Jumat, 18 September 2015

Menutup aib sendiro dan orang lain

Menutup Aib diri Sendiri dan Orang
lain
Oleh Ust. H. Zulhamdi M. Saad, Lc
Usai shalat ashar di masjid Quba,
seorang sahabat mengundang
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam beserta jamaah untuk
menikmati hidangan daging unta di
rumahnya. Ketika sedang makan, ada
tercium aroma tidak sedap. Rupanya
diantara yang hadir ada yang buang
angin. Para sahabat saling menoleh.
Wajah Rasulullah sedikit berubah
tanda tidak senang. Maka tatkala
waktu sholat maghrib hampir masuk,
sebelum bubar, Rasulullah berkata:
"Barangsiapa yang makan daging
unta, hendaklah ia berwudhu!".
Mendengar perintah Rasulullah
tersebut maka seluruh jamaah
mengambil air wudhu. Dan
terhindarlah aib orang yang buang
angin tadi.
Aib adalah suatu cela atau kondisi
yang tidak baik tentang seseorang
jika diketahui oleh orang lain akan
membuat rasa malu, rasa malu ini
membawa kepada efek sikologi yang
negatif jika tersebar.
Namun banyak kita dapati di tengah
keseharian kita, pembicaraan dan
obrolan itu sepertinya tidak asyik
kalau tidak membicarakan aib, cacat
dan kekurangan yang ada pada
orang lain, padahal obrolan itu
bukanlah perkara ringan dalam
pandangan Islam.
Ajaran Islam melarang keras aib
seseorang diceritakan, dan tidak
boleh sekali-kali menyebarkan
tentang apa atau bagaimana kondisi
yang tidak baik tentang seseorang,
bahkan islam mengajarkan untuk
menutupinya. Allah berfirman dalam
Surat Al Hujarat ayat 12 yang
artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman!
Jauhilah kebanyakan dari prasangka,
karena sesungguhnya sebagian dari
prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mengintip atau
mencari-cari kesalahan dan aib
orang lain; dan janganlah kamu
mengumpat sebagian yang lain.
Apakah seseorang dari kamu suka
memakan daging saudaranya yang
telah mati? Maka sudah tentu kamu
jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah
larangan-larangan yang tersebut)
dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang."
Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda yang artinya:
"Wahai orang yang beriman dengan
lisannya, tetapi tidak beriman
dengan hatinya. Janganlah kamu
mengumpat kaum muslimin dan
janganlah mengintip aib mereka,
maka barang siapa yang mengintip
aib saudaranya, niscaya Allah akan
mengintip aibnya dan siapa yang
diintip Allah akan aibnya, maka
Allah akan membuka aibnya
meskipun dirahasiakan di lubang
kendaraannya." (HR. at-Tirmidzi)
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam juga melarang seseorang
untuk membuka aib dirinya sendiri
kepada orang lain, sebagaimana
sabdanya: "Setiap umatku dimaafkan
kecuali orang yang terang-terangan
(melakukan maksiat). Dan termasuk
terang-terangan adalah seseorang
yang melakukan perbuatan maksiat
di malam hari, kemudian di paginya
ia berkata: wahai fulan, kemarin aku
telah melakukan ini dan itu –
padahal Allah telah menutupnya-
dan di pagi harinya ia membuka
tutupan Allah atas dirinya." (HR.
Bukhori Muslim)
Sebaliknya, Rasulullah memberikan
kabar gembira bagi orang-orang yang
menutup aib saudara-saudara
mereka, dengan menutup aib mereka
di dunia dan akhirat, seperti dalam
hadits shahih: "Dan barangsiapa
yang menutup aib seorang muslim,
niscaya Allah menutup aibnya di
dunia dan akhirat." (HR. Muslim)
Adapun aib yang ada pada
seseorang bisa dibagi menjadi dua
kategori:
Pertama, aib yang sifatnya khalqiyah,
yaitu aib yang sifatnya qodrati dan
bukan merupakan perbuatan
maksiat. Seperti cacat di salah satu
organ tubuh atau penyakit yang
membuatnya malu jika diketahui
oleh orang lain.
Aib seperti ini adalah aurat yang
harus dijaga, tidak boleh disebarkan
atau dibicarakan, baik secara terang-
terangan atau dengan gunjingan,
karena perbuatan tersebut adalah
dosa besar menurut mayoritas
ulama, karena aib yang sifatnya
penciptaan Allah yang manusia tidak
memiliki kuasa menolaknya, maka
menyebarkannya berarti menghina
dan itu berarti menghina
Penciptanya. (Imam al Ghazali dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin).
Kedua, aib berupa perbuatan
maksiat, baik yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi atau terang-
terangan.  Maksiat yang dilakukan
sembunyi-sembunyi juga terbagi
menjadi dua:
Pertama: Perbuatan maksiat yang
hanya merusak hubungannya secara
pribadi dengan Allah seperti minum
khamr, berzina dll. Jika seorang
muslim mendapati saudaranya
melakukan perbuatan seperti ini
hendaklah ia tidak menyebarluaskan
hal tersebut, namun dia tetap
memiliki kewajiban untuk melakukan
amar ma'ruf dan nahi mungkar.
Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang
menasehati saudaranya dengan
tetap menjaga kerahasiaannya
berarti dia benar-benar
menasehatinya dan memperbaikinya.
Sedang yang menasehati tanpa
menjaga kerahasiaannya, berarti
telah mengekspos aibnya dan
mengkhianatinya." (Syarh Shahih
Muslim, Imam an Nawawi).
Kedua: Perbuatan maksiat yang
dilakukan sembunyi-sembunyi tapi
merugikan orang lain seperti
mencuri, korupsi dan lain
sebagainya. Maka perbuatan seperti
ini diperbolehkan untuk diselidiki
dan diungkap, karena hal ini sangat
berbahaya jika dibiarkan, karena
akan lebih banyak lagi merugikan
orang lain.
Sebuah kisah masyhur yang ditulis
oleh Imam Ibnu Qudamah dalam
kitab "Tawwabin" dapat dijadikan
pelajaran bagi kita untuk menutup
aib diri sendiri dan aib orang lain
serta mengakuinya dihadapan Allah
dengan bertaubat atas dosa
tersebut.
Disebutkan bahwa pada zaman nabi
Musa 'alaihis salam, Bani Israil
ditimpa musim kemarau yang
berkepanjangan. Mereka pun
berkumpul mendatangi Nabi mereka.
Mereka berkata , "Wahai Kaliimallah,
berdoalah kepada Rabbmu agar Dia
menurunkan hujan kepada kami."
Maka berangkatlah nabi Musa
'alaihis salam bersama kaumnya
menuju padang pasir yang luas
bersama lebih dari 70 ribu orang.
Mulailah mereka berdoa dengan
kondisi yang lusuh penuh debu,
haus dan lapar.
Musa berdoa, "Wahai Tuhan kami
turunkanlah hujan kepada kami,
tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah
anak-anak dan orang-orang yang
mengandung, hewan-hewan dan
orang-orang tua yang rukuk dan
sujud."
Setelah itu langit tetap saja terang
benderang, matahari pun bersinar
makin kemilau. Kemudian Musa
berdoa lagi, "Wahai Tuhanku berilah
akmi hujan".
Allah pun berfirman kepada Musa,
"Bagaimana Aku akan menurunkan
hujan kepada kalian sedangkan di
antara kalian ada seorang hamba
yang bermaksiat sejak 40 tahun yang
lalu. Keluarkanlah ia di depan
manusia agar dia berdiri di depan
kalian semua. Karena dialah, Aku
tidak menurunkan hujan untuk
kalian. "
Maka Musa pun berteriak di tengah-
tengah kaumnya, "Wahai hamba
yang bermaksiat kepada Allah sejak
40 tahun, keluarlah ke hadapan
kami, karena engkaulah hujan tak
kunjung turun."
Seorang laki-laki melirik ke kanan
dan kiri, maka tak seorang pun yang
keluar di depan manusia, saat itu
pula ia sadar kalau dirinyalah yang
dimaksud.
Ia berkata dalam hatinya, "Kalau aku
keluar ke depan manusia, maka akan
terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak
berterus terang, maka hujan pun tak
akan turun. "
Maka kepalanya tertunduk malu dan
menyesal, air matanya pun menetes,
sambil berdoa kepada Allah, "Ya
Allah, Aku telah bermaksiat
kepadamu selama 40 tahun, selama
itu pula Engkau menutupi aibku.
Sungguh sekarang aku bertobat
kepada-Mu, maka terimalah
taubatku. "
Belum sempat ia mengakhiri doanya
maka awan-awan tebalpun
bergumpal, semakin tebal
menghitam lalu turunlah hujan.
Nabi Musa pun keheranan dan
berkata, "Ya Allah, Engkau telah
turunkan hujan kepada kami, namun
tak seorang pun yang keluar di
depan manusia."
Allah berfirman, "Aku menurunkan
hujan karena seorang hamba yang
karenanya hujan tak kunjung turun."
Musa berkata, "Ya Allah, Tunjukkan
padaku hamba yang taat itu."
Allah berfirman, "Wahai Musa, Aku
tidak membuka aibnya padahal ia
bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku
membuka akan aibnya sedangkan ia
taat kepada-Ku?!"
Setiap orang pasti memiliki
kekurangan, cela dan dosa tertentu
pada dirinya, maka suatu aib yang
ada pada seseorang dapat dijadikan
pelajaran bagi orang lain untuk
dapat belajar dan memperbaiki diri
agar tidak melakukan hal serupa
yang akan menimpa dirinya dan
orang lain akibat perbuatannya
tersebut.
Maka beruntung dan berbahagialah
orang yang disibukkan oleh aibnya
sendiri dari disibukkan dengan aib
orang lain. Begitulah Rasulullah Saw
menyampaikan dalam sabdanya:
"Berbahagialah orang yang
disibukkan dengan aibnya sendiri,
sehingga ia tidak sempat
memperhatikan aib orang lain." (HR
Al-Bazzar dengan Sanad hasan).
Sungguh indahnya ajaran Islam yang
menuntun kita agar menjaga aib kita
sendiri dan menjaga aib orang lain,
dan terus berupaya memperbaiki
diri. Wallahu a'lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar