Sabtu, 12 Maret 2016

JANGAN DURHAKA

Jangan Durhaka!

Diambil dari majalah    gaulislam edisi 435/tahun ke-9
(13 Jumadil ‘Ula 1437 H/ 22 Februari 2016)

Siapa yang berani durhaka, apalagi kepada Allah
ta’ala? Aduh! Nekat benar kalo sampe ada yang
berani. Walah, jangan sampe deh kita bikin murka
Allah Ta’ala karena kedurhakaan kita kepada-Nya.
Sebab, durhaka alias ingkar terhadap perintah Allah
Ta’ala tandanya kita udah nekat membangkang
kepada-Nya. Plis deh. Ayo pada nyadar ngapa?
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam.
Kalo kita udah berani durhaka, itu tandanya bukan
saja kita nggak cinta kepada AllahTa’ala, tapi kita
sama sekali nggak takut dengan murka-Nya. Sumpah.
Nekat abis deh. Padahal, apa sih kemampuan kita?
Apa yang bisa kita banggakan dengan kekuatan yang
kita miliki dibandingkan kekuatan Allah Ta’ala yang
Mahadahsyat?
Jujur aja nih, kalo kita durhaka kepada ortu aja,
gimana murkanya ortu kita. Kita aja gondok kan kalo
perintah kita nggak dituruti sama adik kita? Ortu
lebih-lebih lho kesalnya sama kelakuan kita kalo kita
durhaka kepada mereka. Sebab, udah dirawat dan
diasuh sejak kecil, kok masih aja nggak mau kalo
dimintai tolong sama ortu kita. Itu namanya
membangkang dan melawan, Bro. Ati-ati deh. Jangan
sampe kita begitu rupa. Soal ini, kayaknya insya
Allah pada ngerti bin paham ye.
Nah, begitu juga kepada Allah Ta’ala. Bahkan Allah
akan sangat murka kepada hamba-Nya yang
berusaha melawan setiap perintah-Nya. Hamba yang
durhaka itu jelas dimurkai sama Allah, lho. Apa kita
nggak takut? Wong kalo kita diinterogasi guru killer
aja sampe pipis, gimana kalo ‘diinterogasi’ sama
Allah Ta’ala suatu saat nanti? Apa yang bisa kita
pertanggungjawabkan? Senjata apa yang bakal kita
gunakan untuk menghadapi murka-Nya? Ih,
naudzubillahi min dzalik deh.
Itu sebabnya, jujur aja suka ngeri kalo ngelihat sepak
terjang orang-orang saat ini. Kok sepertinya nggak
memiliki rasa takut kalo ingkar terhadap perintah
Allah Ta’ala. Coba deh tengok di media massa, baik
cetak maupun elektronik. Banyak banget tuh kasus
orang yang diciduk gara-gara ketahuan mencopet
atau menjambret, ada juga yang diringkus karena
membunuh, nggak sedikit yang digelandang gara-
gara berzina, termasuk yang mengkampanyekan
LGBT agar disahkan undang-undang, dan banyak
kasus kriminalitas lainnya. Semua itu, dalam
pandangan Islam adalah perbuatan maksiat, Bro.
Kenapa disebut maksiat? Karena melakukan
perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala.
Waspadalah!
Emang sih, nggak semua orang yang ngelakuin
maksiat tuh karena hobi, tapi ada juga yang kepepet,
malah ada yang nggak ngeh kalo itu perbuatan
maksiat akibat kebodohannya. Tapi, apa pun
alasannya, jelas berdosa dong. Termasuk orang yang
ngelakuin kemaksiatan tapi doi nggak tahu kalo itu
perbuatan maksiat, tetap dihukumi berdosa karena
kemalasannya mencari ilmu. Tapi dipikir-pikir, apa
iya hari gini masih ada orang yang nggak tahu mana
yang salah dan mana yang benar menurut aturan
agama dan negara? Ulama udah banyak, dakwah
Islam udah nyebar di mana-mana. Jadi rada-rada
mustahil kalo doi nggak ngeh sama sekali. Okelah,
nggak usah diperpanjang karena kalo mau diusut-
usut jadi tambah kusut. Sebab, yang jelas perbuatan
maksiat yang dilakukannya tetap akan dimintai
pertanggungan jawabnya. Itu aja kok.
Nikmat dibalas durhaka
Sobat gaulislam, sebenarnya kita sebagai manusia
bisa merenungkan bahwa segala nikmat yang kita
rasakan saat ini: bisa melihat; bisa mendengar; bisa
tertawa; bisa menangis; bisa berjalan; bisa berlari;
bisa makan dan minum; bisa berpikir; bisa mencium
bau; bisa membedakan mana makanan yang enak
dan mana yang nggak enak dan lain sebagainya;
adalah nikmat yang diberikan Allah Ta’ala. Itu
sebabnya, keterlaluan banget kalo kita membalas
nikmat yang diberikan Allah Ta’ala justru dengan
perbuatan maksiat kepada-Nya.
Hadeuuh, itu sama aja dengan tak menganggap-Nya
sebagai Pemberi nikmat. Kita bisa dicap
mendustakan nikmat-Nya, gitu lho. Coba deh buka al-
Quran surat ar-Rahman (jumlahnya 78 ayat), di situ
Allah Ta’ala sampe mengulang pertanyaan: “Maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?” sebanyak 31 kali. Berarti sekitar 40
persen isi surat tersebut isinya adalah ayat yang
sama. Wallahu a’lam .
Itu sebabnya, pasti Allah Ta’ala punya tujuan untuk
ngingetin manusia bahwa nikmat Allah itu banyak
dan sangat banyak yang telah diberikan kepada
manusia. Tapi, mengapa banyak dari kita sebagai
manusia yang nggak merasakan nikmat Allah itu?
Malah nikmat-Nya dibalas dengan cara
mendurhakai-Nya. Naudzubillahi min dzalik banget deh!
Oya, kalo ngomongin nikmat Allah Ta’ala kepada
manusia, niscaya manusia nggak bakalan bisa
menghitungnya. Saking banyaknya tentu. Firman
Allah Swt.: “Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak.” (QS al-Kautsar [108]: 1)
Allah Ta’ala ngingetin kita melalui firman-Nya: “Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan:
‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS
Ibrahim [14]: 7)
Bersyukur? Yup, bersyukur adalah bukti bahwa kita
mengakui segala nikmat yang diberikan adalah dari
Allah Ta’ala. Syukur juga merupakan tanda cinta kita
kepada Allah Ta’ala. Seorang sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Abu Darda
radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Barangsiapa
yang tidak melihat (merasakan) nikmat yang Allah berikan
kepadanya kecuali hanya pada makanan dan minumannya,
maka sesungguhnya ilmu (makrifatnya) sangat dangkal dan
azab pun telah menantinya” (Abu Hayyân al-Andalusi, al-
Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr , jilid 6, hlm. 441. Maktabah
Tijâriyyah Musthafa al-Bâz)
Dalam al-Quran Allah azza wa jalla menyampaikan
firman-Nya: “Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan kamu
dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati
(akal)”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” (QS al-Mulk
[67]: 23)
So, Allah seolah-olah ‘nyindir’ ama kita-kita nih kalo
sampe kita nggak bersyukur kepada-Nya. Tapi kalo
dipikir-pikir emang bener juga sih. Silakan kamu
tengok kanan-kiri, depan-belakang. Teman kita,
tetangga kita, atau bahkan kita sendiri malah nggak
bersyukur dengan nikmat ini. Duh, malu deh.
Kalo emang benar-benar bersyukur sih, kita
harusnya bisa memanfaatkannya untuk kebaikan
seraya memuji Sang Pemberi nikmat, yakni Allah
Ta’ala. Memuji tentu bukan sekadar mengucap
“alhamdulillah”, tapi juga terwujud dalam perilaku
dan gaya hidup kita yang hanya mau diatur oleh
Allah. Iya nggak seh? Itu arti-nya kita jangan
mendurhakai-Nya. Betul?
Hakikat bersyukur
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh ulama
terkemuka, menjelaskan bahwa hakikat syukur
kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat
Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian
dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk
kesaksian dan rasa cinta, dan pada anggota
tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat. (Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij al-sâlikîn oleh Abdul
Mun‘im al‘Izzî, hlm. 348)
So, kita bisa ngukur diri kita dengan penjelasan dari
Syaikh Ibnu Qayyim ini. Lisan kita apakah selalu
mengucap pujian dan pengakuan kepada Allah
Ta’ala. Sang Pemberi nikmat kepada kita? Apakah
lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah? Atau
malah nggak pernah sama sekali? Termasuk
mengakui Allah Ta’ala. sebagai Pencipta sekaligus
yang memberi nikmat kepada kita? Pertanyaan ini
cuma kita sendiri yang bisa jawab. Semoga kita
termasuk hamba-hamba Allah yang bersyukur.
Bukan yang durhaka.
Terus, dalam hati kita, apakah udah kita wujudkan
dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta kepada Allah
Ta’ala. Bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang wajib
disembah kecuali Allah. Itu sebabnya, tumbuh rasa
cinta yang paling kuat dan besar hanya kepada
Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan dalam
firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat (besar) cintanya kepada
Allah.” (QS al-Baqarah [2]: L165)
Lalu, membekaskah rasa syukur kita kepada Allah
dengan penampakkan anggota tubuh kita dalam
bentuk patuh dan taat kepada-Nya? Mari kita
mengukur diri kita. Seberapa pantas kita bersyukur
yang terwujud pada patuh dan taat kepada Allah
Ta’ala. Kita bisa bertanya, apakah selama ini, kita
sudah patuh dan mentaati perintah-Nya? Sholat,
puasa wajib Ramadhan, dan zakat pernah kita
lakukan dengan sungguh-sungguh karena ketaatan
dan kepatuhan kita kepada-Nya?
Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah dalam
kehidupan sehari-hari kita sudah mematuhi
perintah-Nya? Kewajiban menutup aurat misalnya,
udah ditetapkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Bagi
anak cewek yang udah baligh, nggak boleh keluar
rumah menampakkan auratnya. Jadi, harus ditutup
tubuhnya dengan busana muslimah, yakni jilbab dan
kerudung. Anak cowok yang udah baligh juga sama,
meski batasan auratnya nggak seketat anak cewek,
anak cowok kalo keluar rumah daerah pusar ame
lutut kudu tertutup. Karena itu auratnya. Kayaknya
udah pada paham deh soal ini. Yang perlu diingatkan
lagi tuh pengamalannya. Ayo, nggak cuma teori, lho.
Semoga kamu nyadar.
Imam Ibn Qayyim dalam kitab yang sama lebih lanjut
menjelaskan bahwa syukur itu mempunyai 5 (lima)
pilar pokok yang apa bila salah satunya tidak
terpenuhi maka syukur menjadi batal dan dianggap
belum bersyukur.
Lima pilar pokok itu adalah: Pertama, kepatuhan
orang yang bersyukur kepada Pemberi nikmat.
Kedua, mencintai-Nya. Ketiga, mengakui nikmat
dari-Nya. Keempat, memuji-Nya atas nikmat-Nya.
Dan yang kelima, tidak menggunakan nikmat yang
diberikan-Nya untuk sesuatu yang tidak Dia sukai.
Sobat gaulislam, ini penting banget kita ketahui. Biar
kita bisa bersyukur kepada Allah Ta’ala dan dengan
cara yang benar. Khusus penjelasan terakhir dari
pilar pokok bersyukur, yakni nggak menggunakan
nikmat yang diberikan-Nya untuk sesuatu yang
nggak Dia sukai. Jelas banget. Lha kalo ortu kita aja
ngasih duit ke kita, terus duit itu kita gunakan buat
hura-hura dan bahkan maksiat, pasti ortu kita marah
besar. Nah, apalagi Allah Ta’ala? Tul nggak sih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar