Adab-adab bagi Seorang
Penuntut Ilmu (2)
Dan di antara adab bagi
seorang penuntut ilmu adalah
tidak terburu-buru, lalu
mengatakan bahwa, “Saya
menempuh jalan pintas dan
saya telah mencapai puncak
keilmuan dalam waktu yang
singkat.” Tidaklah demikian.
Memang ia telah mendapatkan
ringkasan saja dari ilmu itu
sebagaimana yang ia
meringkasnya. Kata seorang
penya’ir:
ﺩﺧﻠﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﺟﺎﻫﻼ
ﻣﺘﻮﺍﺿﻌﺎ –ﻳﻌﻨﻲ
-ﺔﻌﻣﺎﺠﻟﺍ ﻭﺧﺮﺟﺖ
ﻣﻨﻬﺎ ﺟﺎﻫﻼ ﻣﻐﺮﻭﺭﺍ
Aku masuk (maksudnya, ke
Universitas) dalam keadaan
bodoh,
Dan ternyata aku keluar darinya
juga dalam keadaan bodoh lagi
terperdaya
Karena ia mengambil ilmu
hanya dalam waktu yang
singkat saja, padahal ilmu tidak
akan bisa seperti itu. Harus
baginya untuk mengambil ilmu
itu sedikit demi sedikit, dan
yang seperti itu memang
sangat membutuhkan
kesabaran, butuh untuk
mengatur dan menjaga waktu,
ia bebaskan gunakan waktunya
(untuk belajar; penj.) kecuali
waktu untuk istirahat, makan
dan waktu untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban dari shalat
fardhu, dan sisanya ia gunakan
untuk menuntut ilmu, siang
dan malam. Di waktu-waktu
selain waktu makan dan
istirahatnya serta tidurnya, ia
gunakan untuk menuntut ilmu,
bukan ia habiskan di jalan-
jalan dan di tempat-tempat
hiburan bersama dengan
teman-temannya atau untuk
bertamasya, tidaklah demikian.
Tapi ia gunakan untuk
menuntut ilmu. Di antara yang
paling berharga bagi seorang
penuntut ilmu adalah dengan
ia menggunakan waktunya
untuk menuntut ilmu, itulah
yang akan menenangkan dan
memberikan kelezatan, yang
lebih baik daripada ia
bertamasya atau ke tempat-
tempat hiburan, bahkan lebih
baik dari segalanya. Ia berada
di surga apabila ia berada
dalam kondisi menuntut ilmu.
Demikianlah sekiranya ia
senantiasa menjaga waktunya,
serta menjaga dirinya dari hal-
hal yang banyak tersebar di
saat ini dari permainan-
permaian atau hiburan-hiburan
yang melalaikan dan juga dari
internet, dari situs-situs yang
saya sendiri tidak tahu
bagaimana caranya. Akan
tetapi, hendaknya menyibukkan
diri dengan menuntut ilmu,
senantiasa bersama dengan
ilmu bukan selainnya, seperti
yang dikatakan, “Ilmu itu
jikalau engkau curahkan
seluruhnya untuknya, maka ia
akan beri sebagian saja darinya
untukmu.”
Jika engkau mencurahkan
segalanya untuk mendapatkan
ilmu, maka ilmu itu hanya akan
memberimu sebagian saja
darinya. Adapun jika engkau
mencampuradukkan ini dengan
itu, pergi ke pasar-pasar, yang
seperti ini akan menelantarkan
dirimu sendiri dan engkau
tidak akan mendapatkan ilmu
sama sekali. Akan hilang ilmu
darimu dan tidak akan pula
berkembang ilmu pada dirimu.
Demikianlah hendaknya adab
bagi seorang penuntut ilmu.
Ilmu itu senantiasa dibutuhkan
dan tidaklah bisa dianggap bisa
diraih seluruhnya, “Ada dua hal
yang tidak akan pernah
kenyang, seorang penuntu ilmu
dan seorang pengejar dunia.”
Maka janganlah engkau anggap
dirimu telah mencapai puncak,
akan tetapi anggaplah dirimu
selalu berada di awal jalan
menuntut ilmu.
ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻭﺗِﻴﺘُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ
ﺇِﻻ ﻗَﻠِﻴﻼ
“Dan tidaklah kalian diberi
pengetahuan melainkan
sedikit.” [Al-Isra`: 85]
Dan Allah Jalla wa ‘Ala
berfirman kepada Nabi-Nya,
mengajarkan kepada Nabi-Nya.
ﻭَﻋَﻠَّﻤَﻚَ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ
ﺗَﻌْﻠَﻢُ
“Dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum
kamu ketahui.” [An-Nisâ`: 113]
ﻭَﻻ ﺗَﻌْﺠَﻞْ ﺑِﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣِﻦْ
ﻗَﺒْﻞِ ﺃَﻥْ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
ﻭَﺣْﻴُﻪُ ﻭَﻗُﻞْ ﺭَﺏِّ ﺯِﺩْﻧِﻲ
ﻋِﻠْﻤﺎً
“Dan janganlah kamu tergesa-
gesa membaca Al-Qur`an
sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu.
Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan.’” [Thâhâ: 114]
Dan Nabi Musa alaihis salâm,
sebagai Nabi yang digelari
‘Kalimullah’ (diajak bicara oleh
Allah), ketika diberitakan
kepadanya bahwa ada
seseorang di bumi ini yang
memiliki ilmu yang tidak
dimiliki oleh Nabi Musa, maka
beliau pun pergi
mendatanginya.
ﻭَﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻟِﻔَﺘَﺎﻩُ
ﻻ ﺃَﺑْﺮَﺡُ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺑْﻠُﻎَ ﻣَﺠْﻤَﻊَ
ﺍﻟْﺒَﺤْﺮَﻳْﻦِ ﺃَﻭْ ﺃَﻣْﻀِﻲَ ﺣُﻘُﺒﺎً
“Dan (ingatlah) ketika Musa
berkata kepada muridnya, ‘Aku
tidak akan berhenti (berjalan)
sebelum sampai ke pertemuan
dua buah lautan, atau aku akan
berjalan sampai bertahun-
tahun.’” [Al-Kahfi: 60]
Bertahun-tahun menempuh
perjalanan hingga berjumpa
dengan hamba Allah yang
shalih tersebut, lalu terjadilah
peristiwa sebagaimana yang
Allah terangkan di dalam Al-
Qur`an.
Maka, jika sang Kalimullah saja
menempuh perjalanan untuk
mencari ilmu hingga beliau
tenang mendapatkan ilmu yang
tadinya tidak dimiliki oleh nabi
Musa, lalu bagaimana sekiranya
ada seorang yang menganggap
dirinya tidaklah membutuhkan
ilmu, saya tidaklah
membutuhkan ilmu, saya telah
mendapatkan ilmu itu hingga
puncaknya, saya kan telah telah
memiliki rekomendasi doctoral,
rekomendasi yang tinggi yang
tidak ada lagi lebih tinggi
darinya. Padahal banyak
perkara lainya setelah itu.
Rekomendasi yang tinggi itu
memiliki kunci-kunci, jika benar
adanya rekomendasi tersebut
setelah adanya idzin, maka itu
akan menjadi kunci-kunci bagi
para penuntut ilmu. Maka
janganlah seorang penuntut
ilmu merasa bangga dengan
dirinya dan merasa ilmunya
telah banyak, padahal ia selalu
membutuhkan ilmu selama-
lamaya.
ﻭَﻗُﻞْ ﺭَﺏِّ ﺯِﺩْﻧِﻲ ﻋِﻠْﻤﺎً
“Ya Tuhanku, tambahkanlah
kepadaku ilmu pengetahuan.”
Dan termasuk dari adab bagi
seorang penuntut ilmu adalah
bersifat tawadhu’ (rendah hati).
Semakin bertambah ilmunya
semakin bertambah pula
tawadhu’nya sebagai bentuk
rasa takutnya kepada Allah
Jalla wa ‘Alâ .
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺨْﺸَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣِﻦْ
ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ
“Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah para
ulama.” [Fâthir: 28]
Tidaklah ia bersifat takabbur
dan sombong, tetapi jika
bertambah ilmunya bertambah
pula tawadhu’nya, rasa
takutnya kepada Allah Azza wa
Jalla, tawadhu’ terhadap orang
lain. Demikian kiranya
hendaknya bagi seorang
penuntut ilmu itu.
Dan perkara yang paling
penting dari itu semua adalah
beramal, mengamalkan ilmu.
Sebab ilmu itu adalah wasilah
untuk beramal, bukanlah
sekadar ilmu itu yang menjadi
tujuan, akan tetapi ia adalah
wasilah. Maka mengamalkan
ilmu itu adalah buah dan ilmu
yang tidak diamalkan bagaikan
sebuah pohon yang tidak
berbuah bahkan ia kelak akan
menjadi hujjah, petaka bagi
pemiliknya sendiri pada hari
kiamat. Ia mengemban ilmu
namun ia tidak mengambil
manfaat darinya.
ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺣُﻤِّﻠُﻮﺍ
ﺍﻟﺘَّﻮْﺭَﺍﺓَ ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻳَﺤْﻤِﻠُﻮﻫَﺎ
ﻛَﻤَﺜَﻞِ ﺍﻟْﺤِﻤَﺎﺭِ ﻳَﺤْﻤِﻞُ
ﺃَﺳْﻔَﺎﺭﺍً ﺑِﺌْﺲَ ﻣَﺜَﻞُ
ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﺬَّﺑُﻮﺍ
ﺑِﺂﻳَﺎﺕِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻻ
ﻳَﻬْﺪِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ
ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ
“Perumpamaan orang-orang
yang dipikulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada
memikulnya adalah seperti
keledai yang membawa Kitab-
Kitab yang tebal. Amatlah
buruknya perumpamaan kaum
yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu. Dan Allah tiada
memberi petunjuk kepada
kaum yang zhalim.” [Al-
Jumu’ah: 5]
Seperti inilah yang terjadi pada
kaum Yahudi, yang mereka itu
telah dimurkai. Mereka
mengemban ilmu namun tidak
mengamalkannya, dan
sebagaimana sebuah amalan
tanpa ilmu itu tidaklah benar,
haruslah dengan ilmu dan
amal. Amalan tanpa ilmu itu
adalah kesesatan, karena itulah
pada akhir surah Al-Fatihah
yang senantiasa kita baca di
setiap raka’at dari shalat kita.
Allah Jalla wa ‘Alâ berfirman,
ﺍﻫْﺪِﻧَﺎ ﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁَ
ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢَ ﺻِﺮَﺍﻁَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺃَﻧْﻌَﻤْﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Tunjukilah Kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka.”
Siapa mereka itu? Mereka
adalah yang telah
mengumpulkan ilmu yang
bermanfaat dengan amalan
yang shalih. Mereka inilah yang
Allah telah beri kenikmatan,
mereka itu dari kalangan para
Nabi, shiddâqân, syuhada’ dan
shalihin, merekalah sebaik-baik
teman dekat.
ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻤَﻐْﻀُﻮﺏِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
“Bukan (jalan) mereka yang
dimurkai.”
Siapakah mereka?!
Mereka adalah orang-orang
yang mengemban ilmu lalu
mereka tidak beramal. Itulah
orang-orang Yahudi dan
bukanlah ini khusus bagi orang
Yahudi saja, bahkan semua
orang yang demikian sifatnya,
yang tidak mengamalkan
ilmunya itulah,
“…mereka yang dimurkai.”
Karena mereka melakukan
pelanggaran kepada Allah
dengan ilmunya, maka ini lebih
parah daripada orang yang
bodoh yang melakukan
pelanggaran kepada Allah
dalam keadaan jahil. Karena
itulah bagi mereka kemurkaan
dari Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ .
ﻭَﻻ ﺍﻟﻀَّﺎﻟِّﻴﻦَ
“Dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.”
Mereka ini adalah yang tidak
memiliki ilmu, namun
beribadah kepada Allah di atas
kejahilan, seperti para pelaku
kebid’ahan dan kesesatan dari
kalangan nashrani dan selain
mereka yang beribadah kepada
Allah dengan kebodohan dan
kebid’ahan.
ﻭَﺭَﻫْﺒَﺎﻧِﻴَّﺔً ﺍﺑْﺘَﺪَﻋُﻮﻫَﺎ
“Dan mereka mengada-adakan
rahbâniyyah padahal Kami
tidak mewajibkannya kepada
mereka tetapi (mereka
sendirilah yang mengada-
adakannya).” [Al-Hadîd: 27]
Mereka itulah yang tersesat dan
menyimpang jalannya, mereka
berjalan tidak di atas jalan
yang benar.
Maka wajib bagi seorang
penuntut ilmu agar
mengamalkan ilmu yang Allah
telah beri padanya, dan juga
wajib baginya untuk menyeru
kepada Allah dan menyeru
kepada ilmu yang ada padanya,
menyebarkannya kepada
manusia, tidak
menyembunyikan dan
mendiamkan saja.
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻜْﺘُﻤُﻮﻥَ ﻣَﺎ
ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻨَﺎﺕِ
ﻭَﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ
ﺑَﻴَّﻨَّﺎﻩُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻳَﻠْﻌَﻨُﻬُﻢْ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻳَﻠْﻌَﻨُﻬُﻢْ
*َﻥﻮُﻨِﻋَّﻼﻟﺍ ﺇِﻻَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺗَﺎﺑُﻮﺍ ﻭَﺃَﺻْﻠَﺤُﻮﺍ ﻭَﺑَﻴَّﻨُﻮﺍ
ﻓَﺄُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﺃَﺗُﻮﺏُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ
ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺍﻟﺘَّﻮَّﺍﺏُ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ
“Sesungguhnya orang-orang
yang menyembunyikan apa yang
telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada
manusia dalam Al-Kitab, mereka
itu dilaknati Allah dan dilaknati
(pula) oleh semua (makhluk)
yang dapat melaknati, kecuali
mereka yang telah bertaubat
dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itulah aku
menerima taubatnya dan
Akulah yang Maha menerima
taubat lagi Maha
Penyayang.” [Al-Baqarah:
159-160]
Sehingga, janganlah ia
menyembunyikan ilmu di dalam
dadanya saja lalu ia diamkan,
namun ia sebarkan ke tengah
manusia. Ilmu itu bukanlah
hanya milikmu, namun ilmu itu
untukmu dan untuk selainmu.
Kamu hanyalah mengembannya
untuk menyampaikannya
kepada selainmu, maka
janganlah menyembunyikannya
dan kamu diamkan serta
meninggalkan manusia dalam
kesesatannya dan
kebodohannya. Ini adalah
perbuatan yang haram atas
dirimu.
Oleh karena itulah dalam surat
Al-Ashr, Allah Jalla wa ‘Alâ
telah berfirman.
.ِﺮْﺼَﻌْﻟﺍَﻭ ﺇِﻥَّ ﺍﻹِﻧﺴَﺎﻥَ
ﻟَﻔِﻲ .ٍﺮْﺴُﺧ ﺇِﻻَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ
ﻭَﺗَﻮَﺍﺻَﻮْﺍ ﺑِﺎﻟْﺤَﻖِّ
ﻭَﺗَﻮَﺍﺻَﻮْﺍ ﺑِﺎﻟﺼَّﺒْﺮِ
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan
amal shalih dan saling
menasehati supaya menaati
kebenaran dan menetapi
kesabaran.” [Al-‘Ashr: 1-3]
Setiap manusia itu dalam
kerugian, baik ia raja atau
jelata, orang kaya atau fakir,
pria atau wanita, orang arab
atau selainnya, mereka semua
dalam keadaan merugi kecuali
orang-orang yagn bersifat
dengan empat sifat.
“… orang-orang yang beriman…”
Ini sifat yang pertama, dan
iman itu tidaklah didapatkan
kecuali dengan ilmu yang
bermanfaat.
Yang kedua,
“…mengerjakan amal shalih…”
Karena ilmu itu tidaklah
bermanfaat tanpa amalan.
Sifat yang ketiga,
“…dan saling menasehati
supaya menaati kebenaran…”
Tidak dengan menyembunyikan
kebenaran, namun ia berwasiat
dengannya dan
menyebarkannya kepada
manusia serta mengajak orang
lain padanya.
Sifat yang keempat,
“…dan saling menasehati
supaya menetapi kesabaran.”
Bersabar dengan adanya
gangguan di jalannya, sebab
orang yang berdakwah kepada
manusia untuk memerintahkan
mereka dan melarang mereka
akan menghadapi gangguan
dari mereka dan juga kesulitan,
sehingga ia hadapi dengan
bersabar. Dan juga dari bentuk
kesabaran adalah kesabaran
dengan terus-menerus atau
konsisten beramal dan tidak
berhenti di awal jalan dan
enggan bersabar karena letih,
tidaklah demikian. Engkau
bersabar dengan keletihan
tersebut dan engkau bersabar
menghadapi manusia, bersabar
dengan segala yang
menimpamu.
Inilah, perkara yang sangat
penting bagi seorang penuntut
ilmu dalam kehidupan ini. Dan
kalian walhamdulillah datang
untuk mengemban tanggung
jawab ini. Kiranya
persiapkanlah diri kalian untuk
mengembannya, dan mintalah
pertolongan kepada Allah serta
bersabarlah dan lanjutkanlah
terus menuntut ilmu di
lembaga pendidikan yang tinggi
dan di tempat selainnya, di
seluruh masa hidupmu wahai
insan, menjadi seorang
penuntut ilmu hingga ke liang
lahad dalam keadaan menuntut
ilmu. Karena ilmu itu tidaklah
ada ujungnya, dan setiap orang
yang bertambah keilmuannya
akan bertambah pula
kebahagiaan dan kebaikannya.
Kita memohon kepada Allah
Subhânahu wa Ta’âlâ agar
memberi Kita taufik kepada
ilmu yang bermanfaat serta
amalan shalih.
Ya Allah, berilah Kami ilmu
yang bisa bermanfaat bagi Kami
dan jauhkanlah Kami dari
segala perkara yang bisa
membahayakan Kami, dan
terimalah taubat dari Kami
terhadap kekurangan dan
kelalaian Kami, sesungguhnya
Engkau adalah Yang Maha
penerima Taubat lagi Maha
penyanyang.
ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ
ﺁﻟﻪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ .ﻦﻴﻌﻤﺟﺃ
[Sumber: http://
alfawzan.af.org.sa/node/
%2014406 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar