Sabtu, 12 Maret 2016

" APAKAH HUKUM JAHILIYAH YANG MEREKA KEHENDAKI...??"

" APAKAH HUKUM JAHILIYAH YANG MEREKA KEHENDAKI...??"

(Sebuah studi ilmiyah Qs. Al-Maidah[5]:50)

Selamat mengkaji:!!

Alloh SWT berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?.” (QS. Al Maidah: 50).

📕Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menyebutkan permisalan hukum jahiliyah dengan hukum Ilyasiq. Beliau berkata, ”Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (sudah pasti ketentuan hukumnya) yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariat Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah Bangsa Tartar memberlakukan hukum yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan.”

Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut dengan Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundag-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Kristen, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi UUD yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan UUD ini di atas berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunah. Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit.”[1]

📒Imam Ibnu Abil Izz mengatakan, “Jika meyakini bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu tidak wajib dan ia boleh memilih (antara memakai hukum Allah atau tidak) atau meremehkan hal itu sekalipun ia meyakini bahwa itu hukum Allah, maka ia telah kufur akbar.”[2]

📔Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan sikap ini sebagai salah satu pembatal keislaman. Beliau menyatakan, “Siapa saja yang meyakini selain petunjuk Rasulullah lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum selainnya lebih baik dari hukum beliau, seperti orang yang mengutamakan hukum para thaghut atas hukum beliau, maka orang ini kafir…”[3]

✒Pernyataan ini juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam fatwanya, beliau berkata, “Siapa yang meyakini ada hukum selain hukum Rasulullah lebih baik, lebih sempurna, lebih mencakup apa yang dibutuhkan oleh manusia baik secara mutlak atau dalam sebagian masalah yang baru terjadi (aktual) yang timbul dari perkembangan zaman tak diragukan lagi ia telah kafir karena mendahulukan hukum makhluk yang tak lebih dari sampah pemikiran belaka…”[4]

📗Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Mereka para pembuat undang-undang (badan legislatif) tanpa izin Allah membuat hukum-hukum thaghut itu tak lain dikarenakan mereka meyakini bahwa hukum-hukum thaghut (undang-undang positif) lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi manusia. Ini adalah kemurtadan dari Islam bahkan mengakui sesuatu dari hukum-hukum tersebut sekalipun dalam masalah paling kecil sekalipun, maknanya telah tidak ridha dengan hukum Allah (Al-Qur’an) dan hukum Rasul-Nya (As-Sunah), ini merupakan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari millah (agama).”[5]

Selain itu, pembuatan undang-undang juga bermakna membolehkan seseorang keluar dari syariat yang diturunkan Allah, padahal siapa pun yang membolehkan seseorang keluar dari syariat Allah maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.[6]
______________________
📚referensi:
[1] Umdatu Tafsir 4/171-173, lihat Al Bidayah wan Nihayah 13/119.

[2] Syarhu Aqidah Thahawiyah 2/446.

[3] Majmu’atu Mualafatu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab 1/386.

[4] Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 12/288, lihat Tafsir Al Manar 6/404,407, Fatawa Ibnu Bazz 1/273, Al Majmu’ Ats Tsamin 1/36.

[5] Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 12/500, lihat juga Fatawa Syaikh Utsaimin 1/36.

[6] Majmu’ Fatawa 27/58-59,524, juga Al Bidayah wa al Nihayah 13/119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar