Kamis, 23 Juli 2015

Orqng mukmin yang berdosa yang masuk ke neraka akan keluar dengan syafaat.

ORANG MUKMIN YANG
BERDOSA YANG MASUK KE
DALAM NERAKA AKAN
KELUAR DENGAN SYAFAAT
Inkar sunnah berkeyakinan
bahwa orang mukmin yang
berdosa yang sudah masuk ke
dalam neraka tidak akan
pernah bisa keluar dari neraka
dengan syafaat. Mereka
berdalil dengan ayat-ayat Al-
Qur’an berikut:
Setiap kali mereka hendak
keluar dari neraka, mereka
dikembalikan ke dalamnya
dan dikatakan kepada mereka:
"Rasakanlah siksa neraka yang
dahulu kamu
mendustakannya." (QS. As-
Sajdah: 20)
“Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada
mereka amal perbuatannya
menjadi sesalan bagi mereka;
dan sekali-kali mereka tidak
akan keluar dari api
neraka.” (QS. Al-Baqarah: 167)
“Mereka ingin keluar dari
neraka, padahal mereka sekali-
kali tidak dapat keluar
daripadanya, dan mereka
memperoleh adzab yang
kekal.” (QS. Al-Maidah: 37)
“Maka tidak berguna lagi bagi
mereka syafa'at dari orang-
orang yang memberikan
syafa'at.” (QS. Al-Muddatstsir:
48)
Mereka yang berpegang pada
zhahir ayat-ayat ini saja maka
akan menolak hadits-hadits
tentang dikeluarkannya orang
mukmin dari neraka dengan
syafaat walaupun derajat
hadits tersebut mutawatir.
Berikut beberapa hadits
tentang dikeluarkannya orang
mukmin dari neraka:
a. Dibawakan oleh Hammad
bin Zaid, ia berkata: Aku
bertanya kepada Amr bin
Dinar: “Apakah engkau
mendengar Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu
membawakan hadits dari
Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam, bahwa
beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah
mengeluarkan sekelompok
orang dari neraka dengan
syafaat?” Amr bin Dinar
menjawab: “Ya.” (HR.
Bukhari dalam Kitab Ar
Riqaq Bab Shifatil Jannah
wan Naar no. 6558 Fathul
Bari XI/416 dan Muslim
Kitab Al Iman Bab Adna
Ahlil Jannah Manzilatan
Fiha III/49 no. 470 Syarh
Nawawi)
b. Dari Imran bin Hushain
dari Nabi shollallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda:
“Akan keluar sekelompok
orang dari neraka karena
syafaat Muhammad
shollallahu ‘alaihi wasallam
(dalam suatu lafazh yang
lain: “Karena syafaatku”).
Lalu mereka masuk ke
dalam surga. Mereka
dinamakan
Jahannamiyyun.” (HR. Abu
Dawud dalam Shahih Abu
Dawud Kitab As-Sunnah
Bab fii Asy-Syafaah hadits
no. 4740 dan Ibnu Majah
dalam Shahih Ibnu Majah
Kitab Az Zuhd Bab Dzikri
Asy Syafaah hadits no.
3501)
c. Dari Abu Sa’id Al Khudri
bahwa Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Kemudian Allah
“Azza wa Jalla berfirman:
‘Para malaikat telah
memberikan syafaat, para
nabi juga sudah
memberikan syafaat, dan
kaum mu’mininpun sudah
memberikan syafaat. Maka
tidak ada lagi yang lain,
kecuali Allah –Arhamur
Rahimin. Maka Allah
mengambil sekelompok
orang dengan satu
genggaman-Nya dari
neraka. Lalu Dia
mengeluarkan dari neraka
sekelompok orang yang
tidak pernah berbuat
kebaikan sama sekali.” (HR.
Bukhari dalam Fathul Bari
XIII/421 hadits no. 7439
Kitab At Tauhid Bab 24 dan
Muslim dalam Shahih
Muslim Syarh Nawawi
III/32 hadits no. 453)
Imam Bukhari dalam Kitab At
Tafsir, Kitab Ar Riqaq, Kitab At
Tauhid, dll banyak mengangkat
hadits-hadits tentang akan
keluarnya orang mu’min dari
neraka bila memasukinya,
dalam banyak bab, dari banyak
sahabat Nabi. Begitu juga
Imam Muslim dalam Kitab Al
Iman, serta imam-imam lainnya
seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi,
dan Ibnu Majah.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Fathul Bari membawakan
riwayat dari Ubaid bin Umair,
yang artinya: Ada seseorang
yang bernama Harun Abu
Musa, ia tertuduh memiliki
pemikiran Khawarij, bertanya
kepada Ubaid bin Umair:
“Wahai Abu Ashim (kun-yah
Ubaid bin Umair), hadits
bernilai apa yang engkau
bawakan itu?” Ubaid bin Umair
menjawab: ”Menyingkirlah
engkau dariku. Kalaulah aku
tidak mendengar dari 30 (tiga
puluh) orang sahabat Nabi
Muhammad tentang itu, tentu
aku tidak akan
meriwayatkannya.” (Fathul Bari
Syarh Shahih Al Bukhari
XI/425-426)
Para sahabat Nabi yang
membawakan hadits-hadits itu
di antaranya ialah Anas bin
Malik, Jabir bin Abdillah, Abu
Hurairah, Abu Sa’id al Khudri,
Abu Dzar, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Abi al
Jad’a, dan lain-lain.
Imam Nawawi ketika
mensyarah/menjelaskan Kitab
Shahih Muslim menukil
perkataan Al Qadhi Iyadh
sebagai berikut:
“Sesungguhnya, telah datang
atsar-atsar yang secara
keseluruhan mencapai batas
mutawatir tentang adanya
syafaat di akhirat bagi orang-
orang mukmin yang berdosa.
Ulama terdahulu maupun
kemudian, serta ulama
sesudahnya dari kalangan Ahlu
Sunnah telah bersepakat akan
adanya syafaat ini. Akan tetapi
kaum Khawarij dan sebagian
Mu’tazilah mengingkarinya.
Mereka menggantungkan
(pengingkaran ini) pada
mazhab mereka, bahwa orang-
orang berdosa akan kekal di
neraka. Mereka berhujjah
dengan firman Allah Ta’ala:
“Maka tidak berguna lagi bagi
mereka syafa'at dari orang-
orang yang memberikan
syafa'at.” (QS. Al-Muddatstsir:
48)
Juga firman Allah:
“Orang-orang yang zhalim
tidak mempunyai teman setia
seorangpun dan tidak (pula)
mempunyai seorang pemberi
syafa'at yang diterima
syafa'atnya.” (QS. Ghafir/Al
Mu’min: 18)
Padahal ayat-ayat ini berkaitan
dengan ORANG KAFIR . Adapun
takwil-takwil mereka (kaum
Khawarij dan Mu’tazilah)
bahwa yang dimaksudkan
dengan syafaat ialah yang
berkenaan dengan peningkatan
derajat (ahli surga), merupakan
takwil batil. Sebab hadits-
hadits dalam Kitab tersebut
juga pada kitab-kitab lain jelas-
jelas menunjukkan batalnya
mazhab mereka, dan jelas-jelas
menunjukkan akan
dikeluarkannya orang (mukmin)
yang berhak masuk neraka
(dari neraka).” (Shahih Muslim
Syarh Imam Nawawi Kitab Al
Iman Bab Itsbat Asy Syafaah
wa Ikhraj Al Muwahhidin min
An Naar III/35)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
mengatakan: “Nabi kita
Muhammad akan memberikan
syafaat kepada para pelaku
dosa besar yang telah masuk
neraka agar mereka bisa keluar
setelah mereka terbakar dan
menjadi arang, kemudian
masuk ke dalam surga. Dan
para nabi, orang-orang yang
beriman serta malaikat akan
memberikan syafaat (dengan
seizin Allah). Allah berfirman:
“Dan mereka tidak akan
sanggup memberikan syafaat
melainkan untuk orang yang
Allah ridhai, dan mereka selalu
berhati-hati karena takut
kepada Allah.” (QS. Al-Anbiya`:
28) Adapun ORANG-ORANG
KAFIR, tidak akan bisa
merasakan syafaat orang yang
memberi syafaat.” (Syarah
Lum’atil I’tiqad, hal. 128)
Allah berfirman: “Orang-orang
yang dzalim tidak memiliki
teman setia seorangpun dan
tidak (pula) mempunyai
seorang pemberi syafaat yang
diterima syafaatnya.” (QS.
Ghafir/Al Mu’min: 18)
Yang dimaksud dengan orang
dzalim di sini adalah orang
kafir, dengan dalil hadits
mutawatir tentang adanya
syafaat bagi pelaku dosa besar.
Al-Baihaqi menjelaskan:
“Orang-orang dzalim yang
dimaksud di sini adalah
ORANG-ORANG KAFIR . Dan
hal ini dikuatkan oleh awal ayat
yang menjelaskan tentang
orang kafir.” (Syu’abul Iman
1/205)
Berikut awal ayat
tersebut:
“Dan demikianlah telah pasti
berlaku ketetapan adzab
Tuhanmu terhadap orang-
orang kafir , karena
sesungguhnya mereka adalah
penghuni neraka.” (QS. Ghafir/
Al Mu’min: 6)
“Yang demikian itu adalah
karena kamu kafir apabila
Allah saja disembah. Dan kamu
percaya apabila Allah
dipersekutukan.” (QS. Ghafir/Al
Mu’min: 12)
Adapun dalam Al Qur’an
sendiri sebenarnya juga banyak
dalil tentang adanya syafaat
dengan syarat setelah
mendapat izin dari Allah dan
kepada orang yang diridhai
oleh Allah.
“Tiada seorangpun yang akan
memberi syafa'at kecuali
sesudah ada IZIN -Nya.” (QS.
Yunus : 3)
“Pada hari itu tidak berguna
syafa'at, kecuali (syafa'at)
orang yang Allah Maha
Pemurah telah memberi IZIN
kepadanya, dan Dia telah
meridhai perkataannya.” (QS.
Thaha : 109)
“…Dan mereka tiada memberi
syafaat melainkan kepada
orang yang diridhai
Allah…” (QS. Al-Anbiya’ : 28)
“Dan berapa banyaknya
malaikat di langit, syafaat
mereka sedikitpun tidak
berguna, kecuali sesudah Allah
MENGIZINKAN bagi orang
yang dikehendaki dan diridhai
(Nya).” (QS. An-Najm : 26)
“Dan sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain
Allah tidak dapat memberi
syafa'at, kecuali (orang yang
dapat memberi syafa'at ialah)
orang yang mengakui yang hak
(tauhid) dan mereka meyakini
(nya).” (QS. Az-Zukhruf : 86)
Sahabat Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Orang yang Allah ridhai
perkataannya, yaitu orang yang
mengucapkan Laa ilaaha
illallaah. Dengan kata lain,
Allah tidak akan memberikan
syafaat kepada SELAIN
MUKMIN.” (Tafsir Al Baghawi
III/195 Cet. Daar Al Kutub Al
Ilmiyyah)
Hal ini sesuai dengan hadits
Nabi berikut ini.
Abu Hurairah bertanya: “Ya,
Rasulullah. Siapakah orang
yang paling bahagia dengan
syafaatmu pada hari kiamat?”
Rasulullah bersabda: “Sungguh
aku telah menyangka bahwa
tidak ada seseorang yang lebih
dahulu bertanya tentang ini
kecuali engkau karena
semangatmu dalam mencari
hadits.” Rasul bersabda:
“Orang yang paling bahagia
dengan syafaatku adalah orang
yang mengucapkan Laa ilaaha
illallaah dengan ikhlas dari
hatinya.” (HR. Bukhari no. 99)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan: "Ucapan beliau:
‘Orang yg mengucapkan La
ilaha illallah’ adalah untuk
mengecualikan orang yang
menyekutukan Allah; dan
ucapan beliau ‘dengan penuh
keikhlasan’ mengecualikan
orang-orang yang munafik
dalam mengucapkannya."
(Fathul Bari 1/236)
Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata: "Rasulullah
memberikan syafaat kepada
manusia pada hari kiamat,
yaitu dengan memberikan
ketenangan pada waktu mereka
dalam ketakutan. Rasul juga
memberikan syafaat dengan
memohon keringanan adzab
untuk sebagian orang-orang
kafir, sebagaimana yang terjadi
pada diri paman beliau Abu
Thalib. Rasul juga memberikan
syafaatnya dengan memohon
kepada Allah untuk
mengeluarkan sebagian orang
mukmin dari siksa api neraka
atau memohonkan mereka
untuk tidak dimasukkan ke
dalam api neraka setelah
ditetapkan bahwa mereka akan
masuk neraka. Rasul juga dapat
memberikan syafaat bagi
seseorang untuk masuk surga
tanpa melalui proses hisab
atau dengan mengangkat
derajat sebagian mereka untuk
bisa tinggal dalam surga yang
lebih tinggi. Demikianlah
nampak adanya dualisme
pengertian dari hadits ini
antara kebahagiaan dan
syafaat, dan orang yang paling
bahagia karena itu semua
adalah orang mukmin yang
benar-benar ikhlas." (Fathul
Bari syarah Shahih Bukhari)
Ayat-ayat Al Qur’an tentang
penolakan syafaat berlaku
untuk orang kafir, sedangkan
ayat-ayat Al Qur’an tentang
adanya syafaat berlaku untuk
orang mukmin. Orang kafir
masuk neraka kekal di
dalamnya tidak akan pernah
bisa keluar, sedangkan orang-
orang mukmin yang berdosa
besar jika masuk neraka maka
tidak kekal di dalamnya dan
akan keluar dengan syafaat.
Dari Anas bin Malik, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Maka mereka
datang kepadaku. Akupun
meminta IZIN kepada Rabb-
ku. Ketika aku melihat Rabb-
ku, maka aku menjatuhkan diri
bersujud kepadaNya. Allah
membiarkan aku sesuai dengan
apa yang dikehendaki-Nya.
Kemudian dikatakan kepadaku
(oleh Allah): “Angkat kepalamu!
Mintalah, niscaya engkau akan
diberi! Katakanlah, niscaya
perkataanmu akan didengar!
Berilah syafa’at, sesungguhnya
engkau diberi wewenang
memberi syafa’at. Maka aku
mengangkat kepalaku. Lalu aku
memuji-muji Rabb-ku dengan
pujian yang Dia ajarkan
kepadaku. Kemudian aku
memberi syafa’at. Namun Allah
memberi batasan kepadaku
dengan suatu batasan. Lalu
aku mengeluarkan mereka dari
neraka dan memasukkannya ke
dalam surga. Kemudian aku
kembali lagi kepada Allah, lalu
aku menjatuhkan diri bersujud
kepada-Nya seperti saat
pertama.(Demikian pula) pada
yang ketiga atau keempat
kalinya. Sehingga tidak ada lagi
yang tersisa di dalam neraka,
kecuali orang yang ditahan
oleh Al-Qur`an. “ Qotadah
menjelaskan maksud orang
yang ditahan oleh Al-Qur`an
di dalam Neraka: “Ialah orang
yang pasti kekal di dalamnya” .
(Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dalam Kitab ar Riqaq,
no. 6565, Fathul Bari (XI/417).
Juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim, Kitab al Iman, Bab
Hadits asy Syafa’ah (III/54-55),
Syarah Nawawi, tahqiq Khalil
Ma’mun Syiha)
Melalui jalan Abu Maslamah,
dari Abu Nadhrah, dari Abu
Sa’id al Khudri radhiyallahu
‘anhu yang mengatakan:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Adapun
ahli neraka yang menjadi
penghuni kekalnya, maka
mereka tidak mati di dalamnya
dan tidak hidup. Akan tetapi
orang-orang yang ditimpa oleh
siksa neraka karena dosa-
dosanya –atau Rasul bersabda,
karena kesalahan-
kesalahannya- maka Allah akan
mematikan mereka dengan
suatu kematian. Sehingga
apabila mereka telah menjadi
arang, Nabi DIIZINKAN untuk
memberikan syafa’at
(kepada mereka) . Lalu
mereka didatangkan
berkelompok-kelompok secara
terpisah-pisah, lalu dimasukkan
ke sungai-sungai di surga.
Selanjutnya dikatakan (oleh
Allah): “Wahai penghuni surga,
kucurkanlah air kehidupan
kepada mereka”. Maka
tumbuhlah mereka laksana
tumbuhnya benih-benih
tetumbuhan di larutan lumpur
yang dihempaskan arus air.”
Seseorang di antara sahabat
berkata: “Seakan-akan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam berada di padang
gembalaan di suatu
perkampungan.” (Dikeluarkan
oleh Imam Muslim dalam
Shahih-nya. Lihat Shahih
Muslim Syarh Nawawi, tahqiq
Khalil Ma’mun Syiha (III/37),
hadits no. 458, dan oleh Ibnu
Majah. Lihat Shahih Sunan
Ibnu Majah, Syaikh
Muhammad Nashiruddin al
Albani (III/402), hadits no.
3497 Kitab az Zuhd, Bab Dzikru
asy Syafa’ah, Maktabah al
Ma’arif, Riyadh. Cet. I, dari
penerbitan baru,
1417H/1997M)
Dari Abu Sa’id al Khudri
radhiyallahu ‘anhu, melalui
jalan riwayat lain, yaitu dari
‘Atha’ bin Yasar, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Demi Allah Yang
jiwaku ada di tangan-Nya.
Tidak ada seorangpun diantara
kamu yang lebih bersemangat
di dalam menyerukan
permohonannya kepada Allah
untuk mencari cahaya
kebenaran, dibandingkan
dengan kaum Mu’minin
ketika MEMOHONKAN
permohonannya kepada
Allah pada hari Kiamat untuk
(menolong) saudara-
saudaranya sesama kaum
Mu’minin yang berada di
dalam neraka. Mereka berkata:
“Wahai Rabb kami, mereka
dahulu berpuasa, shalat dan
berhaji bersama-sama kami”.
Maka dikatakan (oleh Allah)
kepada mereka: “Keluarkanlah
oleh kalian (dari neraka)
orang-orang yang kalian tahu!”
Maka bentuk-bentuk fisik
merekapun diharamkan bagi
neraka (untuk membakarnya).
Kemudian orang-orang Mu’min
ini mengeluarkan sejumlah
banyak orang yang dibakar
oleh neraka sampai pada
pertengahan betis dan
lututnya. Kemudian orang-
orang Mu’min ini berkata:
“Wahai Rabb kami, tidak ada
lagi di neraka seorangpun yang
engkau perintahkan untuk
mengeluarkannya”. Allah
berfirman: “Kembalilah! Siapa
saja yang kalian dapati di
dalam hatinya terdapat
kebaikan seberat satu dinar,
maka keluarkanlah (dari
neraka)!” Maka merekapun
mengeluarkan sejumlah banyak
orang dari neraka. Kemudian
mereka berkata lagi : “Wahai
Rabb kami, tidak ada lagi
seorangpun yang kami sisakan
dari orang yang Engkau
perintahkan untuk kami
mengeluarkannya”. Allah
berfirman: “Kembalilah! Siapa
saja yang kalian dapati di
dalam hatinya terdapat
kebaikan seberat setengah
dinar, maka keluarkanlah (dari
neraka)”. Merekapun
mengeluarkan sejumlah banyak
orang. Selanjutnya mereka
berkata lagi: “Wahai Rabb
kami, tidak ada seorangpun
yang Engkau perintahkan, kami
sisakan (tertinggal di neraka)”.
Allah berfirman: “Kembalilah!
Siapa saja yang kalian dapati di
dalam hatinya terdapat
kebaikan seberat biji dzarrah,
maka keluarkanlah (dari
neraka)”. Maka merekapun
mengeluarkan sejumlah banyak
orang. Kemudian mereka
berkata: “Wahai Rabb kami,
tidak lagi kami menyisakan di
dalamnya seorangpun yang
mempunyai kebaikan”.
Pada waktu itu Abu Sa’id al
Khudri mengatakan: “Apabila
kalian tidak mempercayai
hadits ini, maka jika kalian
suka, bacalah firman Allah
(yang artinya): “Sesungguhnya
Allah tidak menzhalimi
seseorang meskipun sebesar
dzarrah, dan jika ada kebajikan
sebesar dzarrah, niscaya Allah
akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya
pahala yang besar” . (QS. An-
Nisaa’ : 40) … al Hadits”. [HR.
Bukhari dan Muslim. Lihat
Fathul Bari (XIII/421), hadits
no. 7439, Kitab at Tauhid, Bab
24, dengan lafadz berbeda.
Dan lihat Shahih Muslim Syarh
Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun
Syiha (III/32), hadits no. 453.
Lafadz hadits di atas adalah
lafadz Imam Muslim]
Dalam hadits-hadits di atas
jelas sekali menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad saw
dan orang-orang mukmin
meminta izin terlebih dahulu
kepada Allah sebelum memberi
syafaat kepada para penghuni
neraka yang beriman/
bertauhid.
Imam Asy-Syafi’i berkata:
“Beliau (Rasulullah saw) adalah
manusia terbaik yang dipilih
Allah untuk menyampaikan
wahyu-Nya lagi terpilih sebagai
Rasul-Nya dan yang
diutamakan atas seluruh
makhluk dengan membuka
rahmat-Nya, penutup
kenabian, dan lebih
menyeluruh dari ajaran para
rasul sebelumnya. Beliau
ditinggikan namanya di dunia
dan menjadi pemberi syafa’at,
yang syafa’atnya dikabulkan di
akhirat.” (Ar-Risalah oleh Imam
Asy-Syafi’i 12-13, Manhaj Imam
Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah
oleh Dr. Muhammad bin Abdil-
Wahab al-’Aqil , 1/291)
Beliau juga menyatakan
tentang syarat diterimanya
syafa’at:
“Semalam saya mengambil
faidah (istimbath) dari dua
ayat yang membuat saya tidak
tertarik kepada dunia dan yang
sebelumnya. Firman Allah: “…
Dia bersemayam di atas ‘Arsy
(singgasana) untuk mengatur
segala urusan. Tiada seorang
pun yang akan memberi
syafa’at kecuali sesudah ada
izin-Nya….” (QS. Yunus: 3).
Dan dalam Kitabullah, hal ini
banyak: “Siapakah yang dapat
memberi syafaat di sisi Allah
tanpa izin-Nya?” (QS. Al-
Baqarah: 256) Syafa’at tertolak
kecuali dengan izin
Allah.” (Ahkamul Qur’an
2/180-181, Manhaj Imam Asy-
Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah,
1/291)
Imam Ahmad mengatakan:
“Beriman dengan syafaat Nabi
dan beriman dengan adanya
suatu kaum yang telah masuk
neraka dan telah terbakar serta
menjadi arang, kemudian
mereka diperintah menuju
sebuah sungai yang berada di
pintu surga –seperti disebutkan
dalam riwayat tentang hal ini–
dan (kita imani) bagaimana
dan kapan terjadinya.
Terhadap yang demikian kita
hanya beriman dan
mempercayai.” (Ushulus
Sunnah oleh Imam Ahmad hal.
32)
Abu Ja’far Ath-Thahawi
mengatakan: “Dan syafaat yang
dipersiapkan untuk mereka
kelak adalah haq (benar
adanya), sebagaimana
disebutkan di dalam hadits-
hadits.” (Al-’Aqidah Ath-
Thahawiyyah, masalah ke-41)
Abu Ja’far Ath-Thahawi
berkata: “Para pelaku dosa
besar di kalangan umat
Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam (bisa) masuk neraka,
namun mereka tak akan kekal
di dalamnya kalau mereka mati
dalam keadaan bertauhid.
Meskipun mereka belum
bertaubat namun mereka
menemui Allah (mati) dengan
menyadari dosa mereka.
Mereka diserahkan kepada
kehendak dan keputusan Allah.
Kalau Dia menghendaki, maka
mereka dapat diampuni dan
dimaafkan dosa-dosa mereka
dengan keutamaan-Nya,
sebagaimana yang difirmankan
Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan Dia
mengampuni dosa selain
(syirik) itu bagi siapa yang Dia
kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48,
116). Dan jikalau Dia
menghendaki, mereka diadzab-
Nya di neraka dengan keadilan-
Nya. Kemudian Allah akan
mengeluarkan mereka dari
dalamnya dengan rahmat-Nya
dan syafa’at orang yang berhak
memberi syafa’at di kalangan
hamba-Nya yang ta’at. Lalu
mereka pun diangkat ke surga -
Nya.” (Al-Aqidah Ath-
Thahawiyyah masalah ke-79)
Ibnu Abi Hatim Ar-Razi
berkata: “Syafaat adalah benar
(adanya). Dan bahwa sebagian
ahli tauhid keluar dari neraka
lantaran adanya syafaat, adalah
benar.” (Ushulus Sunnah Wa
I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim
masalah ke-13)
Imam Abu Muhammad al-
Barbahari berkata: “(Termasuk
landasan pokok Islam adalah
kewajiban) mengimani syafa’at
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bagi orang-orang
yang berbuat dosa dan salah
(dari kaum muslimin) pada hari
Kiamat, juga di atas ash-
shiraath (jembatan yang
dibentangkan di atas
permukaan neraka Jahannam),
dan (dengan syafa’at)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengeluarkan
mereka (dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala) dari
dalam neraka Jahannam.
Masing-masing Nabi memiliki
syafa’at, demikian pula para
shiddiq, orang-orang yang
mati syahid dan orang-orang
yang shaleh…” (Syarhus
Sunnah hal. 73)
Al-Qurthubi berkata: “Ayat
(yang mulia) ini menetapkan
bahwa Allah mengizinkan siapa
yang dikehendaki-Nya untuk
(memberikan) syafa’at, mereka
adalah para Nabi ‘alaihissalam,
para ulama, orang-orang yang
berjihad (di jalan-Nya), para
malaikat, dan orang-orang
selain mereka yang dimuliakan
dan diutamakan oleh Allah.
Kemudian mereka tidak bisa
memberikan syafa’at kecuali
kepada orang yang diridhai
Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan mereka tidak (bisa)
memberi syafa’at melainkan
kepada orang yang diridhai
Allah.” (QS. Al-Anbiyaa’: 28)
(Tafsir Al-Qurthubi 3/273)
Imam Al Ajurri (ahli hadits
abad ke-3 H) berkata:
“Ketahuilah oleh kalian,
semoga Allah SWT menyayangi
kalian, bahwa orang yang
mengingkari syafa’at adalah
mengklaim bahwa orang yang
masuk ke dalam neraka, maka
mereka tidak akan keluar dari
neraka tersebut. Ini adalah
pemahaman Mu’tazilah, yaitu
paham yang mendustakan
syafa’at dengan berbagai dalil,
yang akan saya sebutkan
berikut ini : Mereka
(Mu’tazilah) mengingkari
berbagai pokok dan fondasi
yang tertera dalam Kitabullah
dan Sunnah-Sunnah Rasulullah
saw, sunnahnya para shahabat
dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan
setia, bahkan mereka
mengingkari perkataan-
perkatan para fuqaha dari
kalangan kaum muslimin.
Orang Mu’tazilah menyelisihi
semua ini (Ahlus Sunnah) yang
diajarkan oleh Rasulullah saw.
Juga tidak memperhatikan
sunnahnya para shahabat.
Mereka menemui dan
menghadapkan ayat tentang
masalah hadits dengan ayat-
ayat yang mutasyabihat dalam
Al Qur’an dan yang
dikedepankan adalah akal
(pendapat) mereka .”
Imaam Al Ajurri selanjutnya
berkata: “Orang yang
mengingkari adanya syafa’at,
orang yang mengikuti adanya
pendapat Mu’tazilah
(rasionalisme) adalah mereka
yang bukan mengikuti jalannya
kaum Muslimin, tetapi justru
mereka adalah tersesat dari
jalan yang al haq (yang benar),
mereka telah dipermainkan
oleh syaithon. Allah SWT telah
memberikan kewaspadaan
kepada kita dari sifat seperti itu
(mengingkari adanya syafa’at).
Demikian pula para Nabi dan
juga kaum muslimin, baik itu
yang dahulu mapun zaman
sekarang (yaitu zamannya
Imam Ajurri - pen.).” (Asy-
Syari’ah oleh Imam Al Ajurri.
Imam Dzahabi dalam Siyar
A’lamin Nubala’ berkata : “Dia
seorang imam, muhadits,
panutan, Syaikh di Al Haram,
shaduq, ‘abid , shahibus
sunan, dan ahli ittiba’ .”)
Abu Hasan Al-Asyari berkata:
“Mereka (ahli bid’ah-pen)
menyatakan bahwa orang-
orang yang masuk neraka
tersebut tidak akan dikeluarkan
lagi dari sana, dan anggapan
ini jelas bertentangan dengan
riwayat yang dikutip dari
Rasulullah saw bahwa Allah
SWT niscaya mengeluarkan
para penghuni neraka setelah
disiksa dan merupakan
arang.” (Al-Ibanah An-Ushul
Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-
Asyari)
Abu Hasan Al-Asyari berkata:
“Kalau ada orang yang
bertanya tentang Firman Allah:
“Dan mereka tiada memberi
syafaat, melainkan kepada
orang yang diridhai-Nya” (QS.
Al-Anbiya: 28). Maka jawabnya:
Mereka (malaikat) itu hanya
memberi syafaat kepada orang-
orang yang diridhai Allah.
Bahkan telah diriwayatkan
bahwa syafaat Nabi saw itupun
diperuntukkan (hanya) bagi
orang yang memiliki dosa
besar, sementara riwayat lain
menyatakan bahwa orang-
orang yang berdosa itu di
suatu saat kelak akan
dikeluarkan dari neraka.” (Al-
Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah
oleh Abu Hasan Al-Asyari)
Abu ‘Utsman Isma’il bin
Abdur-rahman Ash-Shabuni
(ahli hadits dari Khurosan,
373-449 H) berkata: “Ahli
agama dan Ahlus Sunnah
mengimani syafaat Rasulullah
bagi pelaku dosa dari kalangan
orang-orang yang bertauhid
dan pelaku dosa besar
(lainnya), sebagaimana telah
diberitakan Rasulullah dalam
hadits yang shahih.” (‘Aqidatus
Salaf Ashabil Hadits hal. 76)
Abu ‘Utsman Isma’il bin
Abdur-rahman Ash-Shabuni
berkata: “Ashhabul Hadits
mengimani adanya haudh dan
Telaga Al-Kautsar, serta
masuknya sebagian Ahlu
Tauhid ke surga tanpa hisab,
dan sebagian dari mereka
dihisab dengan hisab yang
ringan dan kemudian
dimasukkan ke surga tanpa
diadzab terlebih dahulu. Dan
sebagian lagi para pelaku dosa
besar dilebur dalam neraka
kemudian dibebaskan dan
dikeluarkan darinya, kemudian
digabungkan dengan saudara-
saudaranya yang telah
mendahului masuk surga, [dan
Ashhabul Hadits meyakini
bahwa yang berdosa besar dari
kalangan Ahlu Tauhid] tidak
kekal di neraka [dan tidak akan
tinggal di neraka selama-
lamanya]. Adapun orang kafir
akan kekal di neraka dan tidak
akan keluar darinya selama-
lamanya.” (‘Aqidatus Salaf
Ashabil Hadits)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Hadits-hadits yang
berisi celaan dan perintah
memerangi mereka (Khawarij)
sangat banyak sekali. Hadits-
hadits tersebut mutawatir
menurut Ahli Hadits, seperti
halnya hadits ru’yah , adzab
kubur, hadits-hadits yang
menjelaskan tentang adanya
syafaat dan haudh (telaga
Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam) .” (Majmu' Fatawa
XIII/35)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi
(murid Ibnu Katsir) berkata:
“Maksud para salaf ketika
menyingkat hadits sampai
batas ini adalah, untuk
membantah kaum Khawarij
serta orang-orang yang
mengikuti faham Khawarij dari
kalangan Mu’tazilah. Yaitu
orang-orang yang mengingkari
keluarnya seseorang dari
neraka setelah ia masuk ke
dalamnya. Untuk itu, para salaf
menyebutkan hadits hanya
sebatas ini, yang di dalamnya
terdapat nash tegas yang
membantah kaum Khawarij dan
Mu’tazilah tersebut.” (Syarh
Aqidah Thahawiyah oleh Ibnu
Abi Al Izz Al Hanafi, tahqiq
Jamaah min Al Ulama dan
takhrij Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Al
Maktab Al Islami, Cet. IX tahun
1408 H / 1988 M, hal. 231)
Syaikh Muhammad bin Shalih
‘Utsaimin (Ulama Arab Saudi)
berkata: “ Ibnu Katsir dan
pensyarah kitab Ath-
Thahawiyyah (Ibnu Abi Al Izz
Al Hanafi) mengatakan:
‘Maksud ulama salaf meringkas
pembahasan dalam masalah
syafaat hanya kepada pelaku
dosa besar adalah sebagai
bantahan terhadap Khawarij
dan kalangan Mu’tazilah yang
mengikuti konsep mereka’.”
(Syarah Lum’atil I’tiqad hal.
129)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi
(murid Ibnu Katsir)
menjelaskan: “Manusia dalam
permasalahan syafaat ada tiga
(golongan) pendapat:
(Pertama): Musyrikin, Nasrani,
dan Sufiyyah yang ghuluw
terhadap guru-guru mereka
dan selainnya. Mereka
meyakini bahwa syafaat orang
yang mereka agungkan di sisi
Allah bagaikan syafaat di dunia.
(Kedua): Mu’tazilah dan
Khawarij. Mereka mengingkari
syafaat Nabi kita dan selainnya,
terhadap pelaku dosa besar.
(Ketiga): Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Mereka menetapkan
adanya syafaat Rasulullah dan
selain beliau terhadap pelaku
dosa besar, dan bahwa tidak
ada yang bisa memberikan
syafaat melainkan dengan izin
Allah.” (Syarah Aqidah
Thahawiyyah hal. 235)
Imam Nawawi rahimahullah
dalam Syarah Shahih Muslim
menjelaskan, yang dimaksud
dengan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam
(yang artinya): “Adapun ahli
neraka yang mereka
merupakan penghuni kekalnya,
maka mereka tidak hidup dan
tidak mati” maksudnya,
ORANG-ORANG KAFIR yang
merupakan penghuni neraka
dan layak untuk kekal di
dalamnya, maka mereka tidak
mati, dan tidak pula bisa
merasakan hidup yang
bermanfaat dan enak.
Sebagaimana telah Allah
firmankan:
“Mereka tidak dibinasakan
sehingga mereka mati, dan
tidak pula diringankan dari
mereka adzabnya”. [QS.
Faathir : 36]
Juga sebagaimana telah Allah
firmankan: “Kemudian dia tidak
mati di dalam neraka dan tidak
pula hidup”. [QS. Al-A'la : 13]
Demikian ini benar-benar akan
terjadi menurut madzhab Ahlul
Haq (pengikut kebenaran).
Yaitu, kenikmatan penghuni
surga akan terus selama-
lamanya. Sedangkan siksaan
bagi orang-orang yang kekal di
neraka juga akan selama-
lamanya.
Adapun sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam (yang artinya):
“Akan tetapi orang-orang yang
ditimpa oleh siksa api neraka
sebab dosanya, … dst.”, maka
maksudnya ialah, bahwa orang-
orang yang berdosa dari
kalangan kaum Mu’minin, kelak
akan dimatikan oleh Allah
sesudah mereka disiksa (di
dalam neraka) selama jangka
waktu yang dikehendaki Allah
Ta’ala. Kematian yang
ditimpakan oleh Allah terhadap
mereka ini adalah, dalam arti
sebenarnya, hingga dengan
kematian itu, lenyaplah rasa
sakit.
Jadi siksa terhadap mereka
sesuai dengan kadar dosa
mereka. Kemudian Allah
matikan mereka, dan untuk
sementara waktu (dalam
keadaan mati) sesuai dengan
takdir Allah, mereka tetap
tersekap di dalam neraka tanpa
merasakan apa-apa.
Selanjutnya, dalam keadaan
mati, mereka yang telah
menjadi arang dikeluarkan dari
neraka. Kemudian dibawa
dalam kelompok-kelompok
yang terpisah-pisah
sebagaimana layaknya barang.
Setelah itu mereka dimasukkan
ke dalam sungai-sungai di
surga, lalu disiram dengan air
kehidupan. Maka hidup dan
tumbuhlah mereka laksana
tumbuhnya benih tetumbuhan
yang tumbuh di lumpur-
lumpur yang terbawa arus air,
demikian cepat dan lemahnya.
Tumbuhnya (manusia) itu,
awalnya muncul kekuningan
dan lentur karena lemahnya.
Makin lama makin kuat, lalu
mereka kembali seperti
sediakala, dan makin sempurna
keadaannya. (Syarah Shahih
Muslim oleh Imam Nawawi
(III/37-38), syarah hadits no.
458, tahqiq Khalil Ma’mun
Syiha)
Abu ‘Utsman Isma’il bin
Abdur-rahman Ash-Shabuni
berkata: ”Ahlus Sunnah
berkeyakinan bahwa seorang
mukmin meskipun melakukan
dosa-dosa kecil dan besar
tidak bisa dikafirkan dengan
semuanya itu. Meskipun dia
meninggal dunia dalam
keadaan belum taubat, selama
masih dalam tauhid dan
keikhlasan, urusannya terserah
Allah. Jika Ia menghendaki, Ia
akan mengampuni dan
memasukkannya ke surga pada
hari Kiamat dalam keadaan
selamat, beruntung dan tidak
disentuh oleh api neraka, tidak
disiksa atas segala dosa yang
pernah dilakukannya, ia
biasakan dan terus
menyelimutinya sampai hari
kiamat. Namun apabila Allah
kehendaki, bisa saja Ia
menyiksanya di neraka untuk
sementara, namun adzab itu
tidak kekal, bahkan akan
dikeluarkan untuk dimasukkan
ke tempat kenikmatan yang
abadi (surga).” (‘Aqidatus Salaf
Ashabil Hadits)
Ibnu Hazm berkata: “Ahlus
Sunnah wal Jama’ah memiliki
sikap pertengahan antara sikap
Khawarij dan Mu’tazilah yang
berlebih-lebihan dan sikap
Khawarij yang longgar.
Khawarij berpendapat bahwa
orang Islam yang melakukan
dosa besar (al-kabirah)
menjadi kafir jika tidak
bertaubat dan akan kekal di
neraka. Mu’tazilah mengatakan
mereka akan kekal di neraka
dan di dunia berada di antara
dua posisi yaitu tidak kafir dan
tidak mukmin (manzilah bainal
manzilatain).” (Al-Tafsil fi Al-
Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata tentang hukum
penamaan untuk orang muslim
yang melakukan dosa besar:
“Ahlus Sunnah berkata: Ia
muslim dan hukumnya di
akhirat di bawah kehendak
Allah. Jika Allah menghendaki,
Dia akan mengazabnya, dan
jika Dia menghendaki, Dia akan
mengampuninya. Khawarij
berkata: Ia adalah kafir dan
hukumnya di akhirat berada di
dalam neraka, dan kekal
selama-lamanya. Sedangkan
Mu’tazilah mengatakan bahwa:
Ia berada pada satu kedudukan
di antara dua kedudukan
(manzilah bainal manzilataini),
yaitu tidak mukmin dan tidak
kafir. Hukumnya di akhirat, ia
kekal di dalam
neraka.” (Majmu’ Fatawa’
VII/241-242, XII/470-474, 479)
Imam Al-Baghawi berkata:
“Ahlus Sunnah mereka
berpendapat bahwa dosa besar
yang dilakukan seorang
mukmin tidak mengeluarkannya
dari iman. Bila mereka
meninggal sebelum bertaubat,
maka ia akan disiksa di neraka
namun tidak kekal, bahkan
urusan mereka diserahkan
kepada Allah, apakah Allah
Subhanahu wa Ta’ala
menyiksanya atau berkenan
mengampuninya.” (Syarhu As-
Sunnah, Imam Al-Baghawi,
I/103)
Ibnu Rajab al-Hanbali
berkata: “Yaitu penyelisihan
Khawarij terhadap para
sahabat. Mereka (Khawarij)
mengeluarkan para pelaku
maksiat (dari kalangan kaum
Muslimin) dari Islam secara
keseluruhan, dan memasukkan
mereka dalam lingkup
kekufuran, serta
memperlakukan mereka
layaknya orang kafir.” (Jami’ul
‘Ulum wal-Hikam I/114)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi
(murid Ibnu Katsir) berkata:
“Kelompok yang memiliki sikap
berlebihan dalam menyikapi
orang yang berbuat dosa ini
dalam sejarah dikenal dengan
sebutan Khawarij dan
Mu’tazilah, dan sikap ini
memang merupakan salah satu
ciri khas mereka yakni
menganggap kafir pelaku dosa
besar.” (Syarah Al-'Aqidah Ath-
Thawiyah, hal. 321)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Bid'ah yang pertama
kali muncul, yaitu bid'ah
Khawarij, penyebabnya adalah
interpretasi keliru terhadap
kandungan Al-Qur'an,
sebenarnya mereka tidak
bermaksud melanggarnya!
Akan tetapi mereka salah
menafsirkannya. Mereka
berasumsi bahwa nash-nash
ancaman itu berkonseksuensi
kafirnya para pelaku dosa
besar. Mereka beranggapan
bahwa seorang mukmin itu
harus baik dan bertakwa,
konseksuensinya siapa saja
yang tidak baik dan tidak
bertakwa maka ia tergolong
kafir dan kekal dalam api
neraka.” (Majmu' Fatawa
13/30-31)
Dari Yusuf bin Mahran dari
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
dirinya telah mendengar Umar
bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu berkata di atas mimbar:
“Akan ada suatu kaum di
antara kalian dari umat ini
yang mendustakan hukum
rajam dan dajjal, terbitnya
matahari dari tempat
terbenamnya, adzab kubur,
syafa’at dan suatu kaum yang
dikeluarkan dari neraka setelah
mengalami siksaan . Jika saya
mendapati mereka, niscaya
saya akan membunuhnya
seperti binasanya kaum Ad dan
Tsamud.” (Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam
Musnadnya 1/24 dan Ad-Dani
dalam Al-Fitan 2/23.
Dihasankan Syaikh Albani
dalam Qishotul Masihid Dajjal
wa Nuzul Isa hal. 30 dan
dishahihkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir dalam Musnad
Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar