Rabu, 22 Juli 2015

Seputar zikir dan tasbih berikut sejarah pemakaian tasbih

Tanya :
Afwan... ana mau tanya apakah ada hadist shahih nya bahwa hukumnya bid'ah menggunakan tasbih? 🙏

Jawab :
Dzikrullah, merupakan amalan yang
sangat dianjurkan oleh Allah Jalla
Jalaluhu dan RasulNya, dan
diperintahkan untuk melakukannya
sebanyak-banyaknya, sebagaimana
firmanNya, artinya: Hai orang-orang
yang beriman, berdzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41]
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺬْﻛُﺮُ
ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺃَﺣْﻴَﺎﻧِﻪِ
"Rasulullah selalu berdzikir kepada
Allah dalam setiap kesempatannya".
[HR Bukhari dan Muslim].
Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama,
dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak
terkait dengan waktu, jumlah,
tempat dan keadaan. Semua
perbuatan dan perkataan yang bisa
mengingatkan seseorang kepada
Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam
dzikir jenis ini, seperti: membaca Al
Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya.
Seseorang bisa melakukan dzikir
kapan saja, berapapun jumlahnya
selama tidak bertentangan dengan
hal-hal yang sudah ditetapkan
dalam agama. Kedua, dzikir
muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat
dengan tempat, seperti: dzikir di
Arafah, di Multazam, ketika masuk
dan keluar masjid, kamar mandi dan
lainnya. Atau terikat dengan jumlah,
waktu dan cara. Oleh karenanya,
dalam pelaksanaannya juga terikat
dengan tata cara yang pernah
dilakukan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Di antara contoh
dzikir yang terikat dengan jumlah,
waktu dan cara, misalnya
sebagaimana disabdakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
ﻣَﻦْ ﺳَﺒَّﺢَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﻛُﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ
ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻭَﺣَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻭَﻛَﺒَّﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪَ
ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺛَﻠَﺎﺛِﻴﻦَ ﻓَﺘْﻠِﻚَ ﺗِﺴْﻌَﺔٌ ﻭَﺗِﺴْﻌُﻮﻥَ ﻭَﻗَﺎﻝَ
ﺗَﻤَﺎﻡَ ﺍﻟْﻤِﺎﺋَﺔِ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ
ﻟَﻪُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ
ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ ﻏُﻔِﺮَﺕْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ ﻭَﺇِﻥْ ﺯَﺑَﺪِ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ
ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻣِﺜْﻞَ
"Barangsiapa yang mengucapkan
“subhaanallah” setiap selesai shalat
33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan
“Allahu Akbar” 33 kali; yang
demikian berjumlah 99 dan
menggenapkannya menjadi seratus
dengan “La ilaha illallahu wahdahu
la syarikalah, la hul mulku walahul
hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in
qadir” ( ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻟَﺎ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ
ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ
,)ﻗَﺪِﻳﺮٌ akan diampuni kesalahannya,
sekalipun seperti buih lautan" [HR
Muslim dari Abu Hurairah].
BAGAIMANA CARA RASULULLAH
SHALALLLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
MENGHITUNG DZIKIR
(SUBHAANALLAH, ALHAMDULILLAH
DAN ALLAHU AKBAR) TERSEBUT?
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid,
salah satu anggota Majelis Kibaar
Ulama di Saudi Arabia, ketika
membahas masalah ini
menyebutkan: Sudah tsabit (jelas
dan ada) petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan
dan keputusan (taqrir), bahwa beliau
menghitung dzikir dengan jari
tangannya, tidak pernah dengan
yang lainnya. Demikian itulah yang
diamalkan oleh para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka
dalam kebaikan hingga hari ini. Dan
termasuk perbuatan yang secara
turun-temurun dipraktikkan di
kalangan umat, sebagai wujud
iqtida’ (percontohan) mereka kepada
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Inilah cara yang sesuai dengan ruh
Islam, yaitu menghendaki
kemudahan dan bisa diamalkan oleh
semua orang, kapan saja dan di
mana pun tempatnya.[1]
Syaikh Athiyah Muhammad Salim,
salah seorang mudarris (guru) di
Masjid Nabawi, ketika membahas
cara RasulullahShallallahu 'alaihi wa
sallam menghitung tasbih tersebut,
mencontohkannya dengan
menggunakan tangan kanan dan
menyatakan: Setiap jari tangan kita
memiliki tiga ruas. Apabila setiap
ruas mendapatkan satu tasbih,
tahmid dan takbir, kemudian
dikalikan lima, maka akan berjumlah
lima belas dan diulangi lagi sekali,
sehingga menjadi tiga puluh,
kemudian ditambah dengan satu jari
hingga berjumlah tigapuluh tiga
kali. Dan ini, selaras dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Dzar,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
ﻳُﺼْﺒِﺢُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺳُﻠَﺎﻣَﻰ ﻣِﻦْ ﺃَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ
ﻓَﻜُﻞُّ ﺗَﺴْﺒِﻴﺤَﺔٍ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻭَﻛُﻞُّ ﺗَﺤْﻤِﻴﺪَﺓٍ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ
ﻭَﻛُﻞُّ ﺗَﻬْﻠِﻴﻠَﺔٍ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻭَﻛُﻞُّ ﺗَﻜْﺒِﻴﺮَﺓٍ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ
ﻭَﺃَﻣْﺮٌ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻭَﻧَﻬْﻲٌ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ
ﺻَﺪَﻗَﺔٌ ﻭَﻳُﺠْﺰِﺉُ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻀُّﺤَﻰ
ﺭَﻛْﻌَﺘَﺎﻥِ ﻳَﺮْﻛَﻌُﻬُﻤَﺎ .
"Setiap pergelangan salah seorang
dari kamu adalah shadaqah, setiap
tasbih shadaqah, setiap tahmid
shadaqah, tahlil shadaqah, takbir
shadaqah, mengajak kepada
kebaikan shadaqah dan mencegah
dari kemungkaran shadaqah dan
semua itu cukup dengan dua raka’at
dhuha". [HR Bukhari dan Muslim].
Beliau (Syaikh Athiyah) tidak
menyebutkan dalilnya harus dengan
ruas jari [2]. Yang pasti, menurut
beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menghitung dzikirnya
dengan jari tangannya, sebagaimana
disebutkan oleh Abdullah bin Umar,
beliau berkata:
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻳَﻌْﻘِﺪُ ﺍﻟﺘَّﺴْﺒِﻴﺢَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻪِ .
"Saya melihat Rasulullah
menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu
Qudamah mengatakan dengan
tangan kanannya". [3]
Saat sekarang ini, kita sering melihat
-khususnya selesai shalat-, orang
menghitung dzikirnya dengan
menggunakan alat tasbih, yaitu
semacam biji-bijian terbuat dari
kayu, tulang atau lainnya yang
dirangkai dengan benang atau tali,
yang jumlahnya biasanya seratus
biji. Orang Arab menyebutnya
subhah, misbahah, tasaabih, nizaam,
atau alat. Sementara orang-orang
sufi menyebutnya al mudzakkirah
billah (pengingat kepada Allah),
raabitatul qulub (pengikat hati),
hablul washl atau sauth asy syaithan
(cambuk syaitan). Karena dzikir
merupakan bagian dari ibadah atau
dianggap sebagai ibadah, maka kita
harus mengetahui hukumnya, agar
benar dalam mengamalkannya.
Bagaimana hukum menggunakan
alat-alat tersebut?
Sebenarnya, sudah banyak ulama
yang menulis dan membahas hukum
penggunaan alat tasbih untuk
menghitung dzikir [4]. Menurut
Syaikh Bakr Abu Dzaid, dari ulama
yang terdahulu ataupun yang
sekarang (kontemporer), yang
pendapatnya bisa dijadikan sebagai
hujjah, menunjukkan kesimpulan,
bahwa tidak ada satupun hadits
yang shahih yang membolehkan
menggunakan selain jari tangan
untuk menghitung dzikir.
Terhitung ada tiga hadits yang
sering dijadikan dalil bolehnya
menggunakan alat tasbih untuk
menghitung dzikir, diantaranya
sebagai berikut:
Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi
(isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam) yang berbunyi:
ﻋَﻦْ ﻛِﻨَﺎﻧَﺔَ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﺻَﻔِﻴَّﺔَ ﻗَﺎﻝ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺻَﻔِﻴَّﺔَ
ﺗَﻘُﻮﻝُ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻲَّ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱَّ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔُ ﺁﻟَﺎﻑِ ﻧَﻮَﺍﺓٍ
ﺃُﺳَﺒِّﺢُ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻘَﺪْ ﺳَﺒَّﺤْﺖِ ﺑِﻬَﺬِﻩِ ﺃَﻟَﺎ
ﺃُﻋَﻠِّﻤُﻚِ ﺑِﺄَﻛْﺜَﺮَ ﻣِﻤَّﺎ ﺳَﺒَّﺤْﺖِ ﺑِﻪِ ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﺑَﻠَﻰ
ﻋَﻠِّﻤْﻨِﻲ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻗُﻮﻟِﻲ ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺪَﺩَ
ﺧَﻠْﻘِﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ ﻫَﺬَﺍ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﻏَﺮِﻳﺐٌ ﻟَﺎ
ﻧَﻌْﺮِﻓُﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳﺚِ ﺻَﻔِﻴَّﺔَ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ
ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳﺚِ ﻫَﺎﺷِﻢِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌِﻴﺪٍ ﺍﻟْﻜُﻮﻓِﻲِّ ﻭَﻟَﻴْﺲَ
ﺇِﺳْﻨَﺎﺩُﻩُ ﺑِﻤَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺎﺏ ﻋَﻦْ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ
ﺍﺑْﻦِ
"Dari Kinanah budak Shafiyah
berkata, saya mendengar Shafiyah
berkata: Rasulullah pernah
menemuiku dan di tanganku ada
empat ribu nawat (bijian korma)
yang aku pakai untuk menghitung
dzikirku. Aku berkata,”Aku telah
bertasbih dengan ini.” Rasulullah
bersabda,”Maukah aku ajari engkau
(dengan) yang lebih baik dari pada
yang engkau pakai bertasbih?” Saya
menjawab,”Ajarilah aku,” maka
Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺪَﺩَ ﺧَﻠْﻘِﻪِ . (Maha Suci
Allah sejumlah apa yang diciptakan
oleh Allah dari sesuatu).” [5]
Kedua : Hadits yang diriwayatkan
oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:
ﺃَﻧَّﻪُ ﺩَﺧَﻞَ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻬَﺎ ﻧَﻮًﻯ ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ
ﺣَﺼًﻰ ﺗُﺴَﺒِّﺢُ ﺑِﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﻟَﺎ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻙِ ﺑِﻤَﺎ ﻫُﻮَ
ﺃَﻳْﺴَﺮُ ﻋَﻠَﻴْﻚِ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺃَﻭْ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﻋَﺪَﺩَ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﻋَﺪَﺩَ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺪَﺩَ
ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺪَﺩَ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺧَﺎﻟِﻖٌ
ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ
ﻭَﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ ﻗَﺎﻝَ
ﺃَﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ ﻏَﺮِﻳﺐٌ ﻣِﻦْ
ﺣَﺪِﻳﺚِ ﺳَﻌْﺪٍ .
"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash)
bersama Rasulullah menemui
seorang wanita dan di tangan wanita
tersebut ada bijian atau kerikil yang
digunakan untuk menghitung tasbih
(dzikir). Rasulullah
bersabda,”Maukah kuberitahu
engkau dengan yang lebih mudah
dan lebih afdhal bagimu dari pada
ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah
sejumlah ciptaanNya di langit, Maha
Suci Allah sejumlah ciptaanNya di
bumi, Maha Suci Allah sejumlah
ciptaanNya diantara keduanya, Maha
Suci Allah sejumlah ciptaanNya
sejumlah yang Dia menciptanya, dan
ucapan: ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ seperti itu, َﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ
ﻟِﻠَّﻪِ seperti itu, dan ﻟَﺎ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻟَﺎ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻟَّﺎ
itrepes ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ itu.” [6]
Ketiga : Hadits Abu Hurairah, ia
berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﺴَﺒِّﺢُ ﺑِﺎﻟْﺤَﺼَﻰ
"Rasulullah bertasbih dengan
menggunakan kerikil." [7]
Jawaban dan bantahan terhadap
ketiga riwayat di atas:
Hadits Abu Hurairah sudah
disepakati kepalsuannya, sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits
Shafiyah dan riwayat Sa’id bin Abi
Waqqash, seandainya dianggap
shahih sanadnya dan bisa diterima,
tetapi apakah kedua hadits tersebut
menunjukkan bolehnya memakai
tasbih untuk menghitung dzikir?.
Pada hadits Shafiyah, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
mempertanyakan perbuatan Shafiyah
yang mengumpulkan biji-bijian di
tangannya. Hal ini menunjukkan
pengingkaran dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena
ia melakukan perbuatan yang tidak
biasa dilakukan oleh orang lain.
Itulah sebabnya, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam mengajarkannya
sesuatu yang lebih baik, yaitu lafadz
tasbih yang benar. Karena, jika
tindakan Shafiyah yang
mengumpulkan bijian itu benar,
mestinya tidak akan diingkari,
bahkan ia akan dimotivasi untuk
melanjutkannya atau paling tidak
dibiarkan tetap melakukannya.
Dengan demikian, sesungguhnya
hadits tersebut sama sekali tidak
menunjukkan dalil bolehnya
menggunakan tasbih atau kerikil
untuk menghitung dzikir.
Adapun hadits Sa’ad bin Abi
Waqqash yang menyebutkan beliau
melihat wanita yang memegang
bijian untuk bertasbih, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
menawarkan sesuatu yang lebih
mudah, yang akan dijarkan
kepadanya dan lebih afdhal. Lafadz
“afdhal” atau “aisar” (lebih mudah),
bukan berarti yang lainnya itu baik
atau mudah juga. Ushlub (metode)
seperti ini sering dipakai dalam
bahasa Arab, sebagaimana firman
Allah :
ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣُّﺴْﺘَﻘَﺮًّﺍ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ
ﻣَﻘِﻴﻼً
"Penghuni-penghuni surga pada hari
itu lebih baik tempat tinggalnya dan
lebih indah tempat istirahatnya". [Al
Furqon : 24].
Syaikh Abdurraman As Sa’di
menyatakan,”Sesungguhnya,
penggunaan isim tafdhil
(menunjukkan yang lebih baik) pada
sesuatu yang tidak terdapat pada
yang kedua. Karena tidak ada
kebaikan pada ahli neraka dan
tempat tinggalnya, dibandingkan
dengan neraka.” [8]
Contoh lainnya, juga sebagaimana
dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.
ﺀَﺁﺍﻟﻠﻪُ ﺧَﻴْﺮٌ ﺃَﻣَّﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ
"Apakah Allah yang lebih baik,
ataukah apa yang mereka
persekutukan dengan Dia?" [An Naml
: 59].
Apakah bisa disamakan kebaikan
yang ada pada Allah, dengan yang
ada pada sekutu-sekutuNya? Ini
suatu kemustahilan.
BAGAIMANA SEJARAH MUNCULNYA
ALAT TASBIH? DAN BAGAIMANA ALAT
TERSEBUT BISA MASUK KE DUNIA
ISLAM, HINGGA KEMUDIAN MENJADI
BAGIAN DARI RITUAL IBADAH KAUM
MUSLIMIN?
Alat tasbih memiliki sejarah yang
sangat panjang [9]. Syaikh Bakr Abu
Dzaid menyebutkan, bahwa tasbih
sudah dikenal sejak sebelum Islam.
Tahun 800M orang-orang Budha
sudah menggunakan tasbih dalam
ritualnya. Begitu juga Al Barahimah
di India, pendeta Kristen dan Rahib
Yahudi. Dari India inilah kemudian
berkembang ke benua Asia. Beliau
juga mengutip sejarah tasbih yang
dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al
‘Alamiyah, 23/157, ringkasannya
sebagai berikut:
Orang-orang Katolik menggunakan
limapuluh biji tasbih kecil yang
dibagi empat yang diberi pemisah
dengan biji tasbih besar dengan
jumlah yang sama. Juga dijadikan
sebagai kalung yang terdiri dari dua
biji besar dan tiga biji kecil,
kemudian “matanya” dibuat dengan
tanda salib. Mereka membaca puji
Tuhan dengan biji tasbih yang
besar, dan membaca pujian
Maryamiyah dengan biji tasbih yang
kecil.
Orang-orang Budha diyakini sebagai
orang yang pertama menggunakan
tasbih untuk menyelaraskan antara
perbuatan dan ucapannya ketika
sedang melakukan
persembahyangan. Juga dilakukan
oleh orang-orang Hindu di India,
dan dipraktikkan oleh orang-orang
Kristen pada abad pertengahan.
Perkembangan tasbih yang pesat
terjadi pada abad 15 M dan 16 M.
Dalam kitab Musaahamatul Hindi
disebutkan, bahwa orang-orang
Hindu terbiasa menggunakan tasbih
untuk menghitung ritualnya.
Sehingga menghitung dzikir dengan
tasbih diakui sebagai inovasi dari
orang Hindu (India) yang bersekte
Brahma. Dari sanalah kemudian
menyebar ke berbagai penjuru
dunia.
Sudah disepakati oleh ahli sejarah,
bahwa orang-orang Arab Jahiliyah
tidak mengenal istilah dan
penggunaan tasbih dalam
peribadatan mereka. Itulah
sebabnya, satu pun tidak ada syair
jahiliyah yang menyebutkan kalimat
tasbih. Ia merupakan istilah yang
mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga
pada zaman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabat.
Mereka tidak mengenal istilah
tasbih, apalagi menggunakannya.
Hal ini berlangsung sampai akhir
masa tabi’in. Jika mendapatkan
sebuah hadits yang memuat lafadz
“subhah” jangan sekali-kali
membayangkan, bahwa makna lafadz
tersebut adalah alat tasbih, seperti
yang dipakai oleh orang sekarang
ini. Karena, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berbicara dengan
sahabat dan umatnya dengan
bahasa yang mereka pahami dan
ketahui. Sedangkan tasbih -seperti
yang beredar sekarang ini- tidak
dikenal oleh sahabat dan juga
tabi’in.
Ketika pada akhir masa tabi’in ada
orang yang menghitung dzikirnya
dengan kerikil atau biji korma (tanpa
dirangkai), maka para sahabat,
seperti Abdullah bin Mas’ud
mengingkari dan melarangnya
dengan keras; menganggapnya
melakukan perbuatan bid’ah yang
besar. Begitu pula yang dilakukan
oleh Ibrahim An Nakhai, seorang
tabi’in senior, telah melarang
puterinya melakukan perbuatan
seperti itu, sebagaimana sebelumnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah mengingkari Shafiyah
dan memberitahukannya perbuatan
yang lebih baik dan afdhal
Banyak atsar sahabat dan tabi’in
yang menunjukkan, bahwa mereka
mengingkari orang yang
menggunakan bijian atau kerikil
untuk menghitung dzikirnya.
Diantara atsar tersebut ialah:
- Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat
seorang wanita dari Bani Kulaib yang
menghitung dzikirnya dengan bijian.
Aisyah berkata,”Mana jarimu?” [10]
- Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari
Ibrahim berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟﻌَﺪَّ ﻭَﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺃَﻳَﻤُﻦُّ ﻋَﻠَﻰ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﺴَﻨَﺎﺗِﻪِ
Abdullah bin Mas’ud membenci
hitungan (dengan tasbih) dan
berkata,”Apakah mereka menyebut-
nyebut kebaikannya di hadaan
Allah?” [11]
- Atsar dari Ash Shalat bin Bahram,
berkata: Ibnu Mas’ud melihat
seorang wanita yang bertasbih
dengan menggunakan subhah,
kemudian beliau memotong
tasbihnya dan membuangnya. Beliau
juga melewati seorang laki-laki yang
bertasbih menggunakan kerikil,
kemudian memukulnya dengan
kakinya dan berkata,”Kamu telah
mendahului (Rasulullah) dengan
melakukan bid’ah yang dzalim, dan
kamu lebih tahu dari para
sahabatnya.” [12]
- Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam,
bahwasanya Abdullah bin Mas’ud
menceritakan tentang orang-orang
Kufah yang bertasbih dengan kerikil
di dalam masjid. Kemudian beliau
mendatanginya dan menaruh kerikil
di kantong mereka, dan mereka
dikeluarkan dari masjid. Beliau
berkata,”Kamu telah melakukan
bid’ah yang zhalim dan telah
melebihi ilmunya para sahabat
Nabi.” [13]
- Atsar dari Amru bin Yahya; dia
menceritakan pengingkaran Abdullah
bin Mas’ud terhadap halaqah di
masjid Kuffah yang orang-orangnya
bertasbih, bertahmid dan bertahlil
dengan kerikil. [14]
Adapun yang membawa masuk alat
tersebut ke dunia Islam dan yang
pertama kali memperkenalkannya
ialah kelompok-kelompok thariqat
atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi
Gazalba sebagai hasil kombinasi
pemikiran antara Islam dengan
Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi,
Hindu dan Budha serta mistik
Pytagoras [15]. Sehingga, sampai
sekarang hampir semua kelompok-
kelompok thariqat dan pengikut
tasawuf menjadikan alat tasbih ini
sebagai bagian dari ibadah mereka.
Bahkan, tidak jarang pula
mengalungkan tasbih di leher,
sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang Hindu, Budha dan
Pendeta Kristen; menjadikannya
sebagai wasilah (perantara) untuk
mengobati orang sakit atau hajat
lainnya dengan membasuhnya dan
meminum airnya, na’uzubillah.
Dapat dipastikan, bahwa kelompok-
kelompok yang menjadikan thariqat
atau tasawuf sebagai landasan
manhajnya, akan menjadikan alat
tasbih ini sebagai syiar ibadah
mereka.
Ada juga orang yang
menggunakannya dengan alasan
karena dzikirnya banyak, dan sering
lupa atau keliru jumlahnya kalau
tidak menggunakan alat tasbih.
Seorang tokoh sufi Al Bannan dalam
kitabnya Minhah Ahlul Futuhat Wal
Zauq menyebutkan, penggunaan jari
tangan hanya dilakukan oleh orang-
orang yang dzikirnya sedikit, yaitu
seratus atau yang kurang dari itu.
Adapun ahlu dzikir wal aurad (istilah
untuk mereka yang “banyak
dzikirnya” di kalangan sufi dan
tharikat), kalau mereka
menggunakan jarinya untuk
menghitung dzikirnya yang banyak,
pasti banyak salahnya dan
disibukkan dengan jarinya. Dan
inilah hikmah penggunaan tasbih.
Subhanallah. Adakah ketentuan dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dzikir muqayyad (terikat
dengan waktu, tempat dan jumlah)
yang lebih dari seratus? Perintah
Allah Jalla Jalaluhu seperti dalam Al
Qur’an, artinya: Wahai orang-orang
yang beriman, berdzikirlah kepada
Allah dengan dzikir yang banyak. (Al
Ahzab:35) dan lainnya, tidak
menentukan bentuk dan jumlah
tertentu untuk berdzikir.
Jumlah dzikir seperti seratus atau
yang kurang dari itu, merupakan
ta’abbudiyah (ketentuan dari
Rasulullah) yang wajib dipatuhi oleh
orang yang mengaku sebagai
pengikut Rasulullah. Ibnu Mas’ud
menasihatkan, bahwa sedikit dalam
sunnah jauh lebih baik daripada
banyak namun bid’ah.
Perlulah diingat, janganlah hanya
dzikir (kebaikan) yang kita hitung,
namun kesalahan yang pernah
dilakukan juga perlu dipikirkan,
sebagaimana nasihat Umar bin
Khattab : Hisablah dirimu sebelum
kamu dihisab”.[16] Artinya, yang
harus dihisab (dihitung) ialah semua
yang telah kita lakukan, baik berupa
kebaikan maupun kejelekan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
ﺍﺗَّﻖِ ﺍﻟْﻤَﺤَﺎﺭِﻡَ ﺗَﻜُﻦْ ﺃَﻋْﺒَﺪَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ
"Jauhilah yang diharamkan. Engkau
akan menjadi orang yang paling
baik" [17].
Orang yang melakukan perbuatan
bid’ah sering berdalih, bahwa tidak
semua yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan sahabatnya dianggap
bid’ah. Misalnya, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
memakai tasbih, bukan berarti itu
tidak boleh menggunakannya.
Karena mungkin tasbih waktu itu
belum ada, atau menggunakan
tasbih hanya sebuah sarana agar
lebih khusyu’ dalam berdzikir.
Untuk menjawab masalah ini, Syaikh
Ali bin Hasan Al Halabi, salah satu
murid senior Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani menulis bab
tersendiri dalam kitabnya Ushul Al
Bida’ yang kesimpulannya, bahwa
semua ibadah yang tidak pernah
disyari’atkan oleh Rasulullah, baik
dengan perkataannya dan tidak
pernah beliau lakukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Jalla
Jalaluhu adalah bertentangan
dengan sunnah. Karena sunnah itu
ada yang fi’liyah (dilakukan) dan ada
yang tarkiyah (yang tidak dilakukan
oleh Rasulullah). Dengan demikian,
ibadah yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam termasuk sunnah yang harus
ditinggalkan.
Ketika salah satu dari tiga orang
sahabat berjanji untuk melakukan
shalat semalam suntuk dan tidak
akan tidur, yang lainnya akan
berpuasa sepanjang masa dan tidak
akan berbuka, dan yang terakhir
tidak mau menikah, maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengingkarinya dan bersabda, "Demi
Allah, sayalah (orang) yang paling
takut diantara kalian kepada Allah,
dan paling bertaqwa kepadaNya;
tetapi saya berpuasa dan berbuka,
shalat dan tidur dan menikahi
wanita. Barangsiapa yang benci
kepada sunnahku, maka bukan
termasuk golonganku." [HR Bukhari
Muslim dari Anas bin Malik].
Pada prinsipnya, tiga sahabat tadi
melakukan perbuatan yang
disunnahkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam,
seperti: berpuasa, iffah (menjaga
diri) dan shalat malam, namun
dengan cara yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sehingga beliau mengingkarinya.
Hadits di atas sekaligus membantah,
bahwa niat yang baik, kalau tidak
sesuai dengan sunnah (praktik)
Rasulullah, maka tidak akan menjadi
sebab suatu amal perbuatan itu
diterima di sisi Allah. Ibnu Rajab,
dalam kitab Fadl Ilmu Salaf, hlm. 31
menyebutkan, apa yang telah
disepakati oleh Salaf untuk
ditinggalkan, maka tidak boleh
diamalkan; karena mereka tidak
meninggalkan sesuatu, kecuali atas
dasar ilmu bila sesuatu hal
dimaksud tidak boleh diamalkan.
KESIMPULAN
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabatnya tidak
pernah menggunakan alat tasbih
dalam menghitung dzikirnya; dan ini
merupakan sunnah yang harus
diikuti. Seandainya menggunakan
tasbih merupakan kebaikan, niscaya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabat merupakan
yang pertama sekali melakukannya.
Oleh sebab itu, orang yang paham
dan berakal tidak akan menyelisihi
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menghitung dzikir dengan
jari tangannya, menggantinya
dengan hal-hal yang bid’ah, yaitu
menghitung dzikir dengan tasbih
atau alat penghitung lainnya. Inilah
yang disepakati oleh seluruh ulama
pengikut madzhab, seperti yang
disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. [18]
Alangkah indah pesan Imam Asy
Syafi’i rahimahullah ,”Kami akan
mengikuti sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik
dalam melakukan suatu ibadah atau
dalam meninggalkannya.” Abdullah
bin Umar menambahkan,”Semua
bid’ah adalah sesat, meskipun
manusia memandangnya baik.” [19]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu
Dzaid, Tashih Ad Du’a, Riyad, Daar
Al Ashimah, 1419, hlm. 136.
[2]. Penulis menghadiri kajiannya
dan melihat langsung beliau
mempraktikkan hal tersebut. Hal ini,
kata beliau, hanya sebuah ijtihad
saja, tidak harus begitu. Yang
penting menghitungnya dengan jari
tangan kanan sebagaimana dalam
hadits Rasulullah di atas.
[3]. HR Abu Dawud, Bab tasbih bil
hasha, no. 1502.
[4]. Syaikh Bakar Abu Dzaid
menyebutkan beberapa kitab yang
membahas masalah ini. Diantaranya,
kitab: Al Minhah fi As Subhah; kitab
Al Haawi, II/ 139-144 karangan As
Suyuthi; Nuzhatul Fikar fi Subhati
Adz Dzikr oleh Al Kanawi; Kamus
Taajul Arus pada kalimat “sabaha”;
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam, juz
22/506; Madaarij As Salikiin, Ibnu
Qayyim Al Jauziyah, III/ 120; As
Silsilah Adh Dhaifah, Syaikh Al
Albani, no. 83; Nailul Authar, II/166,
Majalah Al Azhar, Edisi 21 Tahun
1949M hlm. 62-63; Majalah Al Wa’i
Al Islamy, Edisi 308; Fatawa Lajnah
Daimah, no. 2229, 6460, 4300, dan
masih banyak lagi kitab dan media
lainnya yang membahas masalah
tersebut.
[5]. HR Tirmidzi, beliau
berkata,”Hadist ini gharib. Saya
tidak mengetahuinya, kecuali lewat
jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al
Kufi.” Ibnu Hajar dalam kitab At
Taqrib menyebutnya dhaif (lemah),
begitu juga gurunya, Kinanah Maula
Shafiyah didhaifkan oleh Al Adzdi.
[6]. HR Abu Dawud, 4/ 366; At
Tirmidzi, no. 3568 dan
berkata,”Hadits hasan gharib.”
Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa
Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a,
3/ 1584; Al Baihaqi dalam Asy
Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam
Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya.
Semua sanadnya bersumber pada
Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar
menganggapnya “shaduuq”.
[7]. HR Abu Al Qashim Al Jurjaani
dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam
sanadnya terdapat Abdullah bin
Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami
yang sering membuat hadits munkar
dan maudhu. Dan didhaifkan oleh
Syaikh Albani dalam Silsilah,
no.1002.
[8]. Tafsir Karimurrahman, II/ 190
[9]. Sejarah lengkapnya bisa dibaca
di Da’iratul Ma’arif Al Islamiyah, juz
11/233-234; Al Mausu’at Al Arabiyah
Al Muyassarah, 1/958; Al Mausu’at Al
Arabiyah Al Alamiyah, 23/157;
Fatawa Rasyid Ridha, 3/ 435-436,
dan lainnya.
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no.
7657, dalam sanadnya terdapat
jahalah (orang yang tidak diketahui).
[11]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no.
7667 dengan sanad yang shahih.
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu
Waddaah Al Qurthub dalam kitab Al
Bida’ wa An Nahyu ‘Anha, hlm. 12
dengan sanad yang shahih, tetapi
ada inqitha’, karena Ash Shalat tidak
pernah mendengar dari Ibnu
Mas’ud.
[13]. Diriwayatkan oleh Ibnu
Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al
Bida’ Wa An Nahyu ‘Anha, hlm. 11
dengan sanad yang shahih. Juga ada
inqitha’, karena Sayyar tidak pernah
mendengar dari Ibnu Mas’ud.
[14]. Riwayat selengkapnya, lihat
Sunan Ad Darimi, Kitabul
Muqaddimah, hadits no. 206. Juga
disebutkan dalam Tarikh Wasith,
Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al Wasithi.
Syaikh Al Albani menshahihkan
sanad hadits ini dalam As Silsilah
Ash Shahihah, hadits no. 2005.
[15]. Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli
1991), Cet. Kelima, hlm. 20. Untuk
mengetahui hubungan antara
tasawuf dengan agama Hindu, Budha
dan lainnya, lihat di dua kitab Ihsan
Ilahi Dzahir, Mansya’ Wa Al
Mashadir; telah diterjemahkan
dengan judul Sejarah Hitam Tasawuf
Latar Belakang Kesesatan Sufi, oleh
Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah,
2001), Cet.I. dan Dirasatun Fi At
Tashawuf; telah diterjemahkan
dengan judul Tasawuf, Bualan Kaum
Sufi Ataukah Sebuah Konspirasi?
oleh Abu Ihsan Al Atsari, (Jakarta,
Darul Haq, 2001), Cet. I.
[16]. Ingat, riwayat ini bukanlah
hadits, tetapi perkataan Umar bin
Khattab. Lihat Ibnu Katsir IV/ 414
dan Silsilah Adh Dhaifah, no. 1201.
[17]. Shahihul Jami’, I/ 82 no. 100.
[18]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah, 22/506; Al Waabil Ash
Shayyib, Ibnul Qayyim, Fashl 68;
Nailul Authar, Syaukani, II/353 dan
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 11/ 284.
[19]. Lihat kembali bahaya bid’ah, As
Sunnah, Edisi 08/Tahun VII/1424 H
hlm. 31-32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar