Jumat, 24 Juli 2015

Menjaga lisan dari ucapan yang diharamkan

Menjaga Lisan Dari Ucapan Yang Diharamkan

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal Jika tanganku menulis kejelekan, …

By Ummu Sa'id December 12, 2013

2 101 1

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Ghibah

Saudaraku yang dimuliakan Allah, jika suatu saat kita bertandang ke kediaman seorang kawan, kemudian pada saat waktunya makan kita diberi hidangan berupa makanan kesukaan kita, misalnya ayam panggang yang masih hangat dengan aroma  yang mengundang selera. Apa sikap kita? Tentu dengan senang hati ayam panggang itu akan kita terima, apalagi sang tuan rumah adalah kawan baik kita dan menghidangkannya dengan wajah ceria. Namun ketika akan disantap, tiba-tiba sang kawan mengatakan sambil tersenyum manis  bahwa ayam panggang ini sebelum dimasak adalah ayam yang sudah mati beberapa hari yang lalu, alias bangkai ayam, dengan alasan agar tidak mubadzir  maka bangkai ayam ini di olah sedemikan rupa  dengan bumbu dan cara masak yang jitu sehingga akan sedap untuk di makan. Bagaimana sikap kita? Sudah dipastikan, kita akan menolak sebab akal tidak bisa menerima, baik ditinjau dari segi kesehatan  maupun dari hukum syar’i. Perut yang tadinya lapar bisa jadi kenyang mendadak, dan spontan kita akan menolak dengan sekuat tenaga bila dipaksa untuk memakannya.

Ilustrasi di atas adalah suguhan bangkai ayam yang dikemas dengan masakan yang lezat, bagaimana bila yang dihidangkan adalah bangkai manusia? Apakah kita juga kan menolaknya? Secara akal sehat seharusnya kita akan semakin keras dalam menolak. Tetapi kadang rasa tidak enak yang dipoles dengan hawa nafsu mengalahkan akal sehat dan pengetahuan akan bahayanya bagi tubuh dan jiwanya. Kecuali hamba-hamba Allah yang dirahmati-Nya, dia  akan menolak lebih keras lagi. Bahkan kalau bisa menjauh sejauh-jauhnya agar tidak melihat suguhan bangkai manusia dikarenakan saking jijiknya.

Inilah hakikat ghibah, yang kebanyakan kaum muslimin  tidak menyadarinya, kecuali mereka yang mendapat rahmat dari Allah ‘azza wa jalla. Semoga kita bagian dari para hamba-Nya yang selalu diingatkan akan bahayanya ghibah sehingga kita bisa mewaspadainya dari awal.

Allah Ta’aala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah menggibah (menggunjing)  sebagian yang  lain. Sukakah salah seorang diantara kamu  memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih.” (QS. Al-Hujurat: 12)

 Tafsir Ayat :

Allah subhanahu wa ta’ala melarang banyak prasangka tidak baik terhadap orang-orang mukmin

إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْم

“Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa”

Yakni, seperti praduga yang jauh dari kenyataan dan tidak ada indikasinya, seperti juga prasangka buruk yang diikuti dengan perkataan dan perbuatan yang diharamkan. Prasangka buruk yang tetap berada di hati seseorang tidak hanya cukup sampai di situ saja bagi yang bersangkutan, bahkan akan mendorongnya untuk mengatakan yang tidak seharusnya, dan mengerjakan yang tidak sepatutnya yang didalam hal itu juga tercakup berburuk sangka, membenci dan memusuhi saudara sesama mukmin yang seharusnya tidak demikian.

وَلَا تَجَسَّسُوا

“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”

Yakni, janganlah kalian mengorek kesalahan kaum muslimin dan jangan mencari-carinya. Biarkan orang muslim tetap berada pada kondisinya sendiri, dan kesampingkanlah kekeliruannya yang jika dikuak akan nampak sesuatu yang tidak sepatutnya.

 وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain,”

Ghibah sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamI adalah

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ، وَلَو كَانَ فِيْه

“Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukai saudaramu meski hal itu benar terdapat pada dirinya.”(Diriwayatkan oleh Muslim,no.2564 dari hadis Abu Hurairahradhiyallallahu ‘anhu)

Selanjutnya Allah Ta’aalamenyebutkan perumpamaan agar kita menjauhi ghibah seraya berfirman,

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”

Ghibah itu laksana memakan daging bangkai saudaranya sendiri yang sangat tidak disukai oleh jiwa. Kita tentu tidak ingin memakan daging saudara sendiri, terlebih yang sudah menjadi bangkai.

وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Maha Penerima Taubat, yakni yang memberi ijin hamba-Nya untuk bertaubat dan memberi petunjuk untuk bertaubat kemudian taubatnya diterima. Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya karena Dia mengajak kepada sesuatu yang membawa manfaat bagi mereka serta menerima taubat mereka.

Dalam ayat ini, terdapat peringatan keras agar tidak melakukan ghibah, karena ghibah tergolong dosa besar.  dimana Allah menyamakannya dengan memakan daging bangkai, dan memakan bangkai adalah termasuk dosa besar.

(Tafsir al Qur’an Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)

Dusta

Dia ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Qs. Al-Ahzab: 58)

بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُو  tanpa perbuatan dosa dari mereka yang mengharuskan untuk disakiti, فَقَدِ احْتَمَلُوا “maka sesungguhnya mereka telah memikul “ di punggung mereka بُهْتَانًا   “kebohongan”,karena mereka telah menyakiti mereka tanpa sebab  وَإِثْمًا مُّبِينًا   “dan dosa yang nyata”, karena mereka mendzalimi orang-orang beriman dan menodai kehormatan yang diperintahkan oleh Allah untuk dihormati. Maka dari itu, mencela seorang yang beriman mengakibatkan hukum dera (ta’zir) sesuai kondisi orang mukmin yang disakiti itu dan tingkat kedudukannya. Sehingga hukuman untuk orang yang mencaci sahabat, lebih keras dari pada hukuman untuk selain sahabat. hukuman orang yang mencaci ulama atau ahli agama itu lebih besar dari pada mencaci selain ulama.

(Tafsir al Qur’an Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)

Waspada Bahaya Lisan

Nikmat lisan merupakan nikmat yang sangat luar biasa. Lisan adalah anugerah, apabila anugerah ini tidak kita manfaatkan sebaik-baiknya maka akan menjadi bumerang bagi pemiliknya. Namun kebanyakan umat Islam tidak menyadari bahwa lisan ini benar-benar berbahaya.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumenasehatkan,
“Telah sampai kepadaku, seseorang mengatakan bahwa tidak ada satu bagian dari tubuhnya yang paling dimurkai pada hari kiamat melebihi lisannya, kecuali yang menggunakannya untuk mengucapkan yang baik-baik atau mengisinya dengan kebaikan,”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu  juga menasehatkan,
”Demi Allah yang tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sesuatupun yang paling perlu untuk dipenjara lebih lama dari pada lisan.” Ia pernah berkata, ”Wahai lisan, ucapkan yang baik maka kamu beruntung! dan diamlah dari mengucapkan keburukan maka kamu selamat, sebelum kamu menyesal!.”

Pada hari kiamat nanti, banyak diantara kita yang sakit hati sama lisannya, yang benci lisannya, karena gara-gara lisan ini dia diadzab dalam api neraka. Gara-gara lisan ini dia tergelincir ke dalam adzab Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukan karena rambutnya, karena rambutnya sudah ditutup dengan jilbab, bukan karena badannya, badannya sudah ditutup dengan baju yang sesuai dengan syari’at, bukan karena mata kakinya karena sudah sesuai dengan tuntunan Nabishalallahu ‘alaihi wasallam. Tapi yang dia benci adalah lisannya.Na’udzubillaahi mindzaliik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seluruh pembicaraan anak Adam  itu menjadi ancaman baginya selain amar ma’ruf nahi munkar dan dzikrullah.”
(Hadis hasan. Hadis selengkapnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Tidak ada satu bagian tubuh pun kecuali ia mengeluhkan kelancangan lidah.” HR.Abu Ya’la dalam Musnad dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman. Lihat takhrij Ihya’ Al-‘Iraaqiy VII / 1539]

Suatu ketika Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu mengunjungi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Ternyata Abu Bakr sedang menarik lidah dengan tangannya. Umar  pun bertanya, ”Apa yang Anda lakukan? Semoga Allah mengampunimu!” Abu Bakar menjawab, ”Inilah benda yang akan menjerumuskanku ke neraka.”

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaii wasallam bertanya kepadanya, ”Maukah kamu aku beritahukan kunci dari semua itu?”
Aku (Mu’adz) menjawab,”Tentu wahai Rasulullah.”
Lalu Rasul memegang lidahnya dan berkata, ”Peliharalah ini!”
Akupun bertanya, ”Wahai Nabi Allah, benarkah kita akan disiksa karena pembicaraan kita?”
Rasul menjawab, ”Ibumu kehilanganmu, Mu’adz! (kalimat yang biasa digunakan untuk menekankan suatu masalah). Bukankah manusia itu diseret ke neraka dengan wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka, hanya disebabkan oleh hasil perkataan mereka?”
(HR. At-Tirmidzi, Al Iman, VII/362 dan Hakim dalam Al Mustadrak fi At Tafsir VI/142, shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullahmengomentari hadis ini dalam kitabJami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147),
“Yang dimaksud dengan buah perkataannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146),
“Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana, umumnya baik amalan-amalannya”.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan kalimat yang ia anggap biasa tetapi karenanya ia terjun ke neraka sejauh tujuh puluh tahun.”
[HR. At-Tirmidzi (Ar-Raqa’iq, VI/604),beliau berkata, ”Hadis ini hasan gharib.”]

Misalnya, seseorang mengucapkan kalimat-kalimat syirik seperti berdoa dan mohon perlindungan pada orang-orang yang telah wafat.

Al Hasan Al Bashri berkata” Orang yang tidak menjaga lisannya, dianggap tidak memahami diennya (agama)nya .”

Bencana Lisan yang paling sedikit mudharatnya adalah berbicara sesuatu yang tidak berfaidah. Untuk menjelaskannya, cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
“Merupakan tanda kebaikan islam seseorang, ketika ia meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah baginya. “
[Hadist Shahih diriwayatkan At Tirmidzi dalam Az Zuhd VI/ 607, Ahmad (al-Musnad I/201). Dalam tahqiq Musnad, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan isnadnya shahih].

Al Hasan juga berkata : ”Diantara yang menghalangi berpalingnya Allah dari seorang hamba adalah ketika ia menganggap kesibukannya dalam urusan yang tidak berfaedah merupakan suatu kehinaan dari Allah azza wa jalla.”

Sahl berkata : ”Barangsiapa berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna baginya, ia akan terhalang dari kejujuran“.

Apa yang kita sebut diatas adalah bencana lisan yang terkecil mudharatnya. Lalu bagaimana dengan ghibah, namimah, kata-kata yang batil dan keji? Kata-kata yang mengandung perdebatan, pengaduan, nyanyian, kedustaan, menyanjung-nyanjung, mengolok-olok, dusta, penghinaan, kekeliruan dalam pembicaraan dan lainnya. Semuanya adalah bencana yang menimpa lisan seorang hamba yang seterusnya akan merusak hatinya, menghilangkan kebahagiaan dan kesenangan yang ia rasakan di dunia, menghilangkan keberuntungan dan kemenangan akhirat.

***
Muslimah.Or.Id
Penulis: Ummu Afifah Umi Romadiyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar