Rabu, 22 Juli 2015

Tahlilan

Tanya :
[23/7 07:21] : boleh tanyakah apa hukum nya menghadiri tahlilan dan menerima makanannya blhkak d makan atau di larang?

[23/7 07:32] : 👆👆👆👆Akh afwan adakah penjelasan dan dalil yg shahih...

[23/7 07:39] : na'am bntu ana krn ini yg bnyk trjadi di kampung ana

Jawab:

Tahlilan
Segala puji bagi Allah, sholawat
serta salam kita haturkan kepada
Nabi Muhammad beserta keluarga
dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan
shodaqoh untuk sesama muslim yang
telah meninggal menjadi ladang
amal bagi kita yang masih di dunia
ini sekaligus tambahan amal bagi
yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan
dan mencerdaskan, Islam
membimbing kita menyikapi sebuah
kematian sesuai dengan hakekatnya
yaitu amal shalih, tidak dengan hal-
hal duniawi yang tidak berhubungan
sama sekali dengan alam sana
seperti kuburan yang megah, bekal
kubur yang berharga, tangisan yang
membahana, maupun pesta besar-
besaran. Bila diantara saudara kita
menghadapi musibah kematian,
hendaklah sanak saudara menjadi
penghibur dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan
makanan bagi keluarga yang sedang
terkena musibah tersebut, dalam
hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian
kepada keluarga Ja'far, karena
mereka sedang tertimpa masalah
yang menyesakkan”.(HR Abu
Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195),
al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61),
al-Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi
(Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al-
Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan
Ibn Majah (Sunan Ibn Majah,
1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang
jutaan rupiah dihabiskan tiap malam
untuk sebuah selamatan kematian
yang harus ditanggung keluarga
yang terkena musibah. Padahal
ketika Rasulullah ditanya shodaqoh
terbaik yang akan dikirimkan kepada
sang ibu yang telah meninggal,
Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan
betapa banyak orang yang
mengambil manfaat dari sumur yang
dibuat itu (menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang melimpah
air saja sangat berharga, apalagi di
Arab yang beriklim gurun), awet dan
menjadi amal jariyah yang terus
mengalir. Rasulullah telah
mengisyaratkan amal jariyah kita
sebisa mungkin diprioritaskan untuk
hal-hal yang produktif, bukan
konsumtif; memberi kail, bukan
memberi ikan; seandainya seorang
pengemis diberi uang atau makanan,
besok dia akan mengemis lagi;
namun jika diberi kampak untuk
mencari kayu, besok dia sudah bisa
mandiri. Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis
mushaf, membangun masjid,
menanam pohon yang berbuah
(reboisasi; reklamasi lahan kritis),
membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar
sedang dibutuhkan masyarakat.
Bilamana tidak mampu secara
pribadi, toh bisa dilakukan secara
patungan. Seandainya dana umat
Islam yang demikian besar untuk
selamatan berupa makanan (bahkan
banyak makanan yang akhirnya
dibuang sia-sia; dimakan ayam;
lainnya menjadi isyrof) dialihkan
untuk memberi beasiswa kepada
anak yatim atau kurang mampu agar
bisa sekolah, membenahi madrasah/
sekolah islam agar kualitasnya sebaik
sekolah faforit (yang umumnya milik
umat lain),atau menciptakan
lapangan kerja dan memberi bekal
ketrampilan bagi pengangguran,
niscaya akan lebih bermanfaat.
Namun shodaqoh tersebut bukan
suatu keharusan, apalagi bila
memang tidak mampu.
Melakukannya menjadi keutamaan,
bila tidak mau pun tidak boleh ada
celaan.
Sebagian ulama menyatakan
mengirimkan pahala tidak selamanya
harus dalam bentuk materi, Imam
Ahmad dan Ibnu Taimiyah
berpendapat bacaan al- Qur’an
dapat sampai sebagaimana puasa,
nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i
dan Imam Nawawi menyatakan
bacaan al-Qur’an untuk si mayit
tidak sampai karena tidak ada dalil
yang memerintahkan hal tersebut,
tidak dicontohkan Rasulullah dan
para shahabat. Berbeda dengan
ibadah yang wajib atau sunnah
mu’akad seperti shalat, zakat,
qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10
akhir ramadhan, yang mana ada
celaan bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan
mampu. Akan tetapi di masyarakat
kita selamatan kematian/tahlilan
telah dianggap melebihi kewajiban-
kewajiban agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih
tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga
banyak yang akhirnya memaksakan
diri karena takut akan sanksi sosial
tersebut. Mulai dari berhutang,
menjual tanah, ternak atau barang
berharga yang dimiliki, meskipun di
antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di dalam
al-Qur’an telah jelas terdapat
arahan untuk memberikan
perlindungan harta anak yatim;
tidak memakan harta anak yatim
secara dzalim, tetapi menjaga
sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5,
10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’:
34) serta tidak membelanjakannya
secara boros (QS an- Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut
sesungguhnya juga terkandung
tipuan yang memperdayakan.
Seorang yang tidak beribadah/
menunaikan kewajiban agama
selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah
kematiannya akan menganggap
sudah cukup amalnya, bahkan untuk
menebus kesalahan-kesalahannya.
Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap
dengan menyelenggarakan
selamatan, telah menunaikan
kewajibannya berbakti/mendoakan
orang tuanya.
Imam Syafi'i
rahimahullah
dalam kitab al-
Umm berkata:
"...dan
aku
membenci
al-
ma'tam,
yaitu
proses
berkumpul
(di tempat keluarga mayat)
walaupun tanpa tangisan, karena
hal tersebut hanya akan
menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan masih
melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah
Jawa ini, menghadapi kuatnya adat
istiadat yang telah mengakar. Masuk
Islam tapi kehilangan selamatan-
selamatan, beratnya seperti
masyarakat Romawi disuruh masuk
Nasrani tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus
Ali, mengutip naskah kuno tentang
jawa yang tersimpan di musium
Leiden, Sunan Ampel
memperingatkan Sunan Kalijogo
yang masih melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan
semacam itu karena termasuk
bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita
ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan
menghilangkan budaya tahlilan
itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali
Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit
Terbit Terang Surabaya juga
mengupas panjang lebar mengenai
masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga,
Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan
Gunungjati dan Sunan Muria (kaum
abangan) berbeda pandangan
mengenai adat istiadat dengan
Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan
Drajat (kaum putihan). Sunan
Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan,
bersaji, wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain:
“Apakah tidak mengkhawatirkannya
di kemudian hari bahwa adat
istiadat dan upacara lama itu nanti
dianggap sebagai ajaran yang
berasal dari agama Islam? Jika hal
ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ah?” Sunan kudus
menjawabnya bahwa ia mempunyai
keyakinan bahwa di belakang hari
akan ada yang
menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di
Pulau Jawa, para Wali dibagi
menjadi tiga wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut
berdasarkan obyek dakwah yang
dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu, yaitu
Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur . Di wilayah
bagian timur ini ditempati oleh lima
orang wali, karena pengaruh hindu
sangat dominan. Disamping itu
pusat kekuasaan Hindu berada di
wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa
Timur sekarang) Wilayah ini
ditempati oleh lima wali, yaitu
Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan
Demak), Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Raden Paku (Sunan Giri),
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
dan Raden Kasim (Sunan Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah
Tengah ditempati oleh tiga orang
Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu
dominan. Namun budaya Hindu
sudah kuat. Wali yang ditugaskan di
sini adalah : Raden Syahid (Sunan
Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan
Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah
ini meliputi Jawa bagian barat,
ditempati oleh seorang wali, yaitu
Sunan Gunung Jati alias Syarief
Hidayatullah. Di wilayah barat
pengaruh Hindu-Budha tidak
dominan, karena di wilayah Tatar
Sunda (Pasundan) penduduknya
telah menjadi penganut agama asli
sunda, antara lain kepercayaan
"Sunda Wiwitan"
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Gunung Jati dan
terutama Sunan Giri berusaha sekuat
tenaga untuk menyampaikan ajaran
Islam secara murni, baik tentang
aqidah maupun ibadah. Dan mereka
menghindarkan diri dari bentuk
singkretisme ajaran Hindu dan
Budha. Tetapi sebaliknya Sunan
Kudus, Sunan Muria dan Sunan
Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa
ajaran Hindu dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam. Sampai
saat ini budaya itu masih ada di
masyarakat kita, seperti sekatenan,
ruwatan, shalawatan, tahlilan,
upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori
oleh Sunan Kalijaga, putra
Tumenggung Wilwatika, Adipati
Majapahit Tuban. Pendekatan sosial
budaya yang dilakukan oleh aliran
Tuban memang cukup efektif,
misalnya Sunan Kalijaga
menggunakan wayang kulit untuk
menarik masyarakat jawa yang waktu
itu sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan
kalijaga kepada Prabu Brawijaya V,
Raja Majapahit terakhir yang masih
beragama Hindu, dapat dilihat di
serat Darmogandul, yang antara lain
bunyinya; Punika sadar sarengat,
tegese sarengat niki, yen sare
wadine njegat; tarekat taren kang
osteri; hakikat unggil kapti, kedah
rujuk estri kakung, makripat
ngentos wikan, sarak sarat laki
rabi, ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya sahadat
syariat, artinya syariat ini, bila
tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya meminta
kepada istrinya; hakikat artinya
menyatu padu , semua itu harus
mendapat persetujuan suami istri;
makrifat artinya mengenal ; jadilah
sekarang hukum itu merupakan
syarat bagi mereka yang ingin
berumah tangga, sehingga
bersenggama itu dapat
dilaksanakan kapanpun juga).
Dengan cara dan sikap Sunan
Kalijaga seperti tergambar di muka,
maka ia satu-satunya Wali dari
Sembilan Wali di Jawa yang
dianggap benar-benar wali oleh
golongan kejawen (Islam Kejawen/
abangan), karena Sunan Kalijaga
adalah satu-satunya wali yang
berasal dari penduduk asli Jawa
(pribumi) .
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri Dalam
Perjuangan Politik Islam di
Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT.
Bina Ilmu dan Muhammad Umar
Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain
Syarat Utama Tegaknya Syariat
Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar
Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan
Majlis Adz Zikra ), Penerbit Bina
Biladi Press.]
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan menarik yang
terdapat dalam dokumen “Het Book
van Mbonang” [1] adalah peringatan
dari sunan Mbonang kepada umat
untuk selalu bersikap saling
membantu dalam suasana cinta
kasih, dan mencegah diri dari
kesesatan dan bid’ah. Bunyinya
sebagai berikut:
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki
apapasihana sami-saminira Islam
lan mitranira kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah lan
bid’ah “.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena
kalian semua adalah sama-sama
pemeluk Islam maka hendaklah
saling mengasihi dengan saudaramu
yang mengasihimu. Kalian semua
hendaklah mencegah dari perbuatan
sesat dan bid’ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah sumber
tentang walisongo yang dipercayai
sebagai dokumen asli dan valid,
yang tersimpan di Museum Leiden ,
Belanda. Dari dokumen ini telah
dilakukan beberapa kajian oleh
beberapa peneliti. Diantaranya
thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816,
dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910,
dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun
1935.
[2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim, pengedit buku Mantan
Kiai NU Menggugat Tahlilan,
Istighosahan dan Ziarah Para Wali
hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di Surabaya
tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan
pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan
menyatakan bahwa selamatan
kematian adalah bid'ah yang hina
namun tidak sampai diharamkan
dan merujuk juga kepada Kitab
Ianatut Thalibin. Namun Nahdliyin
generasi berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut sejajar
(bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli
Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun
seseorang telah melakukan
kewajiban-kewajiban agama, namun
tidak melakukan tahlilan, akan
dianggap tercela sekali, bukan
termasuk golongan Ahli Sunnah wal
Jama’ah. Di zaman akhir yang ini
dimana keadaan pengikut sunnah
seperti orang 'aneh' asing di negeri
sendiri, begitu banyaknya orang
Islam yang meninggalkan kewajiban
agama tanpa rasa malu, seperti
meninggalkan Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya
masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani
meninggalkannya. Bahkan non-
muslim pun akan merasa kikuk bila
tak melaksanakannya. Padahal para
ulama terdahulu senantiasa
mengingat dalil-dalil yang
menganggap buruk walimah
(selamatan) dalam suasana musibah
tersebut. Dari sahabat Jarir bin
Abdullah al-Bajali: "Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit,
serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah (meratapi mayit)". (Musnad
Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan
Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz
I, hal 514)
MUKTAMAR I
NAHDLATUL ULAMA
(NU) KEPUTUSAN
MASALAH DINIYYAH NO:
18 / 13 RABI’UTS TSAANI
1345 H / 21 OKTOBER
1926 DI SURABAYA
TENTANG
KELUARGA
MAYIT
MENYEDIAKAN
MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga
mayat menyediakan makanan untuk
hidangan kepada mereka yang
datang berta’ziah pada hari
wafatnya atau hari-hari berikutnya,
dengan maksud bersedekah untuk
mayat tersebut? Apakah keluarga
memperoleh pahala sedekah
tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari
wafat atau hari ketiga atau hari
ketujuh itu hukumnya MAKRUH ,
apabila harus dengan cara
berkumpul bersama-sama dan pada
hari-hari tertentu, sedang hukum
makruh tersebut tidak
menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin
Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga
mayit ikut duduk bersama orang-
orang yang sengaja dihimpun untuk
berta’ziyah dan membuatkan
makanan bagi mereka, sesuai
dengan hadits riwayat Ahmad dari
Jarir bin Abdullah al Bajali yang
berkata: ”kami menganggap
berkumpul di (rumah keluarga) mayit
dengan menyuguhi makanan pada
mereka, setelah si mayit dikubur, itu
sebagai bagian dari RATAPAN (YANG
DILARANG) .”
Dalam kitab Al Fatawa Al
Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga
Allah mengembalikan
barokah-Nya kepada kita.
Bagaimanakah tentang
hewan yang disembelih dan
dimasak kemudian dibawa
di belakang mayit menuju
kuburan untuk
disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan
TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA
KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN
MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN,
DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA
HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap
sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan
ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses
ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu
tujuannya hanya sekedar
melaksanakan kebiasaan penduduk
setempat sehingga bagi yang tidak
mau melakukannya akan dibenci
oleh mereka dan ia akan merasa
diacuhkan. Kalau mereka
melaksanakan adat tersebut dan
bersedekah tidak bertujuaan
(pahala) akhirat, maka bagaimana
hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah
ditasarufkan, atas keingnan ahli
waris itu masih ikut dibagi/dihitung
dalam pembagian tirkah/harta
warisan, walau sebagian ahli waris
yang lain tidak senang pentasarufan
sebagaian tirkah bertujuan sebagai
sedekah bagi si mayit selama satu
bulan berjalan dari kematiannya.
Sebab, tradisi demikian, menurut
anggapan masyarakat harus
dilaksanakan seperti “wajib”,
bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang
dilakukan sebagaimana yang
ditanyakan di atas termasuk BID’AH
YANG TERCELA tetapi tidak sampai
haram (alias makruh), kecuali (bisa
haram) jika prosesi penghormatan
pada mayit di rumah ahli warisnya
itu bertujuan untuk “meratapi” atau
memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut,
ia harus bertujuan untuk menangkal
“OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH
(yaitu orang-orang yang punya adat
kebiasaan menyediakan makanan
pada hari wafat atau hari ketiga
atau hari ketujuh, dst-penj.), agar
mereka tidak menodai kehormatan
dirinya, gara-gara ia tidak mau
melakukan prosesi penghormatan di
atas. Dengan sikap demikian,
diharapkan ia mendapatkan pahala
setara dengan realisasi perintah
Nabi terhadap seseorang yang batal
(karena hadast) shalatnya untuk
menutup hidungnya dengan tangan
(seakan-akan hidungnya keluar
darah). Ini demi untuk menjaga
kehormatan dirinya, jika ia berbuat
di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil /
dikurangi seperti kasus di atas.
Sebab tirkah yang belum dibagikan
mutlak harus disterilkan jika
terdapat ahli waris yang majrur
ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah
pandai-pandai, tetapi sebagian dari
mereka tidak rela (jika tirkah itu
digunakan sebelum dibagi kepada
ahli waris).
[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil
Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/
d XXX (yang terdiri dari 430
masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri
ketua Pimpinan Pusat Rabithah
Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh
Ponpes Al Aziziyyah Denanyar
Jombang. Kata Pengantar Menteri
Agama Republik Indonesia : H.
Maftuh Basuni ]
Hasil Scan halaman buku "Masalah
Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas
Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri
dari 430 masalah);
Keterangan lebih lengkapnya lihat
dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2
hal. 165 -166 , Seperti terlampir di
bawah ini :
ﻭﻗﺪ ﺃﺭﺳﻞ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ - ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻨﻪ - ﺇﻟﻰ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻳﻌﺰﻳﻪ ﻓﻲ ﺍﺑﻦ ﻟﻪ
ﻗﺪ ﻣﺎﺕ :ﻪﻟﻮﻘﺑ ﺇﻧﻲ ﻣﻌﺰﻳﻚ ﻻ ﺇﻧﻲ ﻋﻠﻰ
ﺛﻘﺔ * * ﻣﻦ ﺍﻟﺨﻠﻮﺩ، ﻭﻟﻜﻦ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻓﻤﺎ
ﺍﻟﻤﻌﺰﻯ ﺑﺒﺎﻕ ﺑﻌﺪ ﻣﻴﺘﻪ * * ﻭﻻ ﺍﻟﻤﻌﺰﻱ
ﻭﻟﻮ ﻋﺎﺷﺎ ﺇﻟﻰ ﺣﻴﻦ ﻭﺍﻟﺘﻌﺰﻳﺔ: ﻫﻲ ﺍﻻﻣﺮ
ﺑﺎﻟﺼﺒﺮ، ﻭﺍﻟﺤﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻮﻋﺪ ﺍﻻﺟﺮ، ﻭﺍﻟﺘﺤﺬﻳﺮ
ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺯﺭ ﺑﺎﻟﺠﺰﻉ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﺑﺎﻟﻤﻐﻔﺮﺓ
ﻭﻟﻠﺤﻲ ﺑﺠﺒﺮ ﺍﻟﻤﺼﻴﺒﺔ، ﻓﻴﻘﺎﻝ :ﺎﻬﻴﻓ ﺃﻋﻈﻢ
ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺟﺮﻙ، ﻭﺃﺣﺴﻦ ﻋﺰﺍﺀﻙ، ﻭﻏﻔﺮ ﻟﻤﻴﺘﻚ،
ﻭﺟﺒﺮ ﻣﻌﺼﻴﺘﻚ، ﺃﻭ ﺃﺧﻠﻒ ﻋﻠﻴﻚ، ﺃﻭ ﻧﺤﻮ
ﺫﻟﻚ.ﻭﻫﺬﺍ ﻓﻲ ﺗﻌﺰﻳﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ .ﻢﻠﺴﻤﻟﺎﺑ
ﻭﺃﻣﺎ ﺗﻌﺰﻳﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﺎﻓﺮ ﻓﻼ ﻳﻘﺎﻝ
:ﺎﻬﻴﻓ ﻭﻏﻔﺮ ﻟﻤﻴﺘﻚ، ﻻﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻐﻔﺮ
.ﺮﻔﻜﻟﺍ
ﻭﻫﻲ ﻣﺴﺘﺤﺒﺔ ﻗﺒﻞ ﻣﻀﻲ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﻮﺕ، ﻭﺗﻜﺮﻩ ﺑﻌﺪ ﻣﻀﻴﻬﺎ.ﻭﻳﺴﻦ ﺃﻥ ﻳﻌﻢ
ﺑﻬﺎ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ ﺻﻐﻴﺮﻭﻛﺒﻴﺮ،
ﻭﺭﺟﻞ ﻭﺍﻣﺮﺃﺓ، ﺇﻻ ﺷﺎﺑﺔ ﻭﺃﻣﺮﺩ ﺣﺴﻨﺎ، ﻓﻼ
ﻳﻌﺰﻳﻬﻤﺎ ﺇﻻ ﻣﺤﺎﺭﻣﻬﻤﺎ، ﻭﺯﻭﺟﻬﻤﺎ.ﻭﻳﻜﺮﻩ
ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺃﺟﻨﺒﻲ ﻟﻬﻤﺎ ﺑﺎﻟﺘﻌﺰﻳﺔ، ﺑﻞ ﺍﻟﺤﺮﻣﺔ
ﺃﻗﺮﺏ.ﻭﻳﻜﺮﻩ ﻻﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻟﻠﺘﻌﺰﻳﺔ،
ﻭﺻﻨﻊ ﻃﻌﺎﻡ ﻳﺠﻤﻌﻮﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ، ﻟﻤﺎ
ﺭﻭﻯ ﺃﺣﻤﺪ ﻋﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺒﺠﻠﻲ،
:ﻝﺎﻗ ﻛﻨﺎ ﻧﻌﺪ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﻭﺻﻨﻌﻬﻢ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺑﻌﺪ ﺩﻓﻨﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻴﺎﺣﺔ،
ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﻟﺠﻴﺮﺍﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ - ﻭﻟﻮ ﺃﺟﺎﻧﺐ -
ﻭﻣﻌﺎﺭﻓﻬﻢ - ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻮﻧﻮﺍ ﺟﻴﺮﺍﻧﺎ -
ﻭﺃﻗﺎﺭﺑﻪ - ﺪﻋﺎﺑﻻﺍ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺑﻐﻴﺮ ﺑﻠﺪ ﺍﻟﻤﻴﺖ
- ﺃﻥ ﻳﺼﻨﻌﻮﺍ ﻻﻫﻠﻪ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻬﻢ ﻳﻮﻣﺎ
ﻭﻟﻴﻠﺔ، ﻭﺃﻥ ﻳﻠﺤﻮﺍ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻻﻛﻞ.ﻭﻳﺤﺮﻡ
ﺻﻨﻌﻪ ﻟﻠﻨﺎﺋﺤﺔ، ﻻﻧﻪ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ .ﺔﻴﺼﻌﻣ
ﻭﻗﺪ ﺍﻃﻠﻌﺖ ﻋﻠﻰ ﺳﺆﺍﻝ ﺭﻓﻊ ﻟﻤﻔﺎﺗﻲ ﻣﻜﺔ
ﺍﻟﻤﺸﺮﻓﺔ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ
ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ.ﻭﺟﻮﺍﺏ ﻣﻨﻬﻢ .ﻚﻟﺬﻟ
‏( ﻭﺻﻮﺭﺗﻬﻤﺎ‏) .
ﻣﺎ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻤﻔﺎﺗﻲ ﺍﻟﻜﺮﺍﻡ ﺑﺎﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺩﺍﻡ
ﻧﻔﻌﻬﻢ ﻟﻼﻧﺎﻡ ﻣﺪﻯ ﺍﻻﻳﺎﻡ، ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺮﻑ
ﺍﻟﺨﺎﺹ ﻓﻲ ﺑﻠﺪﺓ ﻟﻤﻦ ﺑﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻻﺷﺨﺎﺹ
ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﻘﻞ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺠﺰﺍﺀ،
ﻭﺣﻀﺮ ﻣﻌﺎﺭﻓﻪ ﻭﺟﻴﺮﺍﻧﻪ ﺍﻟﻌﺰﺍﺀ، ﺟﺮﻯ ﺍﻟﻌﺮﻑ
ﺑﺄﻧﻬﻢ ﻳﻨﺘﻈﺮﻭﻥ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ، ﻭﻣﻦ ﻏﻠﺒﺔ ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ
ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻳﺘﻜﻠﻔﻮﻥ ﺍﻟﺘﻜﻠﻒ ﺍﻟﺘﺎﻡ،
ﻭﻳﻬﻴﺌﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﺃﻃﻌﻤﺔ ﻋﺪﻳﺪﺓ، ﻭﻳﺤﻀﺮﻭﻧﻬﺎ
ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﻤﺸﻘﺔ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪﺓ.ﻓﻬﻞ ﻟﻮ ﺃﺭﺍﺩ ﺭﺋﻴﺲ
- ﻡﺎﻜﺤﻟﺍ ﺑﻤﺎ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻓﻖ ﺑﺎﻟﺮﻋﻴﺔ،
ﻭﺍﻟﺸﻔﻘﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻫﺎﻟﻲ - ﺑﻤﻨﻊ ﻫﺬﻩ
ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﺑﺎﻟﻜﻠﻴﺔ ﻟﻴﻌﻮﺩﻭﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻤﺴﻚ
ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺴﻨﻴﺔ، ﺍﻟﻤﺄﺛﻮﺭﺓ ﻋﻦ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﺒﺮﻳﺔ
ﻭﺇﻟﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﺑﻪ ﺻﻼﺓ ﻭﺳﻼﻣﺎ، ﺣﻴﺚ :ﻝﺎﻗ
ﺍﺻﻨﻌﻮﺍ ﻵﻝ ﺟﻌﻔﺮ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻳﺜﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻨﻊ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ؟ ﺃﻓﻴﺪﻭﺍ ﺑﺎﻟﺠﻮﺍﺏ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ
ﻣﻨﻘﻮﻝ .ﺭﻮﻄﺴﻣﻭ
‏( ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻭﺣﺪﻩ‏) ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ
ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺍﻟﺴﺎﻟﻜﻴﻦ
ﻧﻬﺠﻬﻢ ﺑﻌﺪﻩ.ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﺳﺄﻟﻚ ﺍﻟﻬﺪﺍﻳﺔ
.ﺏﺍﻮﺼﻠﻟ
ﻧﻌﻢ، ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻋﻨﺪ
ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻨﻊ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ، ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ
ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺜﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻌﻬﺎ ﻭﺍﻟﻲ
ﺍﻻﻣﺮ، ﺛﺒﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻪ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺃﻳﺪ ﺑﻪ
ﺍﻻﺳﻼﻡ .ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍﻭ
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ ‏(ﺗﺤﻔﺔ
ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺝ ﻟﺸﺮﺣﻚ ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ ‏): ﻭﻳﺴﻦ ﻟﺠﻴﺮﺍﻥ
ﺃﻫﻠﻪ - ﺃﻱ ﺍﻟﻤﻴﺖ - ﺗﻬﻴﺌﺔ ﻃﻌﺎﻡ ﻳﺸﺒﻌﻬﻢ
ﻳﻮﻣﻬﻢ ﻭﻟﻴﻠﺘﻬﻢ، ﻟﻠﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ.ﺍﺻﻨﻌﻮﺍ
ﻵﻝ ﺟﻌﻔﺮ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻓﻘﺪ ﺟﺎﺀﻫﻢ ﻣﺎ
.ﻢﻬﻠﻐﺸﻳ
ﻭﻳﻠﺢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻻﻛﻞ ﻧﺪﺑﺎ، ﻻﻧﻬﻢ ﻗﺪ
ﻳﺘﺮﻛﻮﻧﻪ ﺣﻴﺎﺀ، ﺃﻭ ﻟﻔﺮﻁ ﺟﺰﻉ.ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺗﻬﻴﺌﻪ
ﻟﻠﻨﺎﺋﺤﺎﺕ ﻻﻧﻪ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺼﻴﺔ، ﻭﻣﺎ
ﺍﻋﺘﻴﺪ ﻣﻦ ﺟﻌﻞ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻟﻴﺪﻋﻮﺍ
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ، ﺑﺪﻋﺔ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ - ﻛﺈﺟﺎﺑﺘﻬﻢ
ﻟﺬﻟﻚ، ﻟﻤﺎ ﺻﺢ ﻋﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ.ﻛﻨﺎ
ﻧﻌﺪ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻨﻌﻬﻢ
ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺑﻌﺪ ﺩﻓﻨﻪ ﻣﻦ .ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ
ﻭﻭﺟﻪ ﻋﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻴﺎﺣﺔ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﺪﺓ
ﺍﻻﻫﺘﻤﺎﻡ ﺑﺄﻣﺮ .ﻥﺰﺤﻟﺍ
ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﻛﺮﻩ ﺍﺟﺘﻤﺎﻉ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻟﻴﻘﺼﺪﻭﺍ
ﺑﺎﻟﻌﺰﺍﺀ، ﺑﻞ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻨﺼﺮﻓﻮﺍ ﻓﻲ
ﺣﻮﺍﺋﺠﻬﻢ، ﻓﻤﻦ .ﻢﻫﺍﺰﻋ ﻢﻬﻓﺩﺎﺻ
.ﻩﺍ
ﻭﻓﻲ ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺍﻟﺠﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﺡ
:ﺞﻬﻨﻤﻟﺍ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺓ ﻭﺍﻟﻤﻜﺮﻭﻩ
:ﺎﻬﻠﻌﻓ ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ
ﺍﻟﻮﺣﺸﺔﻭﺍﻟﺠﻤﻊ ﻭﺍﻻﺭﺑﻌﻴﻦ، ﺑﻞ ﻛﻞ ﺫﻟﻚ ﺣﺮﺍﻡ
ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﻣﺤﺠﻮﺭ، ﺃﻭ ﻣﻦ ﻣﻴﺖ ﻋﻠﻴﻪ
ﺩﻳﻦ، ﺃﻭ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺿﺮﺭ، ﺃﻭ ﻧﺤﻮ .ﻚﻟﺫ
ﺍﻩ.ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ‏(ﺹ ‏) ﻟﺒﻼﻝ ﺑﻦ
ﺍﻟﺤﺮﺙ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ :ﻪﻨﻋ ﻳﺎ ﺑﻼﻝ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎ
ﺳﻨﺔ ﻣﻦ ﺳﻨﺘﻲ ﻗﺪ ﺃﻣﻴﺘﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ، ﻛﺎﻥ
ﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﺮ ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻬﺎ، ﻻ ﻳﻨﻘﺺ
ﻣﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻢ .ﺎﺌﻴﺷ
ﻭﻣﻦ ﺍﺑﺘﺪﻉ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ﻻ ﻳﺮﺿﺎﻫﺎ ﺍﻟﻠﻪ
ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ، ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻬﺎ، ﻻ
ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﻭﺯﺍﺭﻫﻢ ﺷﻴﺌﺎ.ﻭﻗﺎﻝ ‏( ﺹ‏) : ﺇﻥ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﺧﺰﺍﺋﻦ، ﻟﺘﻠﻚ ﺍﻟﺨﺰﺍﺋﻦ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ،
ﻓﻄﻮﺑﻰ ﻟﻌﺒﺪ ﺟﻌﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻔﺘﺎﺣﺎ ﻟﻠﺨﻴﺮ،
ﻣﻐﻼﻗﺎ ﻟﻠﺸﺮ.ﻭﻭﻳﻞ ﻟﻌﺒﺪ ﺟﻌﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻔﺘﺎﺣﺎ
ﻟﻠﺸﺮ، ﻣﻐﻼﻗﺎ .ﺮﻴﺨﻠﻟ
ﻭﻻ ﺷﻚ ﺃﻥ ﻣﻨﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ
ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺓ ﻓﻴﻪ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻟﻠﺴﻨﺔ، ﻭﺇﻣﺎﺗﻪ ﻟﻠﺒﺪﻋﺔ،
ﻭﻓﺘﺢ ﻟﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺨﻴﺮ، ﻭﻏﻠﻖ ﻟﻜﺜﻴﺮ
ﻣﻦ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺸﺮ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺘﻜﻠﻔﻮﻥ
ﺗﻜﻠﻔﺎ ﻛﺜﻴﺮﺍ، ﻳﺆﺩﻱ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ
ﺍﻟﺼﻨﻊ ﻣﺤﺮﻣﺎ.ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ .ﻢﻠﻋﺃ ﻰﻟﺎﻌﺗﻭ
ﻛﺘﺒﻪ ﺍﻟﻤﺮﺗﺠﻲ ﻣﻦ ﺭﺑﻪ :ﻥﺍﺮﻔﻐﻟﺍ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ
ﺯﻳﻨﻲ ﺩﺣﻼﻥ - ﻣﻔﺘﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺑﻤﻜﺔ
ﺍﻟﻤﺤﻤﻴﺔ - ﻏﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ، ﻭﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻪ،
ﻭﻣﺸﺎﻳﺨﻪ، .ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍﻭ
‏( ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ‏) ﻣﻦ ﻣﻤﺪ ﺍﻟﻜﻮﻥ ﺃﺳﺘﻤﺪ
ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻭﺍﻟﻌﻮﻥ.ﻧﻌﻢ، ﻳﺜﺎﺏ ﻭﺍﻟﻲ ﺍﻻﻣﺮ -
ﺿﺎﻋﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺍﻻﺟﺮ، ﻭﺃﻳﺪﻩ ﺑﺘﺄﻳﻴﺪﻩ - ﻋﻠﻰ
ﻣﻨﻌﻬﻢ ﻋﻦ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻣﻮﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﻣﻦ
ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺒﺤﺔ .ﺭﻮﻬﻤﺠﻟﺍ ﺪﻨﻋ
ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ‏( ﺭﺩ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺭ ﺗﺤﺖ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺪﺍﺭ
ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ‏) :ﻪﺼﻧ ﺎﻣ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﺢ: ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ
ﻟﺠﻴﺮﺍﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ، ﻭﺍﻻﻗﺮﺑﺎﺀ ﺍﻻﺑﺎﻋﺪ،
ﺗﻬﻴﺌﺔ ﻃﻌﺎﻡ ﻟﻬﻢ ﻳﺸﺒﻌﻬﻢ ﻳﻮﻣﻬﻢ
ﻭﻟﻴﻠﺘﻬﻢ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ‏(ﺹ ‏): ﺍﺻﻨﻌﻮﺍ ﻵﻝ ﺟﻌﻔﺮ
ﻃﻌﺎﻣﺎ
‏(ﻣﺎ ﻓﻘﺪ ﺟﺎﺀﻫﻢ ﻣﺎ ﻳﺸﻐﻠﻬﻢ.ﺣﺴﻨﻪ
ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ، ﻭﺻﺤﺤﻪ .ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ
ﻭﻻﻧﻪ ﺑﺮ ﻭﻣﻌﺮﻭﻑ، ﻭﻳﻠﺢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ
ﺍﻻﻛﻞ، ﻻﻥ ﺍﻟﺤﺰﻥ ﻳﻤﻨﻌﻬﻢ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ،
ﻓﻴﻀﻌﻔﻮﻥ :ﺎﻀﻳﺃ ﻝﺎﻗﻭ.ﺬﺌﻨﻴﺣ ﻭﻳﻜﺮﻩ
ﺍﻟﻀﻴﺎﻓﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻤﻴﺖ، ﻻﻧﻪ
ﺷﺮﻉ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺮﻭﺭ، ﻭﻫﻲ ﺑﺪﻋﺔ.ﺭﻭﻯ ﺍﻻﻣﺎﻡ
ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺻﺤﻴﺢ، ﻋﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺑﻦ
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ، :ﻝﺎﻗ ﻛﻨﺎ ﻧﻌﺪ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻨﻌﻬﻢ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻣﻦ .ﻩﺍ.ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ
ﻭﻓﻲ :ﺯﺍﺰﺒﻟﺍ ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺍﺗﺨﺎﺫ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻓﻲ
ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻻﻭﻝ ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻭﺑﻌﺪ ﺍﻻﺳﺒﻮﻉ، ﻭﻧﻘﻞ
ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻮﺍﺳﻢ
ﺇﻟﺦ.ﻭﺗﻤﺎﻣﻪ ﻓﻴﻪ، ﻓﻤﻦ ﺷﺎﺀ ﻓﻠﻴﺮﺍﺟﻊ.ﻭﺍﻟﻠﻪ
ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ.ﻛﺘﺒﻪ ﺧﺎﺩﻡ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ
:ﺝﺎﻬﻨﻤﻟﺍﻭ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺮﺍﺝ،
ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ، ﻣﻔﺘﻲ ﻣﻜﺔ ﺍﻟﻤﻜﺮﻣﺔ - ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ
ﻟﻬﻤﺎ ﺣﺎﻣﺪﺍ ﻣﺼﻠﻴﺎ ﻣﺴﻠﻤﺎ
Terjemahan kalimat yang telah
digaris bawahi di atas, di dalam
Kitab I'anatut Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan orang,
yaitu berkumpul di rumah keluarga
mayit dan dihidangkannya makanan
untuk itu, adalah termasuk Bid'ah
Mungkar, yang bagi orang (ulil
amri) yang melarangnya akan
diberi pahala.
2. Dan apa yang telah menjadi
kebiasaan, ahli mayit membuat
makanan untuk orang-orang yang
diundang datang padanya, adalah
Bid'ah yang dibenci.
3. Dan tidak diragukan lagi bahwa
melarang orang-orang untuk
melakukan Bid'ah Mungkarah itu
(Haulan/Tahlilan : red) adalah
menghidupkan Sunnah, mematikan
Bid'ah, membuka banyak pintu
kebaikan, dan menutup banyak
pintu keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu
memakan makanan keluarga mayit,
karena telah disyari'atkan tentang
keburukannya, dan perkara itu
adalah Bid'ah. Telah diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah
dengan sanad yang Shahih, dari
Jarir ibnu Abdullah, berkata :
"Kami menganggap berkumpulnya
manusia di rumah keluarga mayit
dan dihidangkan makanan , adalah
termasuk Niyahah"
5. Dan dibenci menyelenggarakan
makanan pada hari pertama,
ketiga, dan sesudah seminggu dst.
Hasil scan halaman kitab I'anatut
Thalibin Juz 2 hal. 165 -166
Muhammadiyah, PERSIS dan Al
Irsyad, sepakat mengatakan bahwa
Tahlilan (Selamatan Kematian)
adalah perkara bid'ah, dan harus
ditinggalkan
Dari Thalhah: "Sahabat Jarir
mendatangi sahabat Umar, Umar
berkata: Apakah kamu sekalian suka
meratapi mayat? Jarir menjawab:
Tidak, Umar berkata: Apakah di
antara wanita-wanita kalian semua
suka berkumpul di rumah keluarga
mayit dan memakan hidangannya?
Jarir menjawab: Ya, Umar berkata:
Hal itu sama dengan meratap". (al-
Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad:
Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal
487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari
Khaban al-Bukhtary, kemudian
dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq:
"Merupakan perbuatan orang-orang
jahiliyyah niyahah , hidangan dari
keluarga mayit, dan menginapnya
para wanita di rumah keluarga
mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-
Shan'any (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1403) juz III, hal 550.
dikeluarkan pula oleh Ibn Abi
Syaibah dengan lafazh berbeda
melalui sanad Fudhalah bin Hashien,
Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier)
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah
berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa
dari Tsabit dari Qais, beliau berkata:
saya melihat Umar bin Abdul Aziz
melarang keluarga mayit
mengadakan perkumpulan, kemudian
berkata: kalian akan mendapat
bencana dan akan merugi".
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah
berbicara kepada kami, Waki' bin
Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin
Khabab al Bukhtary, beliau berkata:
Makanan yang dihidangkan keluarga
mayat adalah merupakan bagian dari
perbuatan Jahiliyah dan meratap
merupakan bagian dari perbuatan
jahiliyah".
Syekh
Nawawi al-
Bantani,
Syekh
Arsyad al-
Banjary
dan Syekh
Nuruddin
ar- Raniry
yang
merupakan
peletak
dasar-dasar pesantren di Indonesia
pun masih berpegang kuat dalam
menganggap buruknya selamatan
kematian itu. “Shadaqah untuk
mayit, apabila sesuai dengan
tuntunan syara' adalah dianjurkan,
namun tidak boleh dikaitkan dengan
hari ke tujuh atau hari- hari lainnya,
sementara menurut Syaikh Yusuf,
telah berjalan kebiasaan di antara
orang-orang yang melakukan
shadaqah untuk mayit dengan
dikaitkan terhadap hari ketiga dari
kematiannya, atau hari ke tujuh,
atau keduapuluh, atau
keempatpuluh, atau keseratus dan
sesudahnya hingga dibiasakan tiap
tahun dari kematiannya, padahal hal
tersebut hukumnya makruh.
Demikian pula makruh hukumnya
menghidangkan makanan yang
ditujukan bagi orang-orang yang
berkumpul pada malam penguburan
mayit (biasa disebut al-wahsyah),
bahkan haram hukumhukumnya
biayanya berasal dari harta anak
yatim”. (an-Nawawy al-Bantani,
Nihayah al-Zein fi Irsyad al-
Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal
281).
Pernyataan senada juga diungkapkan
Muhammad Arsyad al-Banjary
dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut:
Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta
Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-
Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II,
hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz
yang diterbitkan oleh NU pada
tahun 30-an , menyitir pernyataan
Imam al-Khara'ithy yang dilansir oleh
kitab al-Aqrimany disebutkan: "al-
Khara'ithy mendapat keterangan dari
Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata:
'Penghidangan makanan oleh
keluarga mayit merupakan bagian
dari perbuatan orang-orang
jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh
masyarakat sekarang sudah dianggap
sunnah, dan meninggalkannya
berarti bid'ah, maka telah terbalik
suatu urusan dan telah berubah
suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany
dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong
Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th.
1933, No. 18, hal.286).
Scan Kitab Kuning Sabilal Muhtadin
(versi Arab Melayu) ditulis oleh
Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari
(bemazhab Syafi'i) . Pada halaman
87 juz 2 , beliau mengatakan :
Makruh lagi bid'ah bagi yang
kematian memperbuat makanan yang
diserukannya sekalian manusia atas
memakannya, sebelum dan sesudah
kematian seperti yang sudah
menjadi kebiasaan di masyarakat
Scan halaman Kitab yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al
Banjari, seorang ulama besar dari
Kalimantan Selatan yang bermazhab
Syafi'i. Beliau mengatakan :
"Makruh lagi bid'ah bagi yang
kematian membikin makanan untuk
dimakan oleh orang banyak baik
sebelum maupun sesudah mengubur
seperti kebiasaan dikerjakan oleh
masyarakat".
Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku
Jilid 2, Bab Jenazah.
Al Mawa'idz merupakan sebuah
nama bagi majalah yang dikelola
oleh organisasi Nahdatul Ulama
Tasikmalaya, terbit sekitar pada
tahun 30-an. Di dalam majalah ini,
pihak NU (yang biasa dikenal
sebagai pendukung acara prevalensi
perjamuan tahlilan) menyatakan
sikap yang sebenarnya terhadap
kedudukan hukum prevalensi
tersebut. Berikut kutipannya :
Tjindekna ngadamel rioengan di
noe kapapatenan teh, ngalanggar
tiloe perkara :
1. Ngabeuratkeun ka ahli majit;
enja ari teu menta tea mah,
orokaja da ari geus djadi adat mah
sok era oepama henteu teh . Geura
oepama henteu sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit;
keur mah loba kasoesah koe
katinggal maot oge, hajoh
ditambahan.
3. Njoelajaan Hadits, koe hadits
mah ahli majit noe koedoe di bere
koe oerang, ieu mah hajoh oerang
noe dibere koe ahli majit.
Kesimpulannya mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayat
yang sedang berduka cita, berarti
telah melanggar tiga hal :
1. Membebani keluarga mayat,
walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi kebiasaan,
maka keluarga mayat akan menjadi
malu apabila tidak menyuguhkan
makanan. Tetapi coba kalau semua
orang tidak melakukan hal serupa
itu ?
2. Merepotkan keluarga mayat,
sudah kehilangan anggota keluarga
yang dicintai, ditambah pula
bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits.
Menurut hadits justru kita tetangga
yang harus mengirimkan makanan
kepada keluarga mayat yang sedang
berduka cita, bukan sebaliknya.
Kemudian ditempat lain :
Tah koe katerangan Sajjid Bakri
dina ieu kitab I'anah geuning geus
ittifaq oelama-oelama madhab noe
4 kana paadatan ittiehadz tho'am
(ngayakeun kadaharan) ti ahli majit
noe diseboetkeun njoesoer tanah,
tiloena, toejoehna dj.s.t.
njeboetkeun bid'ah moenkaroh.
Nah, berdasarkan keterangan Sayid
Bakr di dalam kitab I'anah tersebut,
ternyata para ulama dari 4 mazhab
telah menyepakati bahwa kebiasaan
keluarga mayit mengadakan
perjamuan yang biasa disebut
dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna
(hari ketiganya), tujuhnya (hari
ketujuhnya), dst, merupakan
perbuatan bid'ah yang tidak disukai
agama.
Selanjutnya :
Koeninga koe ieu toekilan-toekilan
noe ngahoekoeman bid'ah
moenkaroh, karohah haram teh
geuning oelama-oelama ahli
soennah wal Djama'ah, lain bae
Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz.
Doeka anoe ngahoekoeman soennat
naha ahli Soennah wal Djama'ah
atawa sanes ?
Melalui kutipan-kutipan tersebut,
diketahui bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid'ah mungkarah itu
ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah
wal Jama'ah, bukan hanya majalah
Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz.
Tidak tahu siapa yang menghukumi
sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal
Jama'ah atau bukan ?
Berdasarkan kutipan-kutipan
tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa warga Nu pada waktu itu
sepakat pandangannya terhadap
hukum prevalensi perjamuan
tahlilan, yaitu bid'ah yang
dimakruhkan dengan makruh tahrim,
(menjadi haram karena sebab lain)
apabila biaya penyelenggaraan acara
tersebut berasal dari tirkah mayit
(peninggalan mayit) yang di
dalamnya terdapat ahli waris yang
belum baligh atau mahjur 'alaihi ( di
bawah pengampuan/curatel).
Demikian isi majalah tersebut. [Al
Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel
Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya:
Nahdlatoel Oelama, 1933)]
Dan para ulama berkata: "Tidak
pantas orang Islam mengikuti
kebiasaan orang Kafir, oleh karena
itu setiap orang seharusnya
melarang keluarganya dari
menghadiri acara semacam itu". (al-
Aqrimany hal 315 dalam al-
Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel
Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu
Bakr al-Dimyati dalam kitabnya
I'anah at- Thalibien menghukumi
makruh berkumpul bersama di
tempat keluarga mayat, walaupun
hanya sebatas untuk
berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan
dengan proses perjamuan tahlilan.
Beliau justru menganjurkan untuk
segera meninggalkan keluarga
tersebut, setelah selesai
menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid al-
Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-
Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414)
juz II, hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab
pertanyaan tentang hukum dari al-
Ma'tam: "Tidak diterima keterangan
mengenai perbuatan tersebut
apakah itu hadits shahih dari Nabi,
tidak pula dari sahabat-sahabatnya,
dan tidak ada seorangpun dari
imam-imam muslimin serta dari
imam madzhab yang empat (Imam
Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi'i,
Imam Ahmad) juga dari imam-imam
yang lainnya, demikian pula tidak
terdapat keterangan dari ahli kitab
yang dapat dipakai pegangan, tidak
pula dari Nabi, sahabat, tabi'ien,
baik shahih maupun dlaif, serta
tidak terdapat baik dalam kitab-
kitab shahih, sunan-sunan ataupun
musnad-musnad, serta tidak
diketahui pula satupun dalam
hadits-hadits dari zaman nabi dan
sahabat.
" Menurut pendapat Mufty Makkah
al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy
Dahlan yang dilansir dalam kitab
I'anah at-Thalibien : "Tidak
diragukan lagi bahwa mencegah
masyarakat dari perbuatan bid'ah
munkarah tersebut adalah
mengandung arti menghidupkan
sunnah dan mematikan bid'ah,
sekaligus berarti menbuka banyak
pintu kebaikan dan menutup
banyak pintu keburukan" . (al-Sayyid
al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah
at-Thalibien juz II, hal 166) Memang
seolah-olah terdapat banyak unsur
kebaikan dalam tahlilan itu, namun
bila dikembalikan ke dalam hukum
agama dimana Hadits ke-5 Arba’in
an- Nawawiyah disebutkan: “Dari
Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah,
‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata
bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan
sesuatu dalam urusan agama kami
ini yang bukan dari kami, maka dia
tertolak". (Bukhari no. 2697, Muslim
no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
instrumen untuk menjaga kemurnian
Islam ini meskipun sampai akhir
zaman Allah tidak mengutus Rasul
lagi. Dibalik larangan bid’ah
terkandung hikmah yang sangat
besar, membentengi perubahan-
perubahan dalam agama akibat arus
pemikiran dan adat istiadat dari luar
Islam. Bila pada umat-umat
terdahulu telah menyeleweng
agamanya, Allah mengutus Rasul
baru, maka pada umat Muhammad
ini Allah tidak akan mengutus Rasul
lagi sampai kiamat, namun
membangkitkan orang yang
memperbarui agamanya seiring
penyelewengan yang terjadi. Ibadah
yang disunnahkan dibandingkan
dengan yang diada-adakan
hakikatnya sangat berbeda, bagaikan
uang/ijazah asli dengan uang/ijazah
palsu, meskipun keduanya tampak
sejenis. Yang membedakan 72
golongan ahli neraka dengan 1
golongan ahli surga adalah sunnah
dan bid’ah. Umat ini tidak
berpecahbelah sehebat perpecahan
yang diakibatkan oleh bid’ah.
Perpecahan umat akibat perjudian,
pencurian, pornografi, dan
kemaksiatan lain akan menjadi jelas
siapa yang berada di pihak Islam
dan sebaliknya. Sedang perpecahan
akibat bid’ah senantiasa lebih rumit,
kedua belah pihak yang bertikai
kelihatannya sama-sama alim. Ibn
Abbas r.a berkata: "Tidak akan
datang suatu zaman kepada
manusia, kecuali pada zaman itu
semua orang mematikan sunnah dan
menghidupkan bid'ah, hingga
matilah sunnah dan hiduplah
bid'ah. tidak akan ada orang yang
berusaha mengamalkan sunnah dan
mengingkari bid'ah, kecuali orang
tersebut diberi kemudahan oleh
Allah di dalam menghadapi segala
kecaman manusia yang diakibatkan
karena perbuatannya yang tidak
sesuai dengan keinginan mereka
serta karena ia berusaha melarang
mereka melakukan apa yang sudah
dibiasakan oleh mereka, dan
barangsiapa yang melakukan hal
tersebut, maka Allah akan
membalasnya dengan berlipat
kebaikan di alam Akhirat".(al-
Aqriman y hal 315 dalam al-
Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel
'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286)
Sekali lagi kami ulangi...
Sehingga disimpulkan oleh Majalah
al-Mawa'idz bahwa mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayit
berarti telah melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit,
walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi kebiasaan,
maka keluarga mayit akan menjadi
malu apabila tidak menyuguhkan
makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah
kehilangan anggota keluarga yang
dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits.
Menurut hadits, justeru kita
(tetangga) yang harus mengirimkan
makanan kepada keluarga mayit
yang sedang berduka cita, bukan
sebaliknya. (al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan
Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah,
ternyata para ulama dari empat
madzhab telah menyepakati bahwa
kebiasaan keluarga mayit
mengadakan perjamuan yang biasa
disebut dengan istilah nyusur tanah,
tiluna, tujuhna, dst merupakan
perbuatan bid'ah yang tidak disukai
agama (hal 285). Melalui kutipan-
kutipan tersebut, diketahuilah
bahwa sebenarnya yang menghukumi
bid'ah munkarah itu ternyata ulama-
ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah,
bukan hanya (majalah) Attobib, al-
moemin, al-Mawa'idz. tidak tau
siapa yang menghukumi sunat,
apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah
atau bukan (hal 286). Dan dapat
dipahami dari dalil-dalil terdahulu,
bahwa hukum dari menghidangkan
makanan oleh keluarga mayit adalah
bid'ah yang dimakruhkan dengan
makruh tahrim (makruh yang identik
dengan haram). demikian
dikarenakan hukum dari niyahah
adalah haram, dan apa yang
dihubungkan dengan haram, maka
hukumnya adalah haram". (al-
Aqrimany hal 315 dalam al-
Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel
'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas
dari kesalahan, termasuk kesalahan
akibat ketidaktahuan,
ketidaksengajaan, maupun
ketidakmampuan. Namun jangan
sampai kesalahan yang kita lakukan
menjadi sebuah kebanggaan. Baik
yang menghukumi haram maupun
makruh, sebagaimana halnya rokok,
tahlilan, dll selayaknya diusahakan
untuk ditinggalkan, bukan dibela-
bela dan dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA
DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI
SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh
keluarga mayit, karena hidangan
hanya pantas disajikan dalam
momen bahagia, bukan dalam
momen musibah, hukumnya buruk
apabila hal tersebut dilaksanakan.
Imam Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan hadits dengan sanad
yang shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah, beliau berkata: "Kami
(para sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit,
serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah". Dan dalam kitab al-
Bazaziyah dinyatakan bahwa
makanan yang dihidangkan pada
hari pertama, ketiga, serta seminggu
setelah kematian makruh hukumnya.
(Muhammad Amin, Hasyiyah Radd
al- Muhtar 'ala al-Dar al-Muhtar
(Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal
240)
AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit
hukumnya makruh, dikatakan dalam
kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan
makanan yang disajikan P ADA HARI
PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU
SETELAH KEMATIAN MAKRUH
HUKUMNYA. (Ahmad bin Ismain al-
Thahthawy, Hasyiyah 'ala Muraqy al-
Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-
Halaby, 1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh
keluarga mayit, karena hidangan
hanya pantas disajikan dalam
momen bahagia, bukan dalam
momen musibah. hukumnya bid'ah
yang buruk apabila hal tersebut
dilaksanakan. Imam Ahmad dan
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah
hadits dengan sanad yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah,
beliau berkata: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka
merupakan bagian dari niyahah".
(Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh
Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz
II, hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah
keluarga mayit yang menghidangkan
makanan hukumnya bid'ah yang
dimakruhkan. (Muhammad al-
Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala al-
Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr)
juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRIBY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut dimakruhkan oleh
mayoritas ulama, bahkan mereka
menganggap perbuatan tersebut
sebagai bagian dari bid'ah , karena
tidak didapatkannya keterangan
naqly mengenai perbuatan tersebut,
dan momen tersebut tidak pantas
untuk dijadikan walimah (pesta)...
adapun apabila keluarga mayit
menyembelih binatang di rumahnya
kemudian dibagikan kepada orang-
orang fakir sebagai shadaqah untuk
mayit diperbolehkan selama hal
tersebut tidak menjadikannya riya,
ingin terkenal, bangga, serta dengan
syarat tidak boleh mengumpulkan
masyarakat. (Abu Abdullah al-
Maghriby, Mawahib al-Jalil li Syarh
Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-
Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid'ah
yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny,
Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-
Fikr) juz I, hal 386) Adapun
kebiasaan keluarga mayit
menghidangkan makanan dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid'ah
yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny,
al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-
Fikr, 1415) juz I, hal 210)
AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata:
sesuai dengan apa yang dinyatakan
di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy),
sesuatu yang merupakan bagian dari
perbuatan bid'ah munkarah yang
tidak disukai mengerjakannya
adalah yang biasa dilakukan oleh
masyarakat berupa menghidangkan
makanan untuk mengumpulkan
tetangga, baik sebelum maupun
sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby,
Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia:
Maktabah Dar Ihya;') juz I, hal 353)
AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit berikut
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut tidak ada dalil
naqlinya, dan hal tersebut
merupakan perbuatan bid'ah yang
tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-
Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz
V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY
Dan sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dari pada penghidangan
makanan oleh keluarga mayit,
dengan tujuan untuk mengundang
masyarakat, hukumnya bid'ah
munkarah yang dimakruhkan,
berdasarkan keterangan yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn
Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj
(Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR
AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dari pada penghidangan
makanan oleh keluarga mayit,
dengan tujuan untuk mengundang
masyarakat, hukumnya bid'ah yang
dimakruhkan, seperti hukum
mendatangi undangan tersebut,
berdasarkan keterangan yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-
Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati,
I'anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-
Fikr) juz II, hal 146)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan
oleh keluarga mayit pada hari ketiga,
keempat, dan sebagainya, berikut
berkumpulnya masyarakat dengan
tujuan sebagai pendekatan diri serta
persembahan kasih sayang kepada
mayit, hukumnya bid'ah yang buruk
dan merupakan bagian dari
perbuatan jahiliyah yang tidak
pernah muncul pada abad pertama
Islam, serta bukan merupakan
bagian dari pekerjaan yang
mendapat pujian oleh para ulama.
justeru para ulama berkata: tidak
pantas bagi orang muslim mengikuti
perbuatan-perbuatan yang biasa
dilakukan oleh orang kafir.
seharusnya setiap orang melarang
keluarganya menghadiri acara-acara
tersebut. ((al-Aqrimany hal 314
dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong
Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th.
1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
pengumpulan masyarakat terhadap
acara tersebut, tidak ada dalil
naqlinya, bahkan perbuatan tersebut
hukumnya bid'ah yang tidak
disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien
(Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405)
juz II, hal 145)
IV. MADZHAB HAMBALI
IBN QUDAMAH AL-MAQDISY
Adapun penghidangan makanan
untuk orang-orang yang dilakukan
oleh keluarga mayit, hukumnya
makruh. karena dengan demikian
berarti telah menambahkan musibah
kepada keluarga mayit, serta
menambah beban, sekaligus berarti
telah menyerupai apa yang biasa
dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
dan diriwayatkan bahwa Jarir
mengunjungi Umar, kemudian Umar
berkata: "Apakah kalian suka
berkumpul bersama keluarga mayat
yang kemudian menghidangkan
makanan?" Jawab Jarir: "Ya". Berkata
Umar: "Hal tersebut termasuk
meratapi mayat" . Namun apabila
hal tersebut dibutuhkan, maka
diperbolehkan, seperti karena
diantara pelayat terdapat orang-
orang yang jauh tempatnya
kemudian ikut menginap, sementara
tidak memungkinkan mendapat
makanan kecuali dari hidangan yang
diberikan dari keluarga mayit. (Ibn
Qudamah al-Maqdisy, al-Mughny
(Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal
214)
ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-
MAQDISY
Sesungguhnya disunahkan
mengirimkan makanan apabila
tujuannya untuk (menyantuni)
keluarga mayit, tetapi apabila
makanan tersebut ditujukan bagi
orang-orang yang sedang berkumpul
di sana, maka hukumnya makruh,
karena berarti telah membantu
terhadap perbuatan makruh;
demikian pula makruh hukumnya
apabila makanan tersebut
dihidangkan oleh keluarga mayit)
kecuali apabila ada hajat, tambah
sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama
lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah
al-Maqdisy, al-Furu' wa Tashhih al-
Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz
II, hal 230-231)
ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-
HANBALY
Menghidangkan makanan setelah
proses penguburan merupakan
bagian dari niyahah, menurut
sebagian pendapat haram, kecuali
apabila ada hajat, (tambahan dari
al-Mughny). Sanad hadits tentang
masalah tersebut tsiqat (terpercaya).
(Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly,
al-Mabda' fi Syarh al-Miqna' (Beirut:
al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal
283)
MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan dimakruh kan bagi keluarga
mayit untuk menghidangkan
makanan kepada para tamu,
berdasarkan keterangan riwayat
Imam Ahmad dari Shahabat Jarir.
(Manshur bin Idris al-Bahuty, al-
Raudl al-Marbi' (Riyadl: Maktabah al-
Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal
355)
KASYF AL-QANA'
Menurut pendapat Imam Ahmad
yang disitir oleh al-Marwadzi,
perbuatan keluarga mayit yang
menghidangkan makanan merupakan
kebiasaan orang jahiliyah, dan
beliau sangat mengingkarinya...dan
dimakruhkan keluarga mayit
menghidangkan makanan (bagi
orang-orang yang sedang berkumpul
di rumahnya kecuali apabila ada
hajat, seperti karena di antara para
tamu tersebut terdapat orang-orang
yang tempat tinggalnya jauh, mereka
menginap di tempat keluarga mayit,
serta secara adat tidak
memungkinkan kecuali orang
tersebut diberi makan), demikian
pula dimakruhkan mencicipi
makanan tersebut. Apabila biaya
hidangan makanan tersebut berasal
dari peninggalan mayit, sedang di
antara ahli warisnya terdapat orang
(lemah) yang berada di bawah
pengampuan, atau terdapat ahli
waris yang tidak memberi izin, maka
haram hukumnya melakukan
penghidangan tersebut. (Kasyf al-
Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz
II, hal 149)
IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan
yang dilakukan keluarga mayit
(dengan tujuan) mengundang
manusia ke acara tersebut, maka
sesungguhnya perbuatan tersebut
bid'ah , berdasarkan perkataan Jarir
bin Abdillah: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka
merupakan bagian dari niyahah".
(Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa
Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh
(Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal
316)
Akhirnya, semoga tulisan ini
bermanfaat, bila ada kesalahan
mohon maaf dan koreksinya.
Sampaikanlah kepada saudara-
saudara kita sebagai upaya untuk
memperbaiki umat Islam ini
Di rujuk kepada tulisan:
Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an.
Dengan editing dan penambahan
literatur dan gambar halaman buku
yang discan oleh Anwar Baru
Belajar.
http://www.facebook.com/note.php?
note_id=40226996965
0&id=203164362857&ref=mf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar