Sabtu, 12 Maret 2016

SURAT 'ABASA (BERMUKA MASAM)

🌹 Tafsir Al Azhar Surat 80 oleh  Buya Hamka

Surat ‘ABASA (BERMUKA MASAM)

Surat  80: 42 ayat Diturunkan di MAKKAH

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

1-Dia bermuka masam dan berpaling.

١. عَبَسَ وَتَوَلَّى

2-Lantaran datang kepadanya orang buta itu.

٢. أَن جَاءهُ الْأَعْمَى

3-Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh jadi dia akan jadi orang yang suci.

٣. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى

4-Atau dia akan ingat, lalu memberi manfaat kepadanya ingatnya itu.

٤. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَى

5-Adapun (terhadap) orang yang merasa diri cukup.

٥. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى

6-Maka engkau menghadapkan (perhatian) kepadanya.

٦. فَأَنتَ لَهُ تَصَدَّى

7-Padahal apalah rugimu kalau dia tidak mau suci.

٧. وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى

8-Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat.

٨. وَأَمَّا مَن جَاءكَ يَسْعَى

9-Dan dia pun dalam rasa takut.

٩. وَهُوَ يَخْشَى

10-Maka engkau terhadapnya berlengah-lengah.
١٠. فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّى

Itab Yang Merupakan Cinta

Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas; "Sedang Rasulullah menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu 'Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman, di waktu itu masuklah seorang laki laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum.
Dia masuk ke dalam majlis dengan tangan meraba-raba. Sejenak sedang Rasulullah terhenti bicara orang buta itu memohon kepada Nabi agar diajarkan kepadanya beberapa ayat al-Quran. Mungkin oleh karena terganggu sedang menghadapi pemuka-pemuka itu, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum itu, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan dan beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy tersebut.

Setelah selesai semuanya itu dan beliau akan mulai kembali kepada ahlinya turunlah
ayat ini; "Dia bermuka masam dan berpaling."

Setelah ayat itu turun sadarlah Rasulullah s.a.w. akan kekhilafannya itu.
Lalu segera beliau hadapilah Ibnu Ummi Maktum dan beliau perkenankan apa yang dia minta dan dia pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasulullah s.a.w. Di mana saja bertemu dengan Ibnu Ummi Maktum beliau menunjukkan muka yang jernih berseri kepadanya dan kadang-kadang beliau katakan; "Hai orang yang telah menjadi sebab satu kumpulan ayat turun dari langit kepadaku."

Ibnu Katsir pun meriwayatkan bahwa bukan saja Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang membawakan riwayat ini, bahkan ada pula riwayat dari Urwah bin Zubair, Mujahid, Abu Malik dan Qatadah, dan adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid dan lain-lain; bahwa yang bermuka masam itu memang Rasulullah s.a.w. sendiri dan orang buta itu memang Ibnu Ummi Maktum.

Ibnu Ummi Maktum itu pun adalah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal. atusatunya
orang buta yang turut hijrah dengan Nabi ke Madinah. Satu-satunya orang buta yang dua tiga kali diangkat Rasulullah s.a.w. menjadi wakilnya jadi Imam di Madinah kalau beliau bepergian. Ibu dari Ibnu Ummi Maktum itu adalah saudara kandung dari ibu yang melahirkan Siti Khadijah, isteri Rasulullah s.a.w.

Dan setelah di Madinah, beliau pun menjadi salah seorang tukang azan yang diangkat Rasulullah s.a.w. di samping Bilal. "Dia bermuka masam dan berpaling." (ayat 1). "Lantaran datang kepadanya orang buta itu." (ayat 2).

"Padahal, adakah yang memberitahumu,boleh jadi dia akan jadi orang yang suci."(ayat 3).

Dalam ketiga ayat ini ahli-ahli bahasa yang mendalami isi al-Quran merasakan benar benar betapa mulia dan tinggi susun bahasa wahyu itu dan Allah terhadap RasulNya.

Beliau disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya; hendaklah bermuka manis terus, sehingga orang-orang yang
tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai. Pada ayat 1 dan 2 kita melihat bahwa kepada Rasulullah tidaklah dipakai bahasa berhadapan, misalnya; "Mengapa engkau bermuka masam, mentang-mentang yang datang itu orang buta?"

Dan tidak pula bersifat larangan: "Jangan engkau bermuka masam dan berpaling." Karena dengan susunan kata larangan, teguran itu menjadi lebih keras. Tidak layak dilakukan kepada orang yang Allah sendiri menghormatinya!

Tidak! Allah tidak memakai perkataan yang demikian susunnya kepada RasulNya. Melainkan dibahasakannya RasulNya sebagai orang ketiga menurut ilmu pemakaian bahasa.
Allah tidak mengatakan engkau melainkan dia.
Dengan rnembahasakannya sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus.
Apatah lagi dalam hal ini Rasulullah tidaklah membuat suatu kesalahan yang disengaja atau yang mencolok mata.

Apatah lagi Ibnu Ummi Maktum anak saudara perempuan beliau, bukan orang lain bahkan terhitung anak beliau juga.

Di ayat 3 barulah Allah menghadapkan firmanNya terhadap Rasul sebagai orang kedua dengan ucapan engkau atau kamu; "Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh jadi dia akan jadi orang yang suci?" Kita ini pun, walaupun terhadap orang kedua, susunannya pun halus. Memang belum ada orang yang memberitahu lebih dahulu bahwa Ibnu Ummi Maktum itu di belakang hari akan menjadi orang yang sangat penting, yang benar telah dapat mensucikan dirinya. Allah pun di dalam ayat ini memakai bahasa halus memberitahukan bahwa Ibnu Ummi Maktum itu kelak akan jadi orang yang suci, dengan membayangkan dalam kata halus bahwa terdahulu belum ada agaknya orang yang mengatakan itu kepada Nabi s.a.w.

Apakah perbuatan Nabi s.a.w. bermuka masam itu satu kesalahan yang besar, atau satu dosa?

Tidak! Ini adalah satu ijtihad; dan menurut ijtihad beliau orang-orang penting pemuka Quraisy itu hendaklah diseru kepada Islam dengan sungguh-sungguh.

Kalau orangorang semacam `Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam dan Abbas bin Abdul Muthalib masuk Islam, berpuluh di belakang mereka yang akan mengikut. Payahpayah sedikit menghadapi mereka tidak mengapa.
Masuknya Ibnu Ummi Maktum ke dalam majlis itu beliau rasa agak mengganggu yang sedang asyik mengadakan da'wah. Sedang Ibnu Ummi Maktum itu orang yang sudah slam juga.

"Padahal, adakah yang memberitahumu, boleh jadi dia akan jadi orang yang suci?" (ayat 3). "Atau dia akan ingat, lalu memberi manfaat kepadanya ingatnya itu?" (ayat 4).

Dengan kedua ayat ini Rasulullah s.a.w. diberi ingat oleh Allah bahwa Ibnu Ummi Maktum itu lebih besar harapan akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih, kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang.

Bayangan yang sehalus itu dari Allah terhadap seorang yang cacat pada jasmani dalam keadaan buta, tetapi dapat lebih maju dalam iman, adalah satu pujian bagi Ibnu Ummi Maktum pada khususnya dan sekalian orang buta pada umumnya.

Dan orang pun melihat sejarah gemilang Ibnu Ummi Maktum itu, sehingga tersebut di dalam sebuah riwayat dari Qatadah, yang diterimariya dari Anas bin Malik, bahwa di zaman pemerintahan Amirul Mu'minin Umar bin Khathab, Anas melihat dengan matanya sendiri Ibnu Ummi Maktum turut dalam peperangan hebat di Qadisiyah, ketika penaklukan negeri Persia, di bawah pimpinan Sa'ad bin Abu Waqqash.

"Adapun (terhadap) orang yang merasa diri cukup." (ayat 5).
Yaitu orang yang merasa dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi, atau yang merasa dirinya kaya sehingga merasa rendah kalau menerima ajaran dari orang yang dianggapnya miskin, atau merasa dirinya sedang berkuasa sehingga marah kalau mendengar kritik dari rakyat yang dipandangnya rendah; "Maka engkau menghadapkan (perhatian) kepadanya." (ayat 6).

Itulah suatu ijtihad yang salah, meskipun maksud baik! Orang-orang yang merasa dirinya telah cukup itu memandang enteng segala nasihat.

Pekerjaan besar, revolusirevolusi besar, perjuangan-perjuangan yang hebat tidaklah dimulai oleh orang-orang yang telah merasa cukup.
Biasanya orang yang seperti demikian datangnya ialah kemudian sekali, setelah melihat pekerjaan orang telah berhasil.

"Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci." (ayat 7).
Padahal sebaliknyalah yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orang-orang seperti itu tempoh akan banyak terbuang.
Karena mereka masuk ke dalam perjuangan lebih dahulu akan memperkajikan, berapa keuntungan benda yang akan didapatnya.
Di dalam ayat ini Tuhan telah membayangkan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak mau menempuh jalan kesucian.
Yang akan rugi hanya mereka sendiri, karena masih bertahan dalam penyembahan kepada berhala.

"Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat." (ayat 8).
Kadang-kadang datang dari tempat yang jauh-jauh, sengaja hanya hendak mengetahui hakikat ajaran agama, atau berjalan kaki karena miskin tidak mempunyai kendaraan sendiri; "Dan dia pun dalam rasa takut." (ayat 9).

Yaitu rasa takut kepada Allah, khasyyah! Karena iman mulai tumbuh; "Maka engkau terhadapnya berlengah-lengah." (ayat 10).

Sejak teguran ini Rasulullah s.a.w. merobah taktiknya yang lama.
Lebih-lebih terhadap orang-orang baru yang datang dari kampung-kampung yang jauh, yang disebut orang Awali, atau orang Badwi atau yang disebut A'rab.
Malahan sesampai di Madinah pernah si orang kampung yang belum tahu peradaban itu memancarkan kencingnya di dalam mesjid, sehingga sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. marah kepada orang itu. Lalu dengan lemah-lembutnya Rasulullah bersabda: "Jangan dia
dimarahi, cari saja air, siram baik-baik."

Maka datanglah satu ukhuwwah Islamiah dan satu penghormatan yang baik di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. itu, karena teguran halus yang rupanya sudah disengaja Tuhan itu. Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya; "Adalah Nabi s.a.w. itu di dalam haribaan didikan Tuhannya, karena dia adalah kekasih Tuhan. Tiap-tiap timbul dari dirinya sesuatu sifat yang akan dapat menutupi cahaya kebenaran (Nurul Haqq), datanglah teguran halus Tuhan.

Tepatlah apa yang beliau sendiri pemah mengatakan:

"Aku telah dididik oleh Tuhanku sendiri, maka sangatlah baiknya didikan itu.''
Sehingga budi akhlak beliau telah diteladannya dari budi akhlak Tuhan sendiri. Tambahan kita;
Dan cara Allah memberikan teguran itu, demikian halusnya kepada Nabi yang dicintaiNya, pun adalah suatu adab yang hendaklah kita teladan pula.

11-Tidak begitu! Sesungguhnya dia itu adalah peringatan.

١١. كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ

12-Maka barangsiapa yang mau, ingatlah dia kepadanya.
١٢. فَمَن شَاء ذَكَرَهُ

13-(Dia) adalah di dalam kitab-kitab yang dimuliakan.

١٣. فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ

14-Yang ditinggikan, yang disucikan

١٤. مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ

15-Di tangan utusan-utusan.

١٥. بِأَيْدِي سَفَرَةٍ

16-Yang mulia-mulia, yang berbakti.

١٦. كِرَامٍ بَرَرَةٍ

Peringatan!

Tidak begitu!" (pangkal ayat 11).
Artinya janganlah kamu salah sangka, atau salah tafsir, sehingga kamu menyangka atau menafsirkan bahwa ayat-ayat yang turun ini hanya semata-mata satu teguran karena Nabi bermuka masam seketika Ibnu Ummi Maktum datang. Soalnya bukan itu!
Sesungguhnya dia itu," yaitu ayat-ayat yang diturunkan Tuhan itu, "adalah peringatan." (ujung ayat 11).

Artinya, bahwasanya ayat-ayat yang turun dari langit, yang kemudiannya tersusun menjadi Surat-surat dan semua Surat-surat itu terkumpul menjadi al-Quranul Karim, semuanya adalah peringatan ummat manusia dan jin, tidak pandang martabat dan pangkat, kaya dan miskin; semuanya hendaklah menerima peringatan itu.

"Maka barangsiapa yang rnau, ingatlah dia kepadanya." (ayat 12).
Baik yang mau itu orang merdeka sebagai Abu Bakar, atau hambasahaya sebagai Bilal, atau orang kaya sebagai Abu Sufyan, atau orang miskin dari desa, sebagai Abu Zar; namun martabat mereka di sisi Allah adalah sama.
Yaitu sama diterima jika beriman, sama disiksa jika mendurhaka.

"(Dia) adalah di dalam kitab-kitab yang dimuliakan." (ayat 13).
Artinya, sudah lama sebelum ayat-ayat al-Quran itu diturunkan ke dunia ini kepada Nabi Akhir Zaman Muhammad s.a.w. dia telah tertulis terlebih dahulu di dalam shuhuf yang di dalam tafsir ini kita artikan kitab-kitab. Shuhuf adalah kata banyak dari shahifah.

Di dalam sebuah Hadis yang dinyatakan bahwa keseratus empat belas Surat itu telah tertulis lengkap dan tertahan di langit pertama, dan diturunkan ke dunia dengan teratur dalam masa 23 tahun.

Dia terletak di waktu itu di tempat yang mulia, dan tidak seorang pun dapat menyentuhnya kecuali malaikat-malaikat yang suci-suci.
Sebab itu dikatakan seterusnya; "Yang ditinggikan, yang disucikan." (ayat 14). Yang ditinggikan, yaitu ditinggikan kehormatannya, tidak sama dengan sembarang kitab.

Yang disucikan dan dibersihkan daripada tambahan dan kekurangan, disuci-bersihkan pula daripada tambahan kata manusia, khusus Kalam Allah semata-mata. "Di tangan utusanutusan." (ayat 15)
Kalimat Safarah kita artikan di sini dengan utusan-utusan, sebab dia adalah kata banyak dari Safiir, yang pokok artinya ialah Utusan Terhormat, atau Utusan Istimewa.

Oleh sebab itu maka Utusan sebuah negara ke negara lain, yang disebut dalam bahasa
asing Ambasador, di dalam bahasa Arab moden pun disebut Safiir.

Dan dalam bahasa Indonesia kita sebut Duta, atau Duta Besar Istimewa.
Maka bahasa yang paling tinggi pulalah yang layak kita berikan kepada malaikat-malaikat pembantu Jibril;

"Yang mulia-mulia, yang berbakti." (ayat 16).

Menyampaikan ayat-ayat sabda Tuhan itu kepada Manusia "Mushthafa", Pilihan Tuhan itu.

Demikianlah sucinya al-Quran.

17-Celakalah Insan, alangkah sangat kufurnya.

١٧. قُتِلَ الْإِنسَانُ مَا أَكْفَرَهُ

18-Daripada apa Dia menjadikannya?

١٨. مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

19-Dari nuthfah Dia telah menjadikannya dan Dia mengatumya.

١٩. مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ

20-Kemudian Dia mudahkan jalan keluarnya.

٢٠. ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ
21-Kemudian Dia matikan dia dan Dia suruh kuburkan.

٢١. ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

22-Kemudian, apabila dikehendaki-Nya, akan Dia bangkitkan dia.

٢٢. ثُمَّ إِذَا شَاء أَنشَرَهُ

23-Belum! Sekali-kali belumlah dia menunaikan apa yang Dia perintahkan kepadanya.

٢٣. كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ

Insan Yang Melupakan Asalnya

"Celakalah Insan!" (pangkal ayat 17).

Satu ungkapan sesalan dari Tuhan kepada manusia; "Alangkah sangat kufurnya." (ujung ayat 17).
Adakah patut manusia itu masih juga kufur kepada Tuhan.
Masih juga tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Rasul. Insan masih saja menyombong: "Daripada apa Dia menjadikannya?" (ayat 18).
Daripada apa Allah menjadikan atau menciptakan manusia? "Dari nuthfah

Dia telah menjadikannya." (pangkal ayat 19).
Nuthfah ialah segumpalan air yang telah menjadi kental, gabungan yang keluar dari shulbi ayah dengan yang keluar dari taraib ibu.

Dari itu asal mula manusia dijadikan; "Dan Dia mengaturnya." (ujung ayat 19).

Dari sanalah asal kejadian itu; yakni dipertemukan air bapa dengan air ibu, bertemu di dalam rahim ibu, lalu berpadu jadi satu, menjadi satu nuthfah, yang berarti segumpal air. Setelah 40 hari pula sesudah itu dia pun menjelma menjadi segumpal daging.

Hal yang demikian diperingatkan kepada manusia untuk difikirkannya bahwa kekufuran tidaklah patut, tidaklah pantas. Di ayat pertama dari Surat 76, al-Insan (Manusia) pun telah diperingatkan bahwa jika direnungkan benar-benar, tidaklah ada arti manusia itu bilamana dibandingkan dengan alam lain sekelilingnya.

(Ingat lagi ayat 27 dari Surat an-Nazi'at (79) yang baru lalu).

Maka tidaklah patut manusia kufur. Tidaklah patut manusia ingkar dari kebesaran Tuhan, kalau manusia mengingat betapa di waktu dahulu dia terkurung di dalam rahim ibu yang sempit itu dan dipelihara menurut belas kasihan Allah di tempat itu.

"Kemudian Dia mudahkan jalan keluarnya." (ayat 20).

Dimudahkan jalan keluar buat hidup dan datang ke dunia. Dimudahkan pintu keluar dari rahim itu sampai terlancar dan terluncur keluar. Dimudahkan terus persediaan buat hidup dengan adanya air susu yang disediakan pada ibu di waktu kecil. Dibimbing dengan cinta kasih sampai mudah tegak sendiri di dalam hidup melalui masa kecil, masa dewasa, masa mencari jodoh teman hidup, masa jadi ayah, masa jadi nenek atau datuk; "Kemudian Dia
matikan dia." (pangkal ayat 21). Karena akhir daripada hidup itu pastilah mati.

Mustahil ada hidup yang tidak diujungi mati, kecuali bagi Pencipta hidup itu sendiri.
"Dan Dia suruh kuburkan." (ujung ayat 21).

Tidak dibiarkan tercampak saja tergolek di muka bumi dengan tidak berkubur. Melainkan selekasnya seputus nyawa, segera diperintahkan Allah kepada manusia yang hidup supaya segera dikuburkan. "Kemudian, apabila dikehendakiNya, akan Dia bangkitkan dia." (ayat 22).

Disebut di pangkal ayat apabila Dia kehendaki, insan itu pun akan dibangkitkan kembali. Mengapa apabila Dia kehendaki? Karena dengan memakai kata-kata apabila (idza) Dia kehendaki, maklumlah kita karena yang demikian itu bergantung kepada kata-kata mataa? Artinya: "Bilakah masa akan dibangkitkan itu?"

Dibangkitkan sudah pasti, tetapi masa apabila akan dibangkitkan, hanya Allah yang
Maha Tahu. Itu adalah terserah mutlak kepada kekuasaan Allah.

"Belum! Sekali-kali belumlah dia menunaikan apa yang Dia perintahkan kepadanya." (ayat 23).

Artinya menurut keterangan Ibnu Jarir dalam tafsirnya; "Belumlah manusia itu menunaikan tugas dan kewajiban yang diperintahkan Tuhan ke atas dirinya sebagaimana mestinya. Masih banyak perintah Allah yang mereka lalaikan. Masih banyak mereka memperturutkan kehendak hawa nafsu.

Terlalu sangat banyak nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Insan dan masih terlalu banyak perintah Ilahi yang dilalaikan oleh manusia.

Jika manusia merasa bahwa dia telah bekerja dengan baik, belumlah seimbang, belumlah dengan sepatutnya jua dan belumlah sewajarnya Insan mengingat Tuhannya. Artinya masih sangat lalai manusia dari mengingat Tuhan. Sesuailah intisari ayat ini dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang Shufi yang besar, yaitu Muhammad Abu Madyan; "Janganlah engkau mengharapkan dengan amalan yang engkau kerjakan, engkau akan mendapat ganjaran dari Allah. Kurnia Allah kepadamu kelak hanyalah belas kasihan saja. Tidak sepadan kecilnya amalmu dengan besar ganjaran Allah."

24-Maka cobalah memandang manusia kepada makanannya.
٢٤. فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ

25-Sesungguhnya telah Kami curahkanair securah-curahnya.

٢٤. فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ

26-Kemudian Kami lunakkan bumi seluluk-luluknya.

٢٦. ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقّاً

27-Maka Kami tumbuhkan padanya benih-benih makanan.

٢٧. فَأَنبَتْنَا فِيهَا حَبّاً

28-Dan anggur dan sayur-sayuran.

٢٨. وَعِنَباً وَقَضْباً

29-Dan buah zaitun dan korma.

٢٩. وَزَيْتُوناً وَنَخْلاً

30-Dan kebun-kebun yang subur.

٣٠. وَحَدَائِقَ غُلْباً

31-Dan buah-buahan dan rumputrumputan.

٣١. وَفَاكِهَةً وَأَبّاً

32-Akan bekal bagi kamu dan bagi ternak-ternak kamu.

٣٢. مَّتَاعاً لَّكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ

Rezeki Manusia

Pada ayat 18 sampai ayat 22 manusia diberi ingat bahwa mereka dijadikan dari air nuthfah, lalu ditakdir dan dijangkakan, ditentukan takaran hidup, sesudah itu mati.
Dan jika datang masanya, jika Tuhan menghendaki, mereka pun dibangkitkan
kembali daripada alam kubur itu.

Hal itu telah mereka dengar beritanya; sekarang manusia disuruh melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana pertalian hidupnya dengan bumi tempat dia berdiam ini; "Maka cobalah memandang manusia kepada makanannya." (ayat 24).

Perhatikanlah dari mana datangnya makanan itu dan bagaimana tingkat-tingkat pertumbuhannya sehingga makanan itu telah ada saja dalam piring terhidang di hadapannya. Asal mulanya ialah:
"Sesungguhnya telah Kami curahkan air ecurahcurahnya." (ayat 25).

Asal mulanya ialah bahwa bumi itu kering, maka turunlah hujan.
Hujan lebat sekali yang turun laksana dicurahkan dari langit. Maka bumi yang laksana telah mati itu hiduplah kembali. "Kemudian Kami lunakkan bumi seluluk-luluknya.' (ayat 26).

Bumi yang tadinya kering dan keras sehingga tidak ada yang dapat tumbuh, dengan turunnya hujan maka Iunaklah tanah tadi, menjadi luluk, menjadi lumpur.

Di atas tanah yang telah lunak jadi lumpur atau luluk itulah kelak sesuatu akan dapat ditanamkan; "Maka Kami tumbuhkan padanya benih-benih makanan." (ayat 27).

Pada negeri-negeri yang makanan pokoknya ialah padi, tafsir ayat ini sangat lekas dapat difahamkan. Memang sawah itu dilulukkan lebih dahulu baru dapat ditanami benih. Yaitu enih padi, benih gandum, benih kacang dan jagung;

'Dan anggur dan sayur-sayuran.' ayat 28).

Dengan mensejajarkan anggur sebagai buah-buahan yang dapat dimakan langsung dengan sayur-sayuran lain yang sangat diperlukan vitamin dan kalorinya bagi manusia, nampaklah bahwa keduanya itu sama pentingnya sebagai zat makanan.
"Dan buah zaitun dan korma." (ayat 29).

Zaitun selain dapat dimakan, dapat pula diambil minyaknya. 'Dan kebun-kebun yang subur." (ayat 30). Dengan menyebutkan kebunkebun yang subur maka tercakuplah di dalamnya buah-buahan yang lain yang sejak zaman dahulu telah diperkebunkan orang, sebagai diceriterakan di dalam Surat 34, Saba' ayat 15, sehingga kesuburan tanah menimbulkan syukur kepada Tuhan, dan kesyukuran, menyebabkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur (Negeri yang makmur dan Tuhan yang memberi ampun).

"Dan buah-buahan dan rumput-rumputan." (ayat 31). "Akan bekal bagi kamu dan bagi ternak-ternak kamu." (ayat 32). Artinya berpuluh macam buah-buahan segar yang dapat dimakan oleh manusia; sejak dari delima, anggur, epal, berjenis pisang, berjenis mangga dan berbagai buah-buahan yang hanya tumbuh di daerah beriklim dingin dan yang tumbuh di daerah beriklim panas; sebagai pepaya, nenas, rambutan, durian, duku dan langsat dan buah sawo dan lain-lain dan berbagai macam rumput-rumputan pula untuk makanan binatang ternak yang dipelihara oleh manusia tadi.

Pokok pangkal semuanya itu ialah dari air hujan yang dicurahkan Allah dengan lebatnya dari langit sampai tanah jadi luluk, membawa apa yang dinamai bunga tanah.

Maka kalau kita simpulkan di antara kedua peringatan itu, pertama tentang asal usul kejadian manusia dari nuthfah sampai dapat hidup di atas permukaan bumi ini.
Kedua setelah hidup di bumi jaminan untuk melanjutkan hidup itu pun selalu tersedia selama langit masih terkembang dan lautan masih berombak bergelombang, dan air laut itu akan menguap ke udara menjadi awan, menjadi mega dan mengumpul hujan, lalu hujan, selama itu pula jaminan Allah masih ada atas kehidupan ini.

Setelah demikian halnya mengapalah manusia akan lupa juga kepada Tuhannya? Mengapa juga manusia akan lupa dari mana dia, siapa menjamin hidupnya di sini dan ke mana dia akan pergi.?

33-Maka (ingatlah) apabila datang suara yang sangat keras itu.

٣٣. فَإِذَا جَاءتِ الصَّاخَّةُ

34-(Yaitu) pada hari yang setiap orang lari dari saudaranya.

٣٤. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ

35-Dan dari ibunya dan dari ayahnya.

٣٥. وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ

36-Dan dari isterinya dan anak-anaknya.

٣٦. وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ

37-Bagi setiap orang dari mereka itu, di hari itu, ada satu perkara yang dihadapinya.

٣٧. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ

38-Beberapa wajah di hari itu berseriseri.

٣٨. وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ

39-Tertawa-tawa, bersukacita

٣٩. ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ

40-Dan beberapa wajah di hari itu, padanya ada kemuraman.

٤٠. وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ

41-Ditekan oleh kegelapan.

٤١. تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ

42-Mereka itu ialah orang-orang yang kafir, yang durhaka.

٤٢. أُوْلَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ

Peristiwa Di Hari Kiamat

Setelah diperingatkan bagaimana jalannya jaminan makan yang diberikan Allah karena tercurahnya air hujan yang menyuburkan bumi lalu menimbulkan tumbuh tumbuhan yang diperlukan buat hidup, pada akhirnya Allah memberikan peringatan bahwa hidup itu berbatas adanya. Hidup dibatasi oleh mati.

Dan sesudah mati ada lagi hidup yang kekal.

"Maka (ingatlah) apabila datang suara yang sangat keras itu." (ayat 33).

Di dalam ayat ini disebut ash-Shakhkhah! Yang berarti suara yang sangat keras.

Saking kerasnya akan pecahlah anak telinga bila suara itu terdengar. Ini adalah salah satu dari nama-nama hari kiamat yang tersebut dalam al-Quran. Ada disebut al-Haqqah, atau al-Qari'ah yang artinya hampir sama; suara sangat keras, suara pekik yang menyeramkan bulu roma, atau kegoncangan yang tiada terpermanai dahsyatnya, yang masing-masing kelak akan bertemu dalam Suratnya sendiri-sendiri.

Demikian hebatnya hari itu, sehingga; "(Yaitu) pada hari yang setiap orang lari dari saudaranya. " (ayat 34). "Dan dari ibunya dan dari ayahnya.'' (ayat 35).
"Dan dari isterinya dan anak-anaknya." (ayat 36).
Di dalam ketiga ayat ini didahulukan menyebut saudara yang seibu-sebapa atau seibu saja atau sebapa saja, sebagai orang yang terdekat.
Dan lebih dekat lagi dari itu ialah ibu dan ayah.

Tetapi isteri adalah orang yang lebih dekat lagi, teman hidup setiap hari bilamana orang telah dikawinkan oleh ayah-bundanya dan telah menegakkan rumahtangga sendiri. Kemudian itu, anak kandung lebih dekat lagi daripada isteri, lebih dekat dari ayah dan bunda dan lebih dekat lagi dari saudara kandung. Sebab anak adalah penyambung turunan diri, laksana darah daging sendiri.
Maka bila tiba hari perhitungan di hari kiamat itu segala saudara, ibu dan ayah, isteri dan anak itu tidak teringat lagi.
Bagaimanapun kasih dan rapat kita dengan mereka, namun di hari perhitungan itu kita tidak akan mengingat mereka lagi, betapa pun karibnya. Sebab masing-masing kita telah menghadapi masalahnya sendiri-sendiri. Itulah yang dengan tepat dikatakan dalam ayat yang selanjutnya;

"Bagi setiap orang dari mereka itu, di hari itu, ada satu perkara yang dihadapinya."(ayat 37).

Bagaimana orang akan mengingat anaknya dan isterinya, ayahnya atau ibunya, saudara kandung atau tirinya, kalau dia sendiri di waktu itu sedang terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan berdusta?

Dan saudara, ayah dan ibu, dan isteri dan anak-anak itu pun terlibat pula dalam soal mereka sendiri sendiri.

Orang lainkah yang akan terkenang, padahal masalah yang dihadapi demikian beratnya dan keputusan belum jelas?

"Beberapa wajah di hari itu berseri-seri." (ayat 38).

"Tertawa-tawa, bersukacita." (ayat 39).

Mengapa wajah mereka berseri-seri? Mengapa mereka tertawa-tawa bersukacita?

Tentu saja kegembiraan itu timbul setelah mendapat keputusan yang baik dari Hakim Yang Maha Tinggi, Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena timbangan amal lebih berat kepada kebajikan; maka syurgalah tempat yang ditentukan untuknya.

Baru di sana kelak akan bertemu dengan saudara, ayahbunda, isteri dan anak, kalau memang samasama ada amal kebajikan.

"Dan beberapa wajah di hari itu, padanya ada kemuraman." (ayat 40). "Ditekan oleh
kegelapan."(ayat 41).
Mengapa wajah jadi muram dan kegelapan menekan sehingga tak ada cahaya harapan
sama-sekali?

"Mereka itu ialah orang-orang yang kafir." (pangkal ayat 42).

Tidak mau menerima kebenaran, bahkan menolaknya. "Yang durhaka.'' (ujung ayat 42)
Maka begitulah nasib orang yang kafir dan durhaka; muram suram karena telah salah menempuh jalan sejak semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar