Minggu, 06 September 2015

Apa hukumnya donor darah?

Apa hukumnya donor darah?
Alhamdulillah, Syaikh Al-Allamah
Muhammad bin Ibrahim Aali Syaikh
rahimahullah secara khusus
menjawab pertanyaan di atas
sebagai berikut:
Ada tiga perkara yang harus
dibicarakan untuk menjawab
pertanyaan di atas:
Pertama: Siapakah orang yang
menerima darah yang didonorkan
itu?
Kedua: Siapakah orang yang
mendonorkan darahnya itu?
Ketiga: Instruksi siapakah yang
dipegang dalam pendonoran darah
itu?
Masalah pertama: Yang boleh
menerima darah yang didonorkan
adalah orang yang berada dalam
keadaan kritis karena sakit ataupun
terluka dan sangat memerlukan
tambahan darah. Dasarnya adalah
firman Allah Ta'ala:
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang
(yang ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. (QS. 2:173)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Maka barangsiapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa,sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. 5:3)
Dalam ayat lain Allah juga
berfirman:
"Dan sungguh telah dijelaskan
kepadamu apa-apa yang diharamkan
atasmu kecuali yang terpaksa kamu
memakannya."
Bentuk pengambilan dalil dari ayat
di atas bahwasanya jikalau
keselamatan jiwa pasien karena sakit
atau luka sangat tergantung kepada
darah yang didonorkan oleh orang
lain dan tidak ada zat makanan atau
obat-obatan yang dapat
menggantikannya untuk
menyelamatkan jiwanya maka
dibolehkan mendonorkan darah
kepadanya. Dan hal itu dianggap
sebagai pemberian zat makanan
bagi si pasien bukan sebagai
pemberian obat. Dan memakan
makanan yang haram dalam kondisi
darurat boleh hukumnya, seperti
memakan bangkai bagi orang yang
terpaksa memakannya.
Kedua: Boleh mendonorkan darah
jika tidak menimbulkan bahaya dan
akibat buruk terhadap si pendonor
darah, berdasarkan hadits Nabi
Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
"Tidak boleh melakukan sesuatu
yang membahayakan jiwa dan tidak
boleh pula membahayakan orang
lain."
Ketiga: Instruksi yang dipegang
dalam pendonoran darah itu adalah
instruksi seorang dokter muslim. Jika
tidak ada, maka kelihatannya tidak
ada larangan mengikuti instruksi
dokter non muslim, baik dokter itu
Yahudi, Nasrani ataupun selainnya.
Dengan catatan ia adalah seorang
yang ahli dalam bidang kedokteran
dan dipercaya banyak orang.
Dasarnya adalah sebuah riwayat
dalam kitab Ash-Shahih bahwasanya
Rasulullah menyewa seorang lelaki
dari Bani Ad-Diel sebagai khirrit
sementara ia masih memeluk agama
kaum kafir Quraisy. Khirrit adalah
penunjuk jalan (guide) yang mahir
dan mengenal medan. (H.R Al-
Bukhari No:2104)
Silakan lihat fatwa Syaikh
Muhammad bin Ibrahim.
Lembaga tertinggi Majelis Ulama
juga mengeluarkan fatwa berkenaan
dengan masalah ini sebagai berikut:
Pertama: Boleh hukumnya
mendonorkan darah selama tidak
membahayakan jiwanya dalam
kondisi yang memang dibutuhkan
untuk menolong kaum muslimin
yang benar-benar membutuhkannya.
Kedua: Boleh hukumnya mendirikan
Bank donor darah Islami untuk
menerima orang-orang yang bersedia
mendonorkan darahnya guna
menolong kaum muslimin yang
membutuhkannya. Dan hendaknya
bank tersebut tidak menerima
imbalan harta dari si sakit ataupun
ahli waris dan walinya sebagai ganti
darah yang di donorkan. Dan tidak
dibolehkan menjadikan hal itu
sebagai lahan bisnis untuk mencari
keuntungan, karena hal itu berkaitan
dengan kemaslahatan umum kaum
muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar