Rabu, 09 Maret 2016

PANDUAN SHALLAT GERHANA

PESANTREN ONLINE MASJID IMAM ASY-SYAFI’I Jalan Toba 30 Pekalongan
( Yayasan Az-Zubair bin Al-'Awwam رضي الله عنه )
—---------------------------------------—
Senin, 07 Maret 2016 = 27 Jumadil Awal 1437
PANDUAN SHALAT GERHANA
Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc

1. Hukum shalat gerhana

Pendapat yang terkuat, bagi siapa saja yang melihat gerhana dengan mata telanjang, maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

”Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk melaksanakan shalat.” [HR. Bukhari no. 1047]

Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.

Catatan: Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

2. Keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. [HR. Bukhari no. 1050]

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. [Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343]

Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” [Fathul Bari, 4/10]

3. Wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria

Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” [HR. Bukhari no. 1053]

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” [Fathul Bari, 4/6]

4. Menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” [HR. Muslim no. 901]

Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

5. Berkhutbah setelah shalat gerhana

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat [Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435].

Hal ini berdasarkan hadits yg panjang;
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

.............................. "Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”................................. [HR. Bukhari, no. 1044]

Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. [Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433]

6. Tata cara shalat gerhana

a. Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

b. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

c. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

d. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

e. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

f. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

g. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

h. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

i. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

j. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

k. Tasyahud.

l. Salam.

m. Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. [Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar