Malu Berbuah Mulia
Oleh: Ustadz. Abu Umar Abdillah
Aisyah menceritakan bahwa suatu
hari Rasulullah sedang berbaring di
rumah. Saat itu kaki beliau
tersingkap. Tiba-tiba Abu Bakar
datang meminta izin bertemu. Nabi
mengizinkannya, lalu beliau
berbincang-bincang tanpa merubah
posisi duduknya. Selanjutnya Umar
datang, dan beliau tetap dengan
posisi seperti itu. Lalu ketika Utsman
datang, tiba-tiba Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam duduk
dan merapikan pakaiannya.
Utsman masuk dan ikut berbincang-
bincang dengan mereka. Setelah
mereka keluar, Aisyah bertranya
kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam, “Ketika Abu Bakar masuk,
Anda tidak merapikan posisi,
begitupun ketika Umar masuk, Anda
tidak merubah posisi. Tetapi kenapa
ketika Utsman masuk, Anda duduk
dan merapikan pakaian Anda?”
Kemudian Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda,
ﺃَﻻَ ﺃَﺳْﺘَﺤِﻰ ﻣِﻦْ ﺭَﺟُﻞٍ
ﺗَﺴْﺘَﺤِﻰ ﻣِﻨْﻪُ ﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔُ
“Tidakkah aku malu pada orang yang
malaikat pun malu
kepadanya?!” (HR. Muslim)
Allahu Akbar! Bahkan malaikatpun
malu kepada Utsman.
Malu Berbuah Mulia
Riwayat di atas menunjukkan betapa
bagusnya rasa malu Utsman
radhiyallahu anhu, hingga dalam
riwayat lain Nabi bersabda, “Umatku
yang paling pengasih adalah Abu
Bakar, yang paling tegas dalam
kebenaran adalah Umar, dan yang
paling bagus rasa malunya adalah
Utsman.” (HR Tirmidzi, beliau
mengatakan, “hasan shahih.”)
Ini menunjukkan bahwa sifat malu
menjadi sifat unggulan dari Utsman
bin Affan radhiyallahu ‘anhu,
seorang sahabat yang telah diberi
kabar gembira sebagai ahlul jannah.
Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda,
ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺀُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥِ،
ﻭَﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
Malu termasuk keimanan dan Iman
tempatnya di jannah.” (HR. Tirmidzi,
beliau mengatakan “shahih.”)
Alangkah butuhnya generasi ini akan
sifat malu. Zaman di mana banyak
orang yang bangga
mempertontonkan kebodohannya,
membanggakan dosanya, mengobral
aib dirinya dan memamerkan
auratnya. Zaman di mana pemilik
muka tebal dan telanjang dari rasa
malu justru menjadi figur-figur
publik yang diidolakan. Sifat malu
dipojokkan dengan imej yang tidak
mengenakan; kurang gaul, cemen,
polos, lugu dan berbagai istilah
yang bermaksud menjatuhkan orang
yang masih menjaga sifat malu.
Inilah zaman di mana rasa malu
telah terkikis nyaris habis, seiring
dengan makin tipisnya keimanan
yang berhubungan erat dengan rasa
malu. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
ﺍَﻟْـﺤَﻴَﺎﺀُ ﻭَ ﺍْﻹِﻳْﻤَﺎﻥُ ﻗُﺮِﻧَﺎ
ﺟَﻤِـﻴْﻌًﺎ ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭُﻓِﻊَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ
ﺭُﻓِﻊَ ﺍْﻻَ ﺧَﺮُ .
“Rasa malu dan iman itu satu
rangkaian yang berkelindan, jika
salah satu hilang, maka lenyap pula
yang lain.” (HR al-hakim, Thabrani,
Shahih Jami’ ash-Shaghir)
Pada sisi lain, justru yang
dilestarikan adalah rasa malu yang
salah alamat atau salah pengertian.
Malu mendatangi majlis ilmu, malu
bergabung dengan para fuqara’
untuk shalat berjamaah di masjid,
atau malu dalam mengikuti
kebenaran. Inilah malu salah
sasaran salah pengertian, dan lebih
pas bila disebut dengan gengsi dan
kesombongan.
Adapun sifat malu yang benar, akan
berdampak pada kebaikan dan
tercegahnya dari kemaksiatan.
Hingga Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
ﺍَﻟْـﺤَﻴَﺎﺀُ ﻻَ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﺇِﻻَّ ﺑِﺨَﻴْـﺮٍ
“Malu itu tidak mendatangkan
sesuatu melainkan kebaikan semata-
mata.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lantas apa hakikat sifat malu yang
membuahkan kebaikan dan
kemuliaan bagi pemiliknya?
Ibnu Hibban rahimahullah dalam
Raudhatul ‘Uqaala’ wa Nuzhatul
Fudhala’ mengatakan bahwa malu
atau al-haya’ adalah satu kata yang
mencakup perbuatan menghindari
segala apa yang dibenci.
Sedangkan Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah menjelaskan, “Malu
berasal dari kata hayaah (hidup),
dan ada yang berpendapat bahwa
malu berasal dari kata al-hayaa
(hujan), tetapi makna ini tidak
masyhûr.
Hidup dan matinya hati seseorang
sangat memengaruhi sifat malu
orang tersebut. Begitu pula dengan
hilangnya rasa malu, dipengaruhi
oleh kadar kematian hati dan ruh
seseorang. Sehingga setiap kali hati
hidup, pada saat itu pula rasa malu
menjadi lebih sempurna.”
Lebih jelas lagi, Al-Junaid
rahimahullah berkata, “Rasa malu
yakni ketika seseorang
memperhatikan nikmat lalu
membandingkan dengan keteledoran
(yang diperbuat) sehingga
menimbulkan suatu rasa, yang
kemudian disebut dengan malu.
Hakikat malu ialah sikap yang
memotivasi untuk meninggalkan
keburukan dan mencegah sikap
menyia-nyiakan hak pemiliknya.”
Intinya, rasa malu adalah perangai
yang mendorong seseorang untuk
meninggalkan perbuatan-perbuatan
yang buruk dan tercela, sehingga
mampu menghalangi seseorang dari
melakukan dosa dan maksiat serta
mencegah sikap melalaikan hak
orang lain.”
Inilah rasa malu yang benar,
sebagaimana dikatakan oleh Imam
al-Qurthubi rahimahullah, “Malu
yang dibenarkan adalah malu yang
dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai
bagian dari keimanan dan perintah-
Nya, bukan semata-mata yang
berasal dari gharizah (tabiat). Akan
tetapi, tabiat akan membantu
terciptanya sifat malu yang usahakan
(muktasab), sehingga menjadi tabiat
itu sendiri.”
Malu Kepada Siapa?
Sifat malu yang paling bermanfaat
dan diperintahkan adalah malu
kepada Allah. Yakni ketika seseorang
merasa malu kepada Allah tatkala
tidak mengerjakan perintah-Nya
serta tidak menjauhi larangan-Nya.
Sementara, nikmat Allah yang
tercurah atasnya tak terhitung
banyaknya dan tiap tetes nikmat itu
menuntut dirinya untuk
mensyukurinya.
Bersyukur dengan cara menggunakan
semua nikmat sesuai kehendak
Pemberi. Maka dia malu
menggunakan nikmat untuk
bermaksiat. Ini seperti yang
diungkapkan oleh Hatim bin al-
Asham sebagai salah satu prinsip
hidupnya, “Aku tahu bahwa aku
tidak akan pernah terlepas dari
pengawasan Allah di mana pun aku
berada, karena itu aku malu kepada-
Nya.” Begitu yang disebutkan dalam
Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-
Jauzi.
Buah dari rasa malu kepada Allah
yang benar akan membuahkan
sebagaimana yang disebutkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﺍِﺳْﺘَﺤْﻴُﻮْﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﻖَّ
ﺍﻟْـﺤَﻴَﺎﺀِ، ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﺤْﻰَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﻖَّ ﺍﻟْـﺤَﻴَﺎﺀِ ﻓَﻠْﻴَﺤْﻔَﻆِ
ﺍﻟﺮَّﺃْﺱَ ﻭَﻣَﺎ ﻭَﻋَﻰ ﻭَﺍﻟْﺒَﻄْﻦَ
ﻭَﻣَﺎ ﺣَﻮَﻯ
“Hendaklah kalian malu kepada
Allah dengan sebenar-benar malu.
Barangsiapa yang malu kepada Allah
Azza wa Jalla dengan sebenar-benar
malu, maka hendaklah ia menjaga
kepala dan (pikiran) apa yang ada
padanya, hendaklah ia menjaga
perut dan apa yang masuk ke
dalamnya.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)
Jenis yang kedua adalah malu
kepada orang lain. Rasa malu ini
sangat bermanfaat dan seseorang
akan mendapat pahala karenanya
ketika ia memiliki rasa malu kepada
Allah.
Karena itulah, Imam Ibnu Hibban
rahimahullaah berkata, “Wajib bagi
orang yang berakal untuk bersikap
malu terhadap sesama manusia.
Diantara berkah yang mulia yang
didapat dari membiasakan diri
bersikap malu adalah akan terbiasa
berperilaku terpuji dan menjauhi
perilaku tercela. Disamping itu
berkah yang lain adalah selamat dari
api Neraka, yakni dengan cara
senantiasa malu saat hendak
mengerjakan sesuatu yang dilarang
Allah. Karena, manusia memiliki
tabiat baik dan buruk saat
bermuamalah dengan Allah dan saat
bergaul dengan sesama manusia.
Ketika rasa malunya lebih dominan,
maka kuat pula perilaku baiknya,
dalm lemahlah potensi perilaku
buruknya. Dan sebaliknya, ketika
sikap malu melemah, maka sikap
buruknya menguat dan kebaikannya
meredup.
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya
seseorang apabila bertambah kuat
rasa malunya maka ia akan
melindungi kehormatannya,
mengubur dalam-dalam
kejelekannya, dan menyebarkan
kebaikan-kebaikannya. Siapa yang
hilang rasa malunya, pasti hilang
pula kebahagiaannya; siapa yang
hilang kebahagiaannya, pasti akan
hina dan dibenci oleh manusia;
siapa yang dibenci manusia pasti ia
akan disakiti; siapa yang disakiti
pasti akan bersedih; siapa yang
bersedih pasti memikirkannya; siapa
yang pikirannya tertimpa ujian,
maka sebagian besar ucapannya
menjadi dosa baginya dan tidak
mendatangkan pahala.
Tidak ada obat bagi orang yang tidak
memiliki rasa malu; tidak ada rasa
malu bagi orang yang tidak memiliki
sifat setia; dan tidak ada kesetiaan
bagi orang yang tidak memiliki
kawan. Siapa yang sedikit rasa
malunya, ia akan berbuat
sekehendaknya dan berucap apa saja
yang disukainya.”
Begitulah faedah malu kepada
manusia. Bahkan bagi orang
beriman, rasa malu bisa menjadi
deteksi awal untuk mengendus
status dosa, sebelum nantinya
mengetahui kepastian dari dalil
syar’i. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda,
“Dan dosa itu adalah apa saja yang
meragukan jiwamu dan kamu tidak
suka (malu) memperlihatkannya
pada orang lain.” (HR. Muslim)
Adapun rasa malu yang menghalangi
seseorang untuk berbuat baik
seperti menuntut ilmu, canggung
untuk menampakkan syi’ar Islam,
malu untuk amar ma’ruf nahi
mungkar, maka itu bukanlah rasa
malu yang benar. Dan sebenarnya
itu bukan pengertian malu, tapi
lebih pas disebut minder, pengecut
atau penakut. Meskipun orang-orang
menyebutnya dengan ‘malu’.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar