Ketika Ukhuwah
Hampir Punah
Oleh: Ust. Abu Fatiah Al-Adnani
Dari Abu Hurairah , Rasulullah
bersabda:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﺎ ﺗَﺬْﻫَﺐُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ
ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺄْﺗِﻲَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳَﻮْﻡٌ ﻟَﺎ
ﻳَﺪْﺭِﻱ ﺍﻟْﻘَﺎﺗِﻞُ ﻓِﻴﻢَ ﻗَﺘَﻞَ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻤَﻘْﺘُﻮﻝُ
ﻓِﻴﻢَ ﻗُﺘِﻞَ ﻓَﻘِﻴﻞَ ﻛَﻴْﻒَ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺫَﻟِﻚَ
ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ ﺍﻟْﻘَﺎﺗِﻞُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻘْﺘُﻮﻝُ ﻓِﻲ
ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Demi Dzat yang jiwaku ini
berada dalam genggaman-Nya,
dunia ini tidak akan musnah
sehingga orang-orang saling
bunuh satu sama lain tanpa
mengetahui apa penyebabnya.
Demikian juga orang yang
dibunuh, dia tidak tahu apa
penyebabnya sehingga dia
harus dibunuh.” Maka,
ditanyakanlah kepada beliau,
“Bagaimana mungkin hal itu
bisa terjadi?” Beliau menjawab,
“Itulah al-harj, yang membunuh
dan yang dibunuh sama-sama
di neraka” ( HR. Muslim, Al-
Fitan , hadits no. 2908 [Muslim
bi Syarh An-Nawawi (9/230)]
Di masa kenabian, di saat para
sahabat hidup di bawah
naungan sunnah yang kokoh,
maka tali ukhuwah imaniyah
mampu mengikat hati-hati
mereka satu sama lainnya.
Mereka layaknya saudara
kandung. Rasulullah
menggambarkan seperti jasad
yang satu, yang bila ada
anggota tubuhnya terluka atau
tersakiti maka anggota tubuh
lainnya pasti akan ikut
merasakannya.
Namun Rasulullah juga
mengabarkan akan datangnya
fitnah yang akan mencerai-
beraikan tali ukhuwah, bahkan
sampai berujung pada
penumpahan darah sesama
mereka. Para ulama dan ahli
sejarah menyepakati bahwa
awal mula pertumpahan darah
sesama umat Islam dimulai
setelah wafatnya Umar bin
Khattab, tepatnya di masa
Usman bin Affan.
Hudzaifah berkata: Saat itu
kami sedang duduk-duduk
bersama Umar. Maka
berkatalah Umar, “Siapakah di
antara kalian yang tahu betul
terhadap sabda Rasulullah
yang berkaitan dengan fitnah?”
Maka aku pun menjawab,
“Akulah orangnya.” Maka, Umar
berkara, “Sungguh, engkau
terhadap masalah ini termasuk
orang yang berani.” Maka aku
pun langsung mengatakan
permasalah itu di hadapannya,
“(Ketahuilah), fitnah yang
menimpa seorang laki-laki
terkait keluarga, harta, anak,
atau tetangganya dapat dilebur
dengan shalat, puasa, sedekah,
dan melakukan amar makruf
dan nahi munkar.” Umar
berkata, “Bukan itu yang aku
maksudkan, tetapi fitnah yang
menerpa (umat Islam) laksana
gelombang samudera.” Maka
Hudzaifah berkata, “(Tenang
saja) engkau tidak akan
mengalami pedihnya fitnah itu,
wahai Amirul Mukminin, karena
antara fitnah itu dan diri Anda
terdapat pintu yang tertutup
(yang menghalanginya).” Umar
balik bertanya, “Apakah pintu
tersebut akan terbuka atau
didobrak?’ Hudzaifah
menjawab, “Pintu tersebut akan
didobrak secara paksa.” Kami
(perawi) pun berkata, “Apakah
Umar juga mengetahui ‘pintu’
itu?” Hudzaifah menjawab, “Iya,
dia pun juga mengetahuinya
seperti siang yang akan
mendahului malam. Ketahuilah,
aku tidak menceritakan hal ini
dengan mengada-ada. Biarkan
aku pergi untuk bertanya
langsung kepada Hudzaifah.
Maka kami pun menyuruh
Masruq untuk menanyakannya,
maka Hudzaifah pun menjawab,
‘Pintu itu adalah Umar’.” [(HR.
Al-Bukhari, bab: Mawâqit Ash-
Shalah , hadits no. 525 [Fath Al-
Bâri (2/11)]. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam
Muslim: Bab Al-Fitan wa Al-
Malâhim , hadits no. 144
[Muslim bi Syarh An-Nawawi
(9/215)]
Riwayat di atas menjelaskan
bahwa Umar adalah batas akhir
sebelum datangnya fitnah yang
akan menimpa kaum muslimin.
Maka sejak terbunuhnya Usman
bin Affan, fitnah peperangan
dan pembunuhan antar sesama
muslim akan terus berlangsung
hingga kiamat.
Bersikap yang benar saat
zaman fitnah itu datang
Sebuah karunia yang sangat
agung saat Allah menyatukan
hati-hati kaum muslimin dalam
melawan musuh musuhnya.
Inilah yang kita saksikan atas
umat Islam di negeri Syam,
ketika mereka ditimpa
kedzaliman dan keganasan
musuh musuhnya dari kalangan
Syi’ah Nushairiah. Ribuan umat
Islam bangkit dan berbondong-
bondong berhijrah menuju
negeri yang dijanjikan penuh
keberkahan itu. Dan secara
perlahan, umat Islam bangkit
dari ketertindasan. Sementara
kemenangan demi kemenangan
terus mereka raih atas musuh-
musuhnya.
Namun kegembiraan itu tidak
berjalan panjang. Tiba-tiba kita
dikejutkan dengan perselisihan
antar umat Islam, antar para
mujahid yang di tangan mereka
tergenggam senjata. Maka
perjuangan umat Islam
melawan musuh-musuhnya
ternoda dengan darah-darah
yang tertumpah oleh sesama
mereka. Lebih menyedihkan
bahwa perselisihan itu tidak
hanya menimpa kepada mereka
yang berada di medan konflik,
namun juga melebar melalui
berbagai jejaring sosial di
seluruh dunia. Perang darah
itu meluas hingga perang tinta
di dunia maya. Kehormatan
para mujahid itu tercoreng oleh
lisan-lisan umat Islam yang
terseret badai fitnah yang
bertiup kencang. Masing-
masing terjebak pada fanatisme
pembelaan kelompok idolanya.
Setiap orang dengan gadget di
tangannya terlalu bebas untuk
membuat statemen yang
menciderai kehormatan para
ulama dan syuhada.
Sungguh, mereka yang lisan
dan tangannya Allah
selamatkan dari menodai
kehormatan saudaranya adalah
manusia yang paling beruntung
di saat badai fitnah itu datang.
Jika dia termasuk yang
dikaruniai Allah kemampuan
untuk mendamaikan dua
saudaranya yang bertikai, maka
itu adalah sebesar-besar
karunia dan seagung-agung
pahala. Namun jika ia bukan
termasuk di dalamnya, maka
berdoa untuk kebaikan kaum
muslimin dan berupaya
menahan lisan dan tangannya
dari menodai kehormatan
mereka adalah pilihan yang
terpuji. Rasulullah
mengingatkan:
“Sungguh, nanti akan terjadi
fitnah di mana orang yang tidur
lebih baik daripada orang yang
duduk, orang yang duduk lebih
baik daripada orang yang
berdiri, orang yang berdiri
lebih baik daripada orang yang
berjalan, dan orang yang
berjalan lebih baik daripada
orang yang berlari.” Abu Bakrah
bertanya, “Apa yang Anda
perintahkan kepadaku jika aku
menemui hal semacam itu?”
Beliau menjawab, “Barangsiapa
yang mempunyai unta
hendaknya dia pergi dengan
untanya, barangsiapa yang
memiliki kambing hendaknya
dia pergi dengan membawa
kambingnya, dan barangsiapa
yang mempunyai tanah
hendaknya dia pergi dengan
membawa hasil penjualan
tanahnya. Namun bagi mereka
yang tidak mempunyai apa-apa
hendaknya dia menghantamkan
pedangnya pada batu keras
(agar rusak-edt) kemudian
menyelamatkan diri
semampunya.” HR. Muslim, Al-
Fitan , hadits no. 2887 [Muslim
bi Syarh An-Nawawi (9/208)].
Abu Dawud, Al-Fitan wa Al-
Malâh im, hadits no. 4238 [‘Aun
Al-Ma‘bûd (11/335)]
Ya, menyibukkan diri dengan
amal shalih yang sesuai dengan
bidang dan kemampuannya
dengan tetap berupaya
memberi manfaat kepada umat
yang sebanyak-banyaknya
adalah di antara pilihan amal
yang terbaik. Allah tidak akan
menuntut kita di luar batas
kemampuan kita. Semoga Allah
menyatukan hati hati kaum
muslimin dan menaungi mereka
dengan rahmat-Nya. Amiiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar