Jumat, 11 September 2015

Mandi

Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di
antara fungsi niat adalah untuk
membedakan manakah yang menjadi
kebiasaan dan manakah ibadah.
Dalam hal mandi tentu saja mesti
dibedakan dengan mandi biasa.
Pembedanya adalah niat. Dalam
hadits dari ‘Umar bin Al Khattab,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ
“Sesungguhnya setiap amalan
tergantung pada niatnya. ” (HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur
seluruh badan dengan air, yaitu
mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam
banyak hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam . Di antaranya
adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang menceritakan tata cara
mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ﺛُﻢَّ ﻳُﻔِﻴﺾُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﺴَﺪِﻩِ ﻛُﻠِّﻪِ
“Kemudian beliau mengguyur air
pada seluruh badannya. ” (HR. An
Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
“Penguatan makna dalam hadits ini
menunjukkan bahwa ketika mandi
beliau mengguyur air ke seluruh
tubuh.” [1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata,
“Kami saling memperbincangkan
tentang mandi janabah di sisi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
beliau bersabda,
ﺃَﻣَّﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻓَﺂﺧُﺬُ ﻣِﻞْﺀَ ﻛَﻔِّﻰ ﺛَﻼَﺛﺎً ﻓَﺄَﺻُﺐُّ ﻋَﻠَﻰ
ﺭَﺃْﺳِﻰ ﺛُﻢَّ ﺃُﻓِﻴﻀُﻪُ ﺑَﻌْﺪُ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺟَﺴَﺪِﻯ
“Saya mengambil dua telapak
tangan, tiga kali lalu saya siramkan
pada kepalaku, kemudian saya
tuangkan setelahnya pada semua
tubuhku. ” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan bahwa
hanya mengguyur seluruh badan
dengan air itu merupakan rukun
(fardhu) mandi dan bukan selainnya
adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,
ﻗُﻠْﺖُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻧِّﻰ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﺃَﺷُﺪُّ ﺿَﻔْﺮَ
ﺭَﺃْﺳِﻰ ﻓَﺄَﻧْﻘُﻀُﻪُ ﻟِﻐُﺴْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺑَﺔِ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻻَ
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻴﻚِ ﺃَﻥْ ﺗَﺤْﺜِﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻚِ ﺛَﻼَﺙَ
ﺣَﺜَﻴَﺎﺕٍ ﺛُﻢَّ ﺗُﻔِﻴﻀِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻚِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻓَﺘَﻄْﻬُﺮِﻳﻦَ
‏».
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku
seorang wanita yang mengepang
rambut kepalaku, apakah aku harus
membuka kepangku ketika mandi
junub?” Beliau bersabda, “Jangan
(kamu buka). Cukuplah kamu
mengguyur air pada kepalamu tiga
kali, kemudian guyurlah yang lainnya
dengan air, maka kamu telah
suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi rukun
mandi ini, maka mandinya dianggap
sah, asalkan disertai niat untuk
mandi wajib (al ghuslu). Jadi
seseorang yang mandi di pancuran
atau shower dan air mengenai
seluruh tubuhnya, maka mandinya
sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur
(madhmadhoh ), memasukkan air
dalam hidung (istinsyaq ) dan
menggosok-gosok badan ( ad dalk )
adalah perkara yang disunnahkan
menurut mayoritas ulama. [2]
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara
mandi yang disunnahkan . Apabila
hal ini dilakukan, maka akan
membuat mandi tadi lebih
sempurna. Yang menjadi dalil dari
bahasan ini adalah dua dalil yaitu
hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari
Maimunah.
Hadits pertama:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺯَﻭْﺝِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ – ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ – ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻏْﺘَﺴَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺑَﺔِ ﺑَﺪَﺃَ
ﻓَﻐَﺴَﻞَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﻟِﻠﺼَّﻼَﺓِ
، ﺛُﻢَّ ﻳُﺪْﺧِﻞُ ﺃَﺻَﺎﺑِﻌَﻪُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ، ﻓَﻴُﺨَﻠِّﻞُ ﺑِﻬَﺎ
ﺃُﺻُﻮﻝَ ﺷَﻌَﺮِﻩِ ﺛُﻢَّ ﻳَﺼُﺐُّ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﺛَﻼَﺙَ
ﻏُﺮَﻑٍ ﺑِﻴَﺪَﻳْﻪِ ، ﺛُﻢَّ ﻳُﻔِﻴﺾُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻠْﺪِﻩِ
ﻛُﻠِّﻪِ
Dari ‘Aisyah , isteri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam , bahwa jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
junub, beliau memulainya dengan
mencuci kedua telapak tangannya.
Kemudian beliau berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat.
Lalu beliau memasukkan jari-jarinya
ke dalam air, lalu menggosokkannya
ke kulit kepalanya, kemudian
menyiramkan air ke atas kepalanya
dengan cidukan kedua telapak
tangannya sebanyak tiga kali,
kemudian beliau mengalirkan air ke
seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no.
248 dan Muslim no. 316)
Hadits kedua:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻣَﻴْﻤُﻮﻧَﺔُ ﻭَﺿَﻌْﺖُ
ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –
ﻣَﺎﺀً ﻳَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﺑِﻪِ ، ﻓَﺄَﻓْﺮَﻍَ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ،
ﻓَﻐَﺴَﻠَﻬُﻤَﺎ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﺛَﻼَﺛًﺎ ، ﺛُﻢَّ ﺃَﻓْﺮَﻍَ
ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺷِﻤَﺎﻟِﻪِ ، ﻓَﻐَﺴَﻞَ ﻣَﺬَﺍﻛِﻴﺮَﻩُ ، ﺛُﻢَّ
ﺩَﻟَﻚَ ﻳَﺪَﻩُ ﺑِﺎﻷَﺭْﺽِ ، ﺛُﻢَّ ﻣَﻀْﻤَﺾَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻨْﺸَﻖَ ،
ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﻭَﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺛُﻢَّ ﻏَﺴَﻞَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﺛَﻼَﺛًﺎ
، ﺛُﻢَّ ﺃَﻓْﺮَﻍَ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﺴَﺪِﻩِ ، ﺛُﻢَّ ﺗَﻨَﺤَّﻰ ﻣِﻦْ
ﻣَﻘَﺎﻣِﻪِ ﻓَﻐَﺴَﻞَ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa
Maimunah mengatakan, “Aku pernah
menyediakan air mandi untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu beliau menuangkan air
pada kedua tangannya dan mencuci
keduanya dua kali-dua kali atau tiga
kali. Lalu dengan tangan kanannya
beliau menuangkan air pada telapak
tangan kirinya, kemudian beliau
mencuci kemaluannya. Setelah itu
beliau menggosokkan tangannya ke
tanah. Kemudian beliau berkumur-
kumur dan memasukkan air ke dalam
hidung. Lalu beliau membasuh muka
dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali
dan mengguyur seluruh badannya.
Setelah itu beliau bergeser dari
posisi semula lalu mencuci kedua
telapak kakinya (di tempat yang
berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan
Muslim no. 317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat
merinci tata cara mandi yang
disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih
dahulu sebanyak tiga kali sebelum
tangan tersebut dimasukkan dalam
bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
mengatakan, “Boleh jadi tujuan
untuk mencuci tangan terlebih
dahulu di sini adalah untuk
membersihkan tangan dari kotoran …
Juga boleh jadi tujuannya adalah
karena mandi tersebut dilakukan
setelah bangun tidur.” [3]
Kedua: Membersihkan kemaluan dan
kotoran yang ada dengan tangan
kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah
membersihkan kemaluan dengan
menggosokkan ke tanah atau dengan
menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Disunnahkan bagi
orang yang
beristinja’(membersihkan kotoran)
dengan air, ketika selesai, hendaklah
ia mencuci tangannya dengan debu
atau semacam sabun, atau
hendaklah ia menggosokkan
tangannya ke tanah atau tembok
untuk menghilangkan kotoran yang
ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu
yang sempurna seperti ketika hendak
shalat.
Asy Syaukani rahimahullah
mengatakan, “Adapun mendahulukan
mencuci anggota wudhu ketika
mandi itu tidaklah wajib. Cukup
dengan seseorang mengguyur badan
ke seluruh badan tanpa didahului
dengan berwudhu, maka itu sudah
disebut mandi (al ghuslu).” [5]
Untuk kaki ketika berwudhu,
kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits
Maimunah di atas, dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau membasuh anggota
wudhunya dulu sampai membasuh
kepala, lalu mengguyur air ke
seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci
terakhir. Namun hadits ‘Aisyah
menerangkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu secara sempurna (sampai
mencuci kaki), setelah itu beliau
mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama
akhirnya berselisih pendapat
kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat
tentang masalah ini, dua cara yang
disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah bisa sama-sama
digunakan. Yaitu kita bisa saja
mandi dengan berwudhu secara
sempurna terlebih dahulu, setelah
itu kita mengguyur air ke seluruh
tubuh, sebagaimana disebutkan
dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh
jadi kita gunakan cara mandi dengan
mulai berkumur-kumur, memasukkan
air dalam hidup, mencuci wajah,
mencuci kedua tangan, mencuci
kepala, lalu mengguyur air ke
seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci
terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah
mengatakan, “Tata cara mandi
(apakah dengan cara yang disebut
dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah)
itu sama-sama boleh digunakan,
dalam masalah ini ada
kelapangan.” [6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala
sebanyak tiga kali hingga sampai ke
pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala
bagian kanan, lalu kepala bagian
kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha disebutkan,
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
– ﺇِﺫَﺍ ﺍﻏْﺘَﺴَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺑَﺔِ ﻏَﺴَﻞَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ،
ﻭَﺗَﻮَﺿَّﺄَ ﻭُﺿُﻮﺀَﻩُ ﻟِﻠﺼَّﻼَﺓِ ﺛُﻢَّ ﺍﻏْﺘَﺴَﻞَ ، ﺛُﻢَّ ﻳُﺨَﻠِّﻞُ
ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﺷَﻌَﺮَﻩُ ، ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻇَﻦَّ ﺃَﻥْ ﻗَﺪْ ﺃَﺭْﻭَﻯ
ﺑَﺸَﺮَﺗَﻪُ ، ﺃَﻓَﺎﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﺛَﻼَﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍ ، ﺛُﻢَّ
ﻏَﺴَﻞَ ﺳَﺎﺋِﺮَ ﺟَﺴَﺪِﻩِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mandi junub, beliau
mencuci tangannya dan berwudhu
sebagaimana wudhu untuk shalat.
Kemudian beliau mandi dengan
menggosok-gosokkan tangannya ke
rambut kepalanya hingga bila telah
yakin merata mengenai dasar kulit
kepalanya, beliau mengguyurkan air
ke atasnya tiga kali. Lalu beliau
membasuh badan lainnya.” (HR.
Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengatakan,
ﻛُﻨَّﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺻَﺎﺑَﺖْ ﺇِﺣْﺪَﺍﻧَﺎ ﺟَﻨَﺎﺑَﺔٌ ، ﺃَﺧَﺬَﺕْ ﺑِﻴَﺪَﻳْﻬَﺎ
ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻓَﻮْﻕَ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ، ﺛُﻢَّ ﺗَﺄْﺧُﺬُ ﺑِﻴَﺪِﻫَﺎ ﻋَﻠَﻰ
ﺷِﻘِّﻬَﺎ ﺍﻷَﻳْﻤَﻦِ ، ﻭَﺑِﻴَﺪِﻫَﺎ ﺍﻷُﺧْﺮَﻯ ﻋَﻠَﻰ ﺷِﻘِّﻬَﺎ
ﺍﻷَﻳْﺴَﺮِ
“Jika salah seorang dari kami
mengalami junub, maka ia
mengambil air dengan kedua
tangannya dan disiramkan ke atas
kepala, lalu mengambil air dengan
tangannya dan disiramkan ke bagian
tubuh sebelah kanan, lalu kembali
mengambil air dengan tangannya
yang lain dan menyiramkannya ke
bagian tubuh sebelah kiri .” (HR.
Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada
seluruh badan dimulai dari sisi yang
kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –
ﻳُﻌْﺠِﺒُﻪُ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻦُ ﻓِﻰ ﺗَﻨَﻌُّﻠِﻪِ ﻭَﺗَﺮَﺟُّﻠِﻪِ ﻭَﻃُﻬُﻮﺭِﻩِ
ﻭَﻓِﻰ ﺷَﺄْﻧِﻪِ ﻛُﻠِّﻪِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa mendahulukan yang kanan
ketika memakai sendal, ketika
bersisir, ketika bersuci dan dalam
setiap perkara (yang baik-baik) .”
(HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no.
268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di
sini cukup sekali saja sebagaimana
zhohir (tekstual) hadits yang
membicarakan tentang mandi. Inilah
salah satu pendapat dari madzhab
Imam Ahmad dan dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [7]
Bagaimanakah Tata Cara Mandi
pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita
sama dengan tata cara mandi yang
diterangkan di atas sebagaimana
telah diterangkan dalam hadits
Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai
Rasulullah, aku seorang wanita yang
mengepang rambut kepalaku, apakah
aku harus membuka kepangku ketika
mandi junub ?” Beliau bersabda,
“Jangan (kamu buka). Cukuplah
kamu mengguyur air pada kepalamu
tiga kali, kemudian guyurlah yang
lainnya dengan air, maka kamu telah
suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas,
tata caranya sama dengan mandi
junub namun ditambahkan dengan
beberapa hal berikut ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan
pembersih lainnya beserta air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha ,
ﺃَﻥَّ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀَ ﺳَﺄَﻟَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
-ﻢﻠﺳﻭ ﻋَﻦْ ﻏُﺴْﻞِ ﺍﻟْﻤَﺤِﻴﺾِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﺗَﺄْﺧُﺬُ
ﺇِﺣْﺪَﺍﻛُﻦَّ ﻣَﺎﺀَﻫَﺎ ﻭَﺳِﺪْﺭَﺗَﻬَﺎ ﻓَﺘَﻄَﻬَّﺮُ ﻓَﺘُﺤْﺴِﻦُ
ﺍﻟﻄُّﻬُﻮﺭَ ﺛُﻢَّ ﺗَﺼُﺐُّ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﻓَﺘَﺪْﻟُﻜُﻪُ ﺩَﻟْﻜًﺎ
ﺷَﺪِﻳﺪًﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺒْﻠُﻎَ ﺷُﺌُﻮﻥَ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﺼُﺐُّ
ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ. ﺛُﻢَّ ﺗَﺄْﺧُﺬُ ﻓِﺮْﺻَﺔً ﻣُﻤَﺴَّﻜَﺔً
ﻓَﺘَﻄَﻬَّﺮُ ﺑِﻬَﺎ ‏». ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀُ ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﺗَﻄَﻬَّﺮُ
ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻄَﻬَّﺮِﻳﻦَ ﺑِﻬَﺎ ‏».
ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ ﻛَﺄَﻧَّﻬَﺎ ﺗُﺨْﻔِﻰ ﺫَﻟِﻚَ ﺗَﺘَﺒَّﻌِﻴﻦَ ﺃَﺛَﺮَ
.ِﻡَّﺪﻟﺍ ﻭَﺳَﺄَﻟَﺘْﻪُ ﻋَﻦْ ﻏُﺴْﻞِ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺑَﺔِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏«
ﺗَﺄْﺧُﺬُ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺘَﻄَﻬَّﺮُ ﻓَﺘُﺤْﺴِﻦُ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮﺭَ – ﺃَﻭْ
ﺗُﺒْﻠِﻎُ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮﺭَ – ﺛُﻢَّ ﺗَﺼُﺐُّ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ
ﻓَﺘَﺪْﻟُﻜُﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺒْﻠُﻎَ ﺷُﺌُﻮﻥَ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗُﻔِﻴﺾُ
ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ‏»
“Asma’ bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
mandi wanita haidh. Maka beliau
bersabda, “Salah seorang dari kalian
hendaklah mengambil air dan daun
bidara, lalu engkau bersuci, lalu
membaguskan bersucinya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air
pada kepalanya, lalu menggosok-
gosoknya dengan keras hingga
mencapai akar rambut kepalanya.
Kemudian hendaklah engkau
menyiramkan air pada kepalanya
tadi. Kemudian engkau mengambil
kapas bermisik, lalu bersuci
dengannya. Lalu Asma’ berkata,
“Bagaimana dia dikatakan suci
dengannya?” Beliau bersabda,
“Subhanallah, bersucilah kamu
dengannya.” Lalu Aisyah berkata -
seakan-akan dia menutupi hal
tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas
darah haidh yang ada (dengan kapas
tadi)” . Dan dia bertanya kepada
beliau tentang mandi junub, maka
beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu
mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau
bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada
kepala, lalu memijatnya hingga
mencapai dasar kepalanya, kemudian
mencurahkan air padanya’. ” (HR.
Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)
Kedua: Melepas kepangan sehingga
air sampai ke pangkal rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang
telah lewat,
ﺛُﻢَّ ﺗَﺼُﺐُّ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﻓَﺘَﺪْﻟُﻜُﻪُ ﺩَﻟْﻜًﺎ ﺷَﺪِﻳﺪًﺍ
ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺒْﻠُﻎَ ﺷُﺌُﻮﻥَ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ
“Kemudian hendaklah kamu
menyiramkan air pada kepalanya,
lalu menggosok-gosoknya dengan
keras hingga mencapai akar rambut
kepalanya.” Dalil ini menunjukkan
tidak cukup dengan hanya
mengalirkan air seperti halnya
mandi junub. Sedangkan mengenai
mandi junub disebutkan,
ﺛُﻢَّ ﺗَﺼُﺐُّ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﻓَﺘَﺪْﻟُﻜُﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺒْﻠُﻎَ
ﺷُﺌُﻮﻥَ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗُﻔِﻴﺾُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ
“Kemudian kamu siramkan air pada
kepala, lalu memijatnya hingga
mencapai dasar kepalanya, kemudian
mengguyurkan air padanya. ”
Dalam mandi junub tidak disebutkan
“menggosok-gosok dengan keras ”.
Hal ini menunjukkan bedanya mandi
junub dan mandi karena haidh/
nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa
haidh, seorang wanita disunnahkan
membawa kapas atau potongan kain
untuk mengusap tempat keluarnya
darah guna menghilangkan sisa-
sisanya. Selain itu, disunnahkan
mengusap bekas darah pada
kemaluan setelah mandi dengan
minyak misk atau parfum lainnya.
Hal ini dengan tujuan untuk
menghilangkan bau yang tidak enak
karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat
tentang hal ini,
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ -ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
-ﻢﻠﺳﻭ ﻛَﺎﻥَ ﻻَ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “ Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berwudhu setelah selesai
mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An
Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579,
Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ:ﻭَﺃَﻱُّ
ﻭُﺿُﻮﺀٍ ﺃَﻋَﻢُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ؟
Beliau ditanya mengenai wudhu
setelah mandi. Lalu beliau
menjawab, “Lantas wudhu yang
mana lagi yang lebih besar dari
mandi? ” (HR. Ibnu Abi Syaibah
secara marfu’ dan mauquf[8] )
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “ Para
ulama tidak berselisih pendapat
bahwa wudhu telah masuk dalam
mandi.” Ibnu Baththol juga telah
menukil adanya ijma’ (kesepakatan
ulama) dalam masalah ini.[9]
Penjelasan ini adalah sebagai alasan
yang kuat bahwa jika seseorang
sudah berniat untuk mandi wajib,
lalu ia mengguyur seluruh badannya
dengan air, maka setelah mandi ia
tidak perlu berwudhu lagi, apalagi
jika sebelum mandi ia sudah
berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan
dengan Handuk Setelah Mandi?
Di dalam hadits Maimunah
disebutkan mengenai tata cara
mandi, lalu diakhir hadits
disebutkan,
ﻓَﻨَﺎﻭَﻟْﺘُﻪُ ﺛَﻮْﺑًﺎ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺄْﺧُﺬْﻩُ ، ﻓَﺎﻧْﻄَﻠَﻖَ ﻭَﻫْﻮَ
ﻳَﻨْﻔُﺾُ ﻳَﺪَﻳْﻪِ
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai
pengering) tetapi beliau tidak
mengambilnya, lalu beliau pergi
dengan mengeringkan air dari
badannya dengan tangannya ” (HR.
Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits
ini, sebagian ulama memakruhkan
mengeringkan badan setelah mandi.
Namun yang tepat, hadits tersebut
bukanlah pendukung pendapat
tersebut dengan beberapa alasan:
1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika itu masih
mengandung beberapa
kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak
mengambil kain (handuk) tersebut
karena alasan lainnya yang bukan
maksud untuk memakruhkan
mengeringkan badan ketika itu.
Boleh jadi kain tersebut mungkin
sobek atau beliau buru-buru saja
karena ada urusan lainnya.
2. Hadits ini malah menunjukkan
bahwa kebiasaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
mengeringkan badan sehabis mandi.
Seandainya bukan kebiasaan beliau,
maka tentu saja beliau tidak
dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan
menunjukkan bahwa mengeringkan
air dengan kain bukanlah makruh
karena keduanya sama-sama
mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air
dengan kain (handuk) tidaklah
mengapa.[10]
Demikian pembahasan kami seputar
mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di
atas juga berlaku untuk mandi yang
sunnah yang akan kami jelaskan
pada tulisan selanjutnya (serial
ketiga atau terakhir).
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Selesai susun di wisma MTI, 7
Jumadits Tsani 1431 H (20/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar