Minggu, 14 Juni 2015

MLM dalam pandangan syariat

Multi Level
Marketing Dalam
Timbangan Syariat

Oleh: Imtihan asy-
Syafi'i, M.IF

Sebagai rahmatan lil
'alamin (rahmat bagi
seluruh alam) dan
agama yang shalih
likulli zaman (cocok
untuk segala zaman),
Islam mampu
memenuhi segala
kebutuhan tan
menjawab semua
tantang zaman, tanpa
kehilangan karakteristik
khususnya.
Multi Level Marketing
(MLM) adalah model
jual-beli plus yang
akhir-akhir ini banyak
ditawarkan. Bukan
hanya barang-barang
kebutuhan sehari-hari
yang diperjualbelikan
dengan sistem MLM;
bahkan pembiayaan
keberangkatan haji pun
ditawarkan dengan
sistem MLM.
Bagaimanakah
sebenarnya hukum MLM
dalam timbangan
syariat?
Prinsip-prinsip
Muamalah Islam
Prinsip-prinsip
Muamalah berbeda
dengan prinsip-prinsip
akidah ataupun ibadah.
Dr. Muhammad 'Utsman
Syabir dalam al-
Mu'amalah al-Maliyah
al-Mu'ashirah fil Fiqhil
Islamiy menyebutkan
prinsip-prinsip itu,
yaitu:
1. Fiqh mu'amalat
dibangun di atas
dasar-dasar umum
yang dikandung oleh
beberapa nash
berikut:
1. Firman Allah,
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah
kalian makan harta di
antara kalian dengan
cara yang batil; kecuali
dengan cara
perdagangan atas dasar
kerelaan di antara
kalian." (QS. An-Nisa`:
29)
"Janganlah kalian
makan harta di antara
kalian dengan cara yang
batil dan janganlah
kalian menyuap dengan
harta itu, dengan
maksud agar kamu
dapat memakan
sebagian harta orang
lain itu dengan jalan
dosa, padahal kamu
mengetahui." (QS. Al-
Baqarah: 188)
1. 1. Firman Allah,
"Allah menghalalkan
jual beli dan
mengharamkan
riba." (QS. Al-Baqarah:
275)
1. 1. Ibnu 'Umar ra
menyatakan
bahwa
Rasulullah saw.
melarang jual
beli gharar
(mengandung
ketidakjelasan).
(HR. Muslim,
10/157 dan al-
Baihaqiy di
dalam as-
Sunanul Kubra,
5/338)
2. Pada asalnya,
hukum segala jenis
muamalat adalah
boleh. Tidak ada
satu model/jenis
muamalat pun yang
tidak diperbolehkan,
kecuali jika didapati
adanya nash shahih
yang melarangnya,
atau model/jenis
muamalat itu
bertentangan
dengan prinsip
muamalat Islam.
Dasarnya adalah
firman Allah,
"Katakanlah,
'Terangkanlah kepadaku
tentang rizki yang
diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya
haram dan sebagiannya
halal.' Katakanlah,
'Apakah Allah telah
memberikan izin
kepadamu (tentang ini),
ataukah kamu mengada-
ada atas nama
Allah.'." (QS. Yunus: 59)
1. Fiqh mu'amalah
mengompromikan
karakter tsabat dan
murunah. Tsubut
artinya tetap,
konsisten, dan tidak
berubah-ubah.
Maknanya, prinsip-
prinsip Islam baik
dalam hal akidah,
ibadah, maupun
muamalah, bersifat
tetap, konsisten, dan
tidak berubah-ubah
sampai kapan pun.
Namun demikian,
dalam tataran
praktis, Islam—
khususnya dalam
muamalah—bersifat
murunah. Murunah
artinya lentur,
menerima
perubahan dan
adaptasi sesuai
dengan
perkembangan
zaman dan
kemajuan teknologi,
selama tidak
bertentangan
dengan prinsip-
prinsip yang tsubut.
2. Fiqh muamalah
dibangun di atas
prinsip menjaga
kemaslahatan dan
'illah (alasan
disyariatkannya
suatu hukum).
Tujuan dari
disyariatkannya
muamalat adalah
menjaga dharuriyat,
hajiyat, dan
tahsiniyat. Prinsip-
prinsip muamalat
kembali kepada
hifzhulmaal
(penjagaan terhadap
harta), dan itu salah
satu dharuriyatul
khamsah (dharurat
yang lima).
Sedangkan berbagai
akad—seperti jual
beli, sewa menyewa,
dlsb.—disyariatkan
untuk memenuhi
kebutuhan manusia
dan menyingkirkan
kesulitan dari
mereka.
Bertolak dari sini,
banyak hukum
muamalat yang berjalan
seiring dengan maslahat
yang dikehendaki Syari'
ada padanya. Maknanya,
jika maslahatnya
berubah, atau
maslahatnya hilang,
maka hukum muamalat
itu pun berubah. Al-'Izz
bin 'Abdussalam
menyatakan, "Setiap
aktivitas yang tujuan
disyariatkannya tidak
terwujud, aktivitas itu
hukumnya batal."
Dengan bahasa yang
berbeda, asy-Syathibiy
sependapat dengan
al-'Izz. Asy-Syathibiy
berkata,
"Memperhatikan hasil
akhir dari berbagai
perbuatan adalah
sesuatu yang mu'tabar
(diakui) menurut
syariat."
Yang Diharamkan
dalam Muamalat
Dalam Majmu' Fatawa
28/385, Ibnu Tamiyah
mengisyaratkan bahwa
pengharaman semua
muamalat di dalam al-
Qur`an dan as-Sunnah
lantaran di dalam
muamalat itu ada
kezhaliman, riba,
perjudian, dan
ketidakjelasan (gharar).
Secara lebih terperinci
Dr. Rafiq Yunus al-
Mishriy menginventarisir
perkara-perkara yang
diharamkan dalam
muamalat Islam, di
antaranya:
1. Riba. Riba adalah
tambahan yang
diberikan karena
pertambahan waktu.
Misalnya, seseorang
meminjam uang
senilai 100 gram
emas selama satu
tahun; disepakati
dia harus
mengembalikannya
pada waktunya
dengan uang senilai
110 gram emas. Ini
jenis riba yang hari
ini banyak
dipraktikkan oleh
perbankan
konvensional-
kapitalis.
2. Perjudian. Perjudian
adalah upaya saling
merugikan, hal mana
pihak-pihak yang
terlibat tidak
mengetahui siapa
yang akan
mendapatkan harta
mereka. Di dalam
perjudian ada
berbagai mudharat,
yaitu: membiasakan
orang untuk malas,
membuat
kecanduan,
mendorong
bobroknya rumah
tangga, dan
sejatinya perjudian
bukanlah aktivitas
ekonomi.
3. Gharar/jahalah.
Gharar (spekulasi)
didefinisikan oleh
para fuqaha
kemungkinan,
keraguan,
ketidakjelasan, dan
ketidakpastian;
apakah akan
mendapatkan suatu
hasil ataukah tidak.
Para fuqaha
memerinci gharar
menjadi beberapa
jenis, yaitu:
1. Gharar fil wujud,
yakni spekulasi
keberadaan,
seperti menjual
sesuatu anak
kambing,
padahal induk
kambing belum
lagi bunting.
2. Gharar fil
hushul, yakni
spekulasi hasil,
seperti menjual
sesuatu yang
sedang dalam
perjalanan,
belum sampai ke
tangan penjual.
3. Gharar fil
miqdar, yakni
spekulasi kadar,
seperti menjual
ikan yang
terjaringdengan
sekali jaring
sebelum
dilakukannya
penjaringan.
4. Gharar fil jinsi,
yakni spekulasi
jenis, seperti
menjual barang
yang tidak jelas
jenisnya.
5. Gharar fish
shifah, spekulasi
sifat, seperti
menjual barang
yang
spesifikasinya
tidak jelas.
6. Gharar fiz
zaman, spekulasi
waktu, seperti
menjual barang
yang masa
penyerahannya
tidak jelas.
7. Gharar fil makan,
spekulasi
tempat, seperti
menjual barang
yang tempat
penyerahannya
tidak jelas.
8. Gharar fit ta'yin,
spekulasi
penentuan
barang, seperti
menjual salah
satu baju dari
dua baju, tanpa
dijelaskan mana
yang hendak
dijual.
Terkait dengan gharar
ini, para fuqaha
menyatakan, gharar
yang diharamkan adalah
gharar yang terang dan
banyak—seperti
menjual ikan di dalam
kolam, sedangkan
gharar yang sedikit—
seperti menjual jeruk
tanpa dikupas terlebih
dahulu—dimaafkan.
Perlu dicatat bahwa
mudharat gharar berada
di bawah mudharat
riba, spt dinyatakan
oleh Ibnu Taimiyah
dalam Majmu' Fatawa
29/25.
1. Ihtikar. Yakni
membeli barang
dengan tujuan
menimbunnya untuk
dijual ketika
harganya tinggi.
Rasulullah saw.
bersabda,
"Barangsiapa yang
menimbun, dia
telah berbuat
salah." (HR. Muslim,
11/43)
2. Ghubn. Yakni
menaikkan harga
barang melebihi
harga umum (mark
up). Ghubn ada
dua: ghubn fahisy
(jelas/besar) dan
ghubn yasir (kecil).
Meskipun para
ulama berbeda
pendapat mengenai
kadar maksimal
ghubn yasir, naum
mereka sepakat
bahwa mark up
lebih dari 33%
termasuk ghubn
fahisy. Ghubn fahisy
hukumnya haram
bagi penjual, karena
adanya unsur
penipuan,
sedangkan bagi
pembeli, menurut
sebagian fuqaha dia
tidak berhak
mengembalikan
barang yang telah
dibelinya, lantaran
dia tidak
menanyakan terlebih
dahulu kepada
orang-orang yang
lebih tahu/
berpengalaman.
Sedangkan menurut
sebagian yang lain,
dia berhak
mengembalikan
barang yang telah
dibelinya.
3. Najasy. Yakni
menaikkan harga
barang supaya calon
pembeli tertarik
lantaran menduga
barang yang mahal
adalah barang yang
baik/berkualitas.
Najasy haram, tetapi
jual belinya tetap
sah, menurut para
fuqaha. Pelaku
najasy berdosa,
sedangkan pembeli
keliru karena tidak
berhati-hati dan
bertanya kepada
berbagai pihak yang
mengetahui harga
dan kualitas barang.
4. Israf. Israf yakni
melampaui batas/
berlebih-lebihan di
dalam
membelanjakan
harta melebihi batas
kebutuhan. Setiap
muslim
diperintahkan untuk
menjauhi sikap israf
dan membuang-
buang harta. Allah
berfirman,
"Makan dan minumlah,
tetapi jangan berlebih-
lebihan!" (QS.
1. Zhulm. Zhulm atau
berbuat zhalim
dilarang Islam
dalam seluruh aspek
kehidupan; termasuk
dalam muamalat.
Selain ayat-ayat
yang telah
disebutkan di
depan, Rasulullah
saw. bersabda,
"Tidak boleh
mendatangkan
mudharat untuk diri
sendiri maupun
untuk orang
lain." (HR. Ibnu
Majah).
2. Ghashab. Ghashab
adalah mengambil
hak orang lain
secara terang-
terangan, berbeda
dengan pencurian
yang dilakukan
secara sembunyi-
sembunyi. Hukum
ghashab haram,
meskipun harta yang
diambil tidak
mencapai nishab
pencurian.
Menimbang MLM
Seratus perusahaan
MLM seratus pula model
praktiknya, sehingga
hukumnya pun tidak
boleh disamakan begitu
saja. Masing-masing
mesti dikaji kasus per-
kasus. Yang pasti,
hukum asal segala
bentuk muamalat
adalah boleh.
Siapa pun yang hendak
terjun ke dunia kerja—
apa pun itu, termasuk
MLM—berkewajiban
untuk mengilmui dunia
yang hendak
diterjuninya sebelum
dia menceburkan diri ke
dalamnya, jika ingin
mendapatkan keridhaan
Allah dan hidupnya
diberkahi. Ahlussunnah
sepakat, al-'ilmu qablal
qawli wal 'amal
(ilmunya dulu, baru
bicara atau bekerja).
Biasanya, jika sudah
terlanjur mencebur,
seseorang akan
cenderung mencari-cari
pembenaran atas apa
yang dilakukannya,
kecuali orang-orang
yang mendapatkan
rahmat Allah.
Dari beberapa praktik
MLM yang menjamur,
penulis belum
mendapati MLM yang
selamat dari berbagai
perkara yang
diharamkan di dalam
muamalat. Di antara
perkara-perkara yang
diharamkan dan selalu
ada dalam salah satu
MLM—setidaknya
sampai makalah ini
ditulis—adalah:
1. Adanya unsur
gharar/
ketidakjelasan bonus
bagi anggota. Di
antara bonus yang
dijanjikan kepada
anggota adalah
bonus atas
penjualan (atau
lebih tepatnya
belanja) downline.
Dengan syarat
menutup point
(dengan berbelanja
senilai bilangan
tertentu; 200.000
rupiah, misalnya),
anggota akan
mendapatkan bonus
sekian persen dari
belanja seluruh
downline-nya.
Belanja seluruh
downline sejumlah
bilangan tertentu
adalah asumsi alias
belum tentu mereka
berbelanja, sehingga
bonus yang
dijanjikan sekian
persen adalah
sesuatu yang belum
pasti.
2. Adanya unsur ghubn
fahisy (mark up
harga yang besar).
Umumnya, harga
barang-barang yang
dijual dengan sistem
MLM adalah barang-
barang yang
harganya amat
mahal. Konon karena
kualitasnya yang
memang berlipat-
lipat dibandingkan
dengan kualitas
barang semisal yang
dijual dengan sistem
konvensional.
Penulis pernah
membandingkan
harga mie instant
yang dipasarkan
melalui MLM dengan
yang dipasarkan
melalui pasar
umum. Mie instant
milik MLM dijual
dengan harga 5000
rupiah per-bungkus!
Dengan uang yang
sama, kita bisa
mendapatkan 4
bungkus mie instant
yang dipasarkan
secara konvensional.
3. Dorongan untuk
berbuat israf, baik
langsung maupun
tidak langsung. Yang
dimaksud dengan
dorongan tidak
langsung adalah
tuntutan untuk
menutup point,
padahal barang
yang dibeli (kecuali
untuk dijual) bukan
barang yang sedang
dibutuhkan.
4. Adanya kebohongan
terselubung.
Beberapa MLM
menyatakan bahwa
bonus besar yang
diberikan kepada
anggota—ada yang
memberikan bonus
mobil mewah, kapal
pesiar, tour ke
berbagai negara—
adalah karena
perusahaan tidak
mengeluarkan biaya
untuk promosi ke
berbagai media
massa.
Kenyataannya, ada
MLM yang tetap
beriklan di berbagai
media massa.
Hal itu belum termasuk
kebohongan-
kebohongan yang biasa
—menurut informasi
beberapa pelaku MLM—
disampaikan ketika
mem"prospek" calon
anggota baru.
1. Meninggalkan
tujuan
disyariatkannya jual-
beli. Mestinya, jual-
beli ditujukan untuk
memudahkan
kehidupan kaum
muslimin dan
membuat mereka
semakin khusyuk
dalam beribadah
kepada Allah.
Kenyataannya—
masih menurut
informasi beberapa
pelaku—MLM
menuntut waktu
anggotanya sebanyak
nyaris 24 jam
dikurangi tidur
untuk mengejar
mimpi. Bahkan
bersilaturrahim atau
mengunjungi
sahabat lama pun
dibarengi dengan
niatan
mem"prospek".
Penutup
MLM yang kita kaji di
sini adalah MLM yang
jelas-jelas memasarkan
produk, bukan sekedar
menjual sistem (baca:
money game). Mengenai
money game, para
fuqaha kontemporer
sepakat akan
keharamannya. Sebagai
tambahan, di Amerika—
yang kapitalis dan kafir
—perusahaan MLM
dinilai bukan
perusahaan money
game jika 80 % produk
perusahaan itu
dikonsumsi oleh selain
anggota MLM.
Moga-moga kita
senantiasa
mendapatkan petunjuk
ke jalan yang lurus dan
hidup kita diberkahi
oleh Allah.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar