Selasa, 16 Juni 2015

Yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa

Yang Mendapat
Keringanan Untuk
Tidak berpuasa

1. Laki-laki dan wanita
yang tua renta.
Allah berfirman :
...ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻳُﻄِﻴﻘُﻮﻧَﻪُ ﻓِﺪْﻳَﺔُ ﻃَﻌَﺎﻡُ
ﻣِﺴْﻜِﻴﻦٍ ... {184}
“…dan wajib bagi orang
yang berat
menjalankannya ( tidak
shaum ) untuk
membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang
miskin…” ( QS. Al
Baqarah : 184 )
Ibnu ‘Abbas berkata :
“Ayat ini merupakan
rukhshah ( keringanan )
bagi laki-laki atau
wanita tua renta
apabila tidak sanggup
menjalankan shaum,
boleh bagi mereka
untuk berbuka dan
setiap harinya memberi
makan seorang miskin
sebagai ganti satu hari
shaumnya”. [1]
2. Orang sakit.
Orang sakit yang tidak
dapat diharapkan
kesembuhannya, boleh
bagi mereka untuk
berbuka dan memberi
makan seorang miskin
untuk setiap hari dari
shaum yang telah ia
tinggalkan. [2]
Namun jika sakitnya itu
masih ada harapan
untuk sembuh dan
kalau shaum akan
menyulitkannya atau
sakitnya bertambah
parah dan lebih lama
sembuhnya, atau kalau
shaum dia akan
semakin sakit, atau
tidak dapat meminum
obat yang dapat
membantu
penyembuhannya, maka
untuk kasus-kasus
semacam ini dia
diperbolehkan untuk
berbuka, dan wajib atas
dirinya untuk
mengqadha’ shaum
yang ia tinggalkan
apabila telah sembuh.
[3]
Allah berfirman :
ﻭَﻣَﻦ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﺮِﻳﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ
ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِّﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ
{185}..........
“…dan barangsiapa yang
sakit atau dalam
perjalanan ( lalu dia
berbuka ), maka
( wajiblah baginya
shaum ) sebanyak hari
yang ditinggalkannya
itu pada hari-hari yang
lain… ( QS. Al Baqarah :
185 )
3. Pekerja berat.
Seorang pekerja jika
dihadapkan pada
pekerjaan berat yang ia
khawatir bila melakukan
shaum akan
membahayakan dirinya,
maka dia boleh berbuka
dan mengqadha’
shaumnya, apabila
dengan meninggalkan
kerja beratnya itu dapat
membahayakan dirinya.
Namun jika tidak
membahayakan dirinya,
maka dia berdosa
apabila berbuka. [4]
4. Musafir
Orang yang sedang
safar dan menempuh
jarak yang
memperbolehkannya
shalat qashar, maka
diperbolehkan baginya
untuk berbuka pada
bulan Ramadhan, sesuai
kesepakatan para
‘ulama, baik dia mampu
untuk melakukan sahum
ataupun tidak, dan baik
shaumnya itu
memberatkan dirinya
maupun tidak.
Adapun jarak yang
memperbolehkan
seseorang untuk
mengqashar shalatnya
dan berbuka, menurut
madzhab Maliki, Syafi’i
dan Ahmad adalah
perjalanan yang
ditempuh dengan unta
atau berjalan kaki
selama dua hari,
misalnya perjalanan
antara Makkah dan
Jeddah, atau perjalanan
yang berjarak 16
farsakh, yaitu sekitar 48
mil ( 57,6 Km ). Dan
menurut Imam Abu
Hanifah adalah
perjalanan yang
ditempuh selama tiga
hari.
Para ulama’ salaf dan
khalaf lainnya
mengatakan : “Bahkan
dia diperbolehkan
untuk mengqashar dan
berbuka dalam
perjalanan yang
ditempuh kurang dari
dua hari.” Dan inilah
pendapat yang kuat
menurut Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, selama
safarnya itu bukan
untuk maksiyat. [5]
5. Wanita hamil dan
menyusui.
Apabila wanita hamil
dan menyusui khawatir
akan keselamatan jiwa
mereka, atau beserta
anak-anak mereka
sendiri, maka
diperbolehkan bagi
mereka untuk berbuka.
Namun wajib atas
mereka untuk
mengqadha’ shaum
yang ditinggalkannya
itu dan tidak diwajibkan
membayar fidyah,
seperti halnya orang
sakit yang
diperbolehkan berbuka.
[6]
Dan jika mereka hanya
mengkhawatirkan
keselamatan anak-
anaknya saja dan bukan
keselamatan jiwa
mereka sendiri, maka
diperbolehkan berbuka ,
dan diwajibkan untuk
mengqadha’ shaum
yang ditinggalkannya,
ditambah dengan
membayar fidyah untuk
setiap hari dari shaum
yang telah mereka
tinggalkan, karena
mereka berdua
sebenarnya mampu
untuk melaksanakan
shaum. [7]
Sedangkan ukuran
fidyah adalah satu mud
gandum, yang sepadan
dengan ½ sha’ bahan
makanan lain. Yang
ukurannya menurut
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baaz adalah 1,5 kg dari
kurma, atau beras, atau
yang lainnya, dari
makanan pokok negeri
yang ditempatinya, yang
biasa ia berikan kepada
keluarganya. [8]
Allah berfirman :
...ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻄِﻴﻘُﻮﻧَﻪُ
ﻓِﺪْﻳَﺔُ ﻃَﻌَﺎﻡُ ﻣِﺴْﻜِﻴﻦٍ ...
{184}
“…dan wajib bagi orang
yang berat
menjalankannya ( tidak
shaum ) untuk
membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang
miskin…”
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻭَﺿَﻊَ ﻋَﻦِ
ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ ﺷَﻄْﺮَ ,ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ ﻭَﻋَﻦِ
ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺎﻣِﻞِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮْﺿِﻊِ
ﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﺃَﻭِﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ
“Sesungguhnya Allah
‘Azza wa jalla telah
membebaskan separuh
shalat bagi musafir, dan
juga membebaskan
shaum dari seorang
musafir, wanita yang
hamil dan wanita yang
menyusui”[9] .
[1] Lihat shahih
Bukhari, hadits no 4505;
Tafsir Ath-Thabari, 2/79.
[2] Al-Mughni,
3/141.
[3] Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab,
6/255-256.
[4] Fatawa Al-
Lajnah Ad-Da’imah lil
Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa
Al-Ifta’,10/233,236.
[5] Lihat Majmu’
Fatawa, 25/209-214.
[6] Al-Mughni,
3/139; Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah lil Buhuts
Al-‘Ilmiyyah wa Al-
Ifta’,10/220,161.
[7] Al-Mughni,
3/139; Majmu’
Fatawa,25/218.
[8] Lihat Al-
Mughni, 3/130; Majmu’
Al-Mar’ah, hal 87.
[9] Shahih Sunan
Ibnu Majah, 2/64-65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar