pun tidak ada! Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah; itulah perjuangan hidup.
Dan ini dapat diyakinkan oleh orang-orang yang telah mengalami.
Penulis tafsir ini sendiri mendapat pengalaman besar sekali untuk meresapkan intisari ayat ini seketika ditahan dua tahun empat bulan dengan secara kezaliman dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan!

Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi akal terus berjalan; maka ilham Allah pun datang. Cepat-cepat saya baca al-Quran, sehingga pada 5 hari penahanan yang pertama saja, 3 kali al-Quran khatam dibaca. Lalu saya atur jam-jam buat membaca dan jam-jam buat mengarang tafsir al-Quran yang saya baca itu.
Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak lagi memikirkan bilakah akan keluar.

Akhirnya setelah terjadi kekacauan politik gara-gara Komunis pada 30 September 1965 itu dan di bulan Mei 1966 saya dibebaskan, saya telah selesai membaca al-Quran sampai khatam lebih dari 150 kali dalam masa dua tahun, dan saya telah selesai pula menulis Tafsir al-Quran 28 Juzu'. Karena 2 Juzu' 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum ditangkap dalam masa dua tahun. Dan kemudian itu pada tahun 1968, atau 1387 hijriyah saya dan almarhumah isteri dapat naik haji. Kami bawa pula anak kami yang kelima, Irfan. Lebih dari separuh belanja perjalanan kami bertiga beranak ialah dari hasil honorarium (royalty) Tafsir Al-Azhar Juzu' 1.

Ada penafsiran bahwa "Sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (Lihat Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama hal. 1037). Dia mengartikan ma`a dengan ba`da; beserta dengan sesudah.

Memang ada juga dalam al-Quran disebutkan:

"Kelak Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan." (ath-Thalaq: 7)

 
Ayat ini adalah lebih khusus sifatnya, yaitu memberi harapan kepada suami isteri yang dalam kesempitan tekanan-tekanan ekonomi dalam rumahtangga; sesudah sekarang susah, nanti akan mudah. Sesudah kesempitan akan lapang. Buat bujukan berumahtangga memang ayat inilah yang sesuai.

Tetapi buat memimpin perjuangan, sebagai yang dilakukan Nabi kita s.a.w. bukanlah sesudah sulit, nanti akan mudah. Bahkan dalam kesulitan itu sendiri ada kemudahan. Pada mulanya kadang-kadang orang tidak menampaknya. Namun setelah diperhatikan dengan Iman, jelaslah kelihatan.

Lalu diulang sekali lagi untuk lebih mantap dalam fikiran; "Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (ayat 6). Dan itu memang akan terjadi terus, berulang-ulang, kesulitan itu senantiasa disertai kemudahan; dalam susah ada mudahnya, dalam sempit ada lapangnya. Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, fikiran mencari jalan keluar. Oleh sebab itu dapatlah diyakinkan bahwa kesukaran, kesulitan, kesempitan, marabahaya yang mengancarn dan berbagai ragam pengalaman hidup yang pahit, dapat menyebabkan manusia bertambah cerdas menghadapi semuanya itu, yang dengan sendirinya menjadikan manusia itu orang yang dinamis.

Tetapi ini pasti akan tercapai hanya jika Iman di dada dipupuk, jangan lemah iman. Karena lemah iman akan menyebabkan kita terjatuh di tengah jalan sebelum sampai kepada akhir yang dituju, yang akan ternyata kelak bahwa kesulitan adalah kejayaan dan keberuntungan yang tiada taranya.
Kadang-kadang sesuatu pengalaman yang pahit menjadi kekayaan jiwa yang tinggi mutunya, jadi kenangan yang amat indah untuk membuat hidup lebih matang. Sehingga datang suatu waktu kita mengucapkan syukur yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya karena Tuhan telah berkenan mendatangkan kesulitan itu
kepada kita pada masa yang Iampau.

Itulah suatu keajaiban hidup!

"Maka apabila engkau telah selesai, maka tegaklah." (ayat 7). Artinya apabila telah selesai suatu pekerjaan atau suatu rencana telah menjadi kenyataan; Fan-shab! Artinya bersiaplah buat memulai pekerjaan yang baru.
Dengan kesadaran bahwa segala pekerjaan yang telah selesai atau yang akan engkau mulai lagi tidaklah terlepas daripada kesulitan, tapi dalam kesulitan itu kemudahan pun akan turut serta. Ada-ada saja nanti ilham yang akan diberikan Allah kepadamu, asal engkau senantiasa menyandarkan segala pekerjaanmu itu kepada Iman.

Tetapi sekali-kali jangan lupa, yaitu; "Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap." (ayat 8).

Inilah satu pedoman hidup yang diberikan Tuhan kepada RasulNya dan akan dipusakakan oleh Rasul kepada ummatnya, yang tegak berjuang menyambung perjalanan memikul "beban berat" itu menjalankan perintah Tuhan; selesai satu usaha, mulai lagi usaha baru. Tapi Tuhan jangan ditinggalkan! Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal engkau pergunakan otakmu buat memecahkannya. Sebab Tuhan tidak pernah mengecewakan orang yang bertawakkal kepadaNya.

Ada juga difahamkan orang dari hal pertalian ayat 5 dan ayat 6, beserta kesulitan ada kemudahan, bersama kesulitan ada kemudahan. Dia melihat bahwa `usri (kelihatan) yang tercantum di ayat 6 adalah terjepit di antara dua yusran, sebab itu maka `usri tidaklah akan menang.

Akhimya dia mesti kalah juga. Sebab 'usrin yang dijepit oleh dua yusran. Ataupun adalah sikap jiwa dari Saiyidina Umar bin Khathab sendiri.

Maka tersebutlah di dalam kitab al-Muwaththa' Imam Malik, di dalam Kitab pada menyatakan Jihad, suatu riwayat demikian bunyinya:

"Dari Zaid bin Aslam, berkata dia: "Abu `Ubaidah bin Jarrah menulis surat kepada Umar bin Khathab yang isinya menerangkan bahwa suatu Tentera Rum yang sangat besar telah siap akan menyerang mereka, kekuatan tentara itu amat mencemaskan."

Surat itu dibalas oleh Saiyidina Umar bin Khathab, di antara isinya; "Amma Ba'du; Bagaimana jua pun kesukaran yang dihadapi oleh orang yang beriman, namun Allah akan melepaskannya jua dari kesukaran itu, karena satu 'usrin (kesulitan) tidaklah akan dapat mengalahkan dua Yusran. 'Di waktu saya masih kanak-kanak, ipar dan guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur senantiasa membaca sambil menyanyikan sebuah syi'ir, yang dari kerapnya saya mendengar, saya pun dapat menghapalnya dan menyanyikan pula;

"Apabila bala bencana telah bersangatan menimpamu: Fikirkan segera Surat Alam Nasyrah;
'Usrun terjepit di antara dua Yusran,
Kalau itu telah engkau fikirkan, niscaya engkau akan gembira."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar