Sabtu, 12 Maret 2016

FIKIH SHALLAT GERHANA

Fikih Shalat Gerhana
- 7 Mar 2016 16:10
KIBLAT.NET – Fenomena Gerhana Matahari tinggal hitungan hari.
Banyak masyarakat menunggu momen langka ini. Terutama daerah
tertentu yang dilewati Gerhana Matahari Total (GMT), berbagai
macam sarana untuk menyaksikan gerhana pun disiapkan.
Sebagai seorang Muslim, selain menyiapkan perangkat untuk
melihat langsung fenomena tersebut, ada persiapan lain yang lebih
penting untuk disiapkan, yaitu ilmu tentang bagaimana seharusnya
kita menghadapi peristiwa gerhana tersebut.
Dalam kajian fikih, istilah gerhana matahari disebut dengan kusuf ,
sedangkan gerhana bulan disebut dengan khusuf. Walaupun
sebagian ulama berpendapat kata kusuf adalah sinonim dari kata
khusuf.
Kusuf terjadi ketika hilangnya cahaya dari matahari dan bulan
secara keseluruhan, atau sebagiannya saja. Sehingga warnanya
berubah manjadi hitam. (Lihat: Shahih Fikih Sunnah, hal: 432)
Sedangkan pengertian shalat kusuf ialah shalat yang dilakukan
dengan tata cara khusus, ketika munculnya peristiwa gerhana
matahari atau bulan, baik secara total maupun sebagiannya saja.
(Lihat: Nihayatul Muhtaj, 2/394)
Hukum Shalat Gerhana
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari
atau bulan adalah sunnah muakkadah , yaitu sunnah yang
ditekankan bagi setiap kaum Muslimin. Sebagian ulama
menyatakan bahwa pendapat tersebut sudah menjadi ijma’ di
antara mereka. Sehingga Imam Syafi’i berkata, “Tidak boleh
meninggalkan shalat gerhana, baik yang bermukim maupun
mereka yang sedang melakukan safar, atau siapa saja yang
mampu melaksanakannya.” (Lihat: Al-Majmu’, 5/66)
Pendapat di atas berdasarkan dengan hadits dari Nabi SAW. Dari
Abu Musa RA, ia berkata, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri
takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun
mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan
berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau
melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi SAW lantas bersabda , ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda
kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah
terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah
menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian
melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk
berdzikir, berdoa dan memohon ampun kepada Allah.” (HR.
Muslim)
Kapan Diperintahkan untuk Shalat Gerhana?
Shalat gerhana diperintahkan ketika melihat gerhana matahari atau
gerhana bulan dengan pandangan mata secara langsung (rukyah).
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻢْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﺼَﻠُّﻮْﺍ، ﻭَﺍﺩْﻋُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﺘَﻰ ﻳَﻜْﺸِﻒَ ﻣَﺎ ﺑِﻜُﻢْ
“Maka apabila kalian melihatnya, maka lakukanlah solat dan
berdoalah kepada Allah sampai hal yang menakutkan itu
hilang.” (HR. Muslim)
Sehingga ketika keadaan cuaca mendung dan gerhananya tidak
dapat terlihat dengan kasat mata, maka tidak diperintahkan untuk
shalat. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Suatu hal yang
mungkin Allah menyembunyikan penglihatan gerhana pada satu
daerah, lalu menampakkannya pada daerah lain. Ada hikmah di
balik itu semua. (Lihat: Majmu’ Fatawa, 16/309)
Lalu jika seseorang tidak mengetahui adanya gerhana kecuali
setelah peristiwa itu berlalu, maka ia juga tidak perlu melaksanakan
shalat. Karena perintah tersebut sangat terikat dengan waktu
terlihatnya gerhana. Apabila gerhananya berlalu maka tidak ada lagi
perintah shalat.
Kemudian shalat gerhana boleh dilakukan pada saat waktu-waktu
yang dilarang mengerjakan shalat. Karena ia merupakan shalat
yang memiliki sebab. Walaupun sebagian ulama memiliki pendapat
yang berbeda tentang hal itu. (Lihat: Shahih Fikih Sunnah, hal: 434)
Cara Shalat Gerhana Bulan = Shalat Gerhana Matahari
Cara shalat gerhana matahari dilakukan sama seperti shalat
gerhana bulan. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi
karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat
keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana
tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari Muslim)
Ibnu Mundzir berkata, ”Shalat gerhana bulan dilakukan sama
sebagaimana shalat gerhana matahari.” (Ibnu Mundzir, Al-Iqna’ ,
1/124-125)
Tanpa Ada Azan dan Iqamat
Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari di dalamnya
tidak dikumandangkan azan dan iqamat. Sedangkan yang
disunnahkan ketika itu adalah mengucapkan Ash-Shalatul Jami’ah .
Dalil mengenai hal ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah
bin Amr yang berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa
Rasulullah, dikumandangkan ash-shalatul jami’ah.” (HR. Bukhari
Muslim)
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Gerhana
Shalat gerhana dilakukan dua rakaat, setiap rakaat ada dua kali
ruku’ dan dua kali sujud. Tata caranya disebutkan langsung secara
rinci di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah
terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia
dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan
memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri
yang sebelumnya.
Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut
namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau
sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya,
beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau
beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah
nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak,
beliau memuji dan menyanjung Allah.
kemudian beliau bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana
ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang.
Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah,
bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah,
tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena
ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina.
Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang
aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ada Khutbah Setelah Shalat Gerhana
Disunnahan bagi imam untuk berkhutbah setelah melaksanakan
shalat seperti khutbah shalat ‘Id. Sebagaimana hadits dari Aisyah
RA, beliau menuturkan bahwa Nabi SAW setelah melaksanakan
shalat beliau berdiri dan berkhutbah, setelah itu memuji kepada
Allah SWT lalu bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲَ ﻭَﺍﻟْﻘَﻤَﺮَ ﺁﻳَﺘَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺕِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ، ﻻَ ﻳَﻨْﺨَﺴِﻔَﺎﻥِ ﻟِﻤَﻮْﺕِ ﺃَﺣَﺪٍ ﻭَﻻَ ﻟِﺤَﻴَﺎﺗِﻪِ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻢْ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﺎﺩْﻋُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻛَﺒِّﺮُﻭﺍ ، ﻭَﺻَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺗَﺼَﺪَّﻗُﻮﺍ
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena
kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah
shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)
Mengeraskan Suara Ketika Membaca Surat
Bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari ialah jahriyah
(mengeraskan bacaan) sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
SAW. Ibunda Aisyah RA meriwayatkan, “Nabi SAW mengeraskan
suara ketika membaca surat di dalam shalat gerhana bulan. Apabila
beliau selesai bertakbir lalu melaksanakan ruku’. Dan ketika beliau
bangun dari ruku’, beliau mengucapkan:
ﺳَﻤِﻊَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟِﻤَﻦ ﺣﻤِﺪﻩ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﻟَﻚَ ﺍْﻟﺤَﻤْﺪُ
Semoga Allah meneria pujian orang yang memuj-Nya. Rabb kami,
segala puji hanyalah bagimu.”
Kemudian beliau mengulangi membaca surat lagi. Di dalam gerhana
matahari, empat ruku dan empat sujud ada  di dalam dua
rakaat.” (HR. Bukhari Muslim)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Para ulama berselisih pendapat
mengenai bacaan surat di dalam shalat gerhana matahari.
Sebagian mereka berpendapat bahwa bacaan surat dibaca pelan
ketika melaksanakan shalat gerhana di siang hari. Sebagian lain
berpendapat tetap dikeraskan. Sebagaimana shalat ‘Id dan shalat
Jum’at. Pendapat ini diungkapkan oleh Imam Malik, Ahmad dan
Ishaq. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak perlu
mengeraskan bacaan di dalam shalat gerhana matahari.” (Lihat:
Sunan Tirmidzi 11/448 tahqiq Ahmad Syakir)
Dilakukan secara Berjamaah di Dalam Masjid
Shalat gerhana matahari disunnahkan untuk dilakukan di masjid.
Hal ini sesuai dengan petunjuk Nabi SAW. Diantaranya adalah
beliau mengumandangkan panggilan shalat gerhana dengan
membaca “as-shalatul jami’ah”.
Demikian juga dengan kandungan makna dari hadits, yang
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat gerhana
secara berjamaah di masjid. Bahkan dalam riwayat Aisyah
disebutkan bahwa, “ Terjadi gerhana matahari pada saat Rasulullah
masih hidup. Lantas beliau keluar menuju masjid. Kemudian beliau
berdiri dan bertakbir, sedangkan para sahabat membuat barisan di
belakang beliau….” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar berkata, “Pendapat  tentang disyariatkannya shalat
gerhana matahari secara berjamaah adalah pendapat jumhur.
Apabila imam yang bertugas belum hadir, maka sebagian dari
mereka bertindak sebagai imam.” (Lihat: Fathul Bari, 11/539)
Meski demikian, seseorang yang menyaksikan gerhana matahari,
namun kondisinya tidak memungkinkan untuk datang menghadiri
shalat jamaah di masjid, maka tidak mengapa shalat sendirian di
tempat tinggalnya.
Syaikh Utsaimin menerangkan, ”Mengerjakan shalat gerhana
secara berjamaah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di
rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah.
Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻢْ ﻓَﺼَﻠُّﻮﺍ
“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR.
Bukhari no. 1043)
Dalam hadits tersebut, Nabi SAW tidak mengatakan, ”(Jika kalian
melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini
menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan
walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun,
tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara
berjama’ah tentu saja lebih utama, apalagi dilakukan di masjid.”
(Lihat: Syarhul Mumthi’, 2/430)
Wanita Boleh Mengikuti Shalat Gerhana
Diriwayatkan dari Asma’ binti Abi Bakr RA, beliau berkata:
ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ – ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ – ﺯَﻭْﺝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺣِﻴﻦَ ﺧَﺴَﻔَﺖِ
ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻗِﻴَﺎﻡٌ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻫِﻰَ ﻗَﺎﺋِﻤَﺔٌ ﺗُﺼَﻠِّﻰ ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﻣَﺎ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻓَﺄَﺷَﺎﺭَﺕْ ﺑِﻴَﺪِﻫَﺎ
ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ، ﻭَﻗَﺎﻟَﺖْ ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ . ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﺁﻳَﺔٌ ﻓَﺄَﺷَﺎﺭَﺕْ ﺃَﻯْ ﻧَﻌَﻢْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha—isteri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam—ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia
tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk
melakukan shalat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah
mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah
(Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu
memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari)
Syaikh Abu Malik Kamal menjelaskan bahwa sesuai dengan hadits
di atas, maka seorang wanita boleh ikut melaksanakan shalat
gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan akan
membawa fitnah, maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.
(Lihat: Shahih Fikih Sunnah, 434-435)
Tertinggal Satu Ruku’ dalam Satu Rakaat, Haruskah
Menyempurnakan?
Shalat gerhana adalah dua rakaat. Setiap rakaat terdapat dua ruku’
dan dua sujud. Jadi, secara global terdapat empat ruku dan empat
sujud di dalam dua rakaat. Barangsiapa yang mendapati ruku’
kedua dalam rakaat pertama, berarti ia tertinggal satu bacaan dan
satu ruku’. Berdasarkan hal ini, berarti ia belum mendapatkan satu
rakaat dari dua ruku’ shalat gerhana.
Amalan yang benar, makmum yang tertinggat rakaat pertama
shalat kusuf, maka rakaat tersebut tidak terhitung. Ia harus
mengganti satu rakaat lagi dengan dua kali rukuk. Sebab, shalat
kusuf adalah ibadah, dan ibadah itu bersifat tauqifi (harus merujuk
dalil). Tata caranya harus mengacu pada nash-nash sahih.
(Majalah Al-Buh ûts Al-‘Ilmiyyah , 13/98, 23/93)
Oleh karena itu, rakaat ini tidak dihitung. Dengan demikian, setelah
imam  mengucapkan salam maka hendaknya ia menyempurnakan
satu rakaat lagi dengan dua ruku’ sebagaimana terdapat dalam
hadits-hadits shahih.
Demikianlah beberapa ringkasan hukum fikih seputar shalat
gerhana. Semoga tulisan ini menjadi bekal dalam rangka
menyambut momen datangnya gerhana matahari agar lebih
bermakna.
Penulis: Fahrudin
Editor: M. Rudy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar