Senin, 10 Agustus 2015

Menuntut ilmu

Setiap Muslim
Wajib
Mempelajari
Agama
Wajib bagi setiap muslim
untuk mempelajari
agamanya, apapun
profesinya.

Karena Rasul
shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
”Menuntut ilmu itu wajib
atas setiap muslim”. (HR.
Ibnu Majah. Dinilai shahih
oleh Syaikh Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan
Ibnu Majah no. 224)

Salah satu fenomena yang cukup
memprihatinkan pada zaman kita
saat ini adalah rendahnya semangat
dan motivasi untuk menuntut ilmu
agama. Ilmu agama seakan menjadi
suatu hal yang remeh dan
terpinggirkan bagi mayoritas kaum
muslimin. Berbeda halnya dengan
semangat untuk mencari ilmu dunia.
Seseorang bisa jadi mengorbankan
apa saja untuk meraihnya. Kita
begitu bersabar menempuh
pendidikan mulai dari awal di
sekolah dasar hingga puncaknya di
perguruan tinggi demi mencari
pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Mayoritas umur, waktu dan
harta kita, dihabiskan untuk
menuntut ilmu dunia di bangku
sekolah. Bagi yang menuntut ilmu
sampai ke luar negeri, mereka
mengorbankan segala-galanya demi
meraih ilmu dunia: jauh dari
keluarga, jauh dari kampung
halaman, dan sebagainya. Lalu,
bagaimana dengan ilmu agama?
Terlintas dalam benak kita untuk
serius mempelajarinya pun mungkin
tidak. Apalagi sampai mengorbankan
waktu, harta dan tenaga untuk
meraihnya. Tulisan ini kami
maksudkan untuk mengingatkan diri
kami pribadi dan para pembaca
bahwa menuntut ilmu agama adalah
kewajiban yang melekat atas setiap
diri kita, apa pun latar belakang
profesi dan pekerjaan kita.
Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
Sebagian di antara kita mungkin
menganggap bahwa hukum
menuntut ilmu agama sekedar
sunnah saja, yang diberi pahala bagi
yang melakukannya dan tidak
berdosa bagi siapa saja yang
meninggalkannya. Padahal, terdapat
beberapa kondisi di mana hukum
menuntut ilmu agama adalah wajib
atas setiap muslim (fardhu ‘ain)
sehingga berdosalah setiap orang
yang meninggalkannya. Sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ,
ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﻳﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai
shahih oleh Syaikh Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah
no. 224)
Dalam hadits ini, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tegas menyatakan bahwa menuntut
ilmu itu hukumnya wajib atas setiap
muslim, bukan bagi sebagian orang
muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah
yang dimaksud dalam hadits ini?
Penting untuk diketahui bahwa
ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan kata “ilmu” saja
dalam Al Qur’an atau As-Sunnah,
maka ilmu yang dimaksud adalah
ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk
kata “ilmu” yang terdapat dalam
hadits di atas.
Sebagai contoh, berkaitan dengan
firman Allah Ta’ala,
ﻭَﻗُﻞْ ﺭَﺏِّ ﺯِﺩْﻧِﻲ ﻋِﻠْﻤًﺎ
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku,
tambahkanlah kepadaku ilmu’ “. (QS.
Thaaha [20] : 114)
maka Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullah berkata,
‏( ﻭَﻗَﻮْﻟﻪ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ : ﺭَﺏّ ﺯِﺩْﻧِﻲ ﻋِﻠْﻤًﺎ ‏) ﻭَﺍﺿِﺢ
ﺍﻟﺪَّﻟَﺎﻟَﺔ ﻓِﻲ ﻓَﻀْﻞ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢ ؛ ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﻣُﺮ ﻧَﺒِﻴّﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﻄَﻠَﺐِ
ﺍﻟِﺎﺯْﺩِﻳَﺎﺩ ﻣِﻦْ ﺷَﻲْﺀ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢ ، ﻭَﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩ
ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢ ﺍﻟﺸَّﺮْﻋِﻲّ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﻔِﻴﺪ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔ
ﻣَﺎ ﻳَﺠِﺐ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﻜَﻠَّﻒ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮ ﻋِﺒَﺎﺩَﺍﺗﻪ
ﻭَﻣُﻌَﺎﻣَﻠَﺎﺗﻪ ، ﻭَﺍﻟْﻌِﻠْﻢ ﺑِﺎَﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺻِﻔَﺎﺗﻪ ، ﻭَﻣَﺎ
ﻳَﺠِﺐ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡ ﺑِﺄَﻣْﺮِﻩِ ، ﻭَﺗَﻨْﺰِﻳﻬﻪ ﻋَﻦْ
ﺍﻟﻨَّﻘَﺎﺋِﺾ
“Firman Allah Ta’ala (yang
artinya),’Wahai Rabb-ku,
tambahkanlah kepadaku ilmu’
mengandung dalil yang tegas
tentang keutamaan ilmu. Karena
sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah
memerintahkan Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk meminta
tambahan sesuatu kecuali
(tambahan) ilmu. Adapun yang
dimaksud dengan (kata) ilmu di
sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu
yang akan menjadikan seorang
mukallaf mengetahui kewajibannya
berupa masalah-masalah ibadah dan
muamalah, juga ilmu tentang Allah
dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang
harus dia tunaikan dalam beribadah
kepada-Nya, dan mensucikan-Nya
dari berbagai kekurangan”. (Fathul
Baari, 1/92)
Dari penjelasan Ibnu Hajar
rahimahullah di atas, jelaslah bawa
ketika hanya disebutkan kata “ilmu”
saja, maka yang dimaksud adalah
ilmu syar’i. Oleh karena itu,
merupakan sebuah kesalahan
sebagian orang yang membawakan
dalil-dalil tentang kewajiban dan
keutamaan menuntut ilmu dari Al
Qur’an dan As-Sunnah, namun yang
mereka maksud adalah untuk
memotivasi belajar ilmu duniawi.
Meskipun demikian, bukan berarti
kita mengingkari manfaat belajar
ilmu duniawi. Karena hukum
mempelajari ilmu duniawi itu
tergantung pada tujuannya. Apabila
digunakan dalam kebaikan, maka
baik. Dan apabila digunakan dalam
kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul
‘Ilmi, hal. 14)
Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita
Pelajari?
Setelah kita mengetahui bahwa
hukum menuntut ilmu agama adalah
wajib, maka apakah kita wajib
mempelajari semua cabang ilmu
dalam agama? Tidaklah demikian.
Kita tidak diwajibkan untuk
mempelajari semua cabang dalam
ilmu agama, seperti ilmu jarh wa
ta’dil sehingga kita mengetahui
mana riwayat hadits yang bisa
diterima dan mana yang tidak.
Demikian pula, kita tidak diwajibkan
untuk mempelajari rincian setiap
pendapat dan perselisihan ulama di
bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi
ilmu semacam itu wajib dipelajari
sebagian orang (fardhu kifayah),
yaitu para ulama yang Allah Ta’ala
berikan kemampuan dan kecerdasan
untuk mempelajarinya demi menjaga
kemurnian agama.
Sebagaimana yang diisyaratkan oleh
Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita
“hanya” wajib mempelajari sebagian
dari ilmu agama, yaitu ilmu yang
berkaitan dengan ibadah dan
muamalah, sehingga kita dapat
beribadah kepada Allah Ta’ala
dengan benar. Kita juga wajib
mempelajari ilmu tentang aqidah
dan tauhid, sehingga kita menjadi
seorang muslim yang beraqidah dan
mentauhidkan Allah Ta’ala dengan
benar dan selamat dari hal-hal yang
merusak aqidah kita atau bahkan
membatalkan keislaman kita.
Ibnul Qoyyim rahimahullah telah
menjelaskan ilmu apa saja yang
wajib dipelajari oleh setiap muslim.
Artinya, tidak boleh ada seorang
muslim pun yang tidak
mempelajarinya. Ilmu tersebut di
antaranya:
Pertama, ilmu tentang pokok-pokok
keimanan, yaitu keimanan kepada
Allah Ta’ala , malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
akhir.
Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat
Islam. Di antara yang wajib adalah
ilmu tentang hal-hal yang khusus
dilakukan sebagai seorang hamba
seperti ilmu tentang wudhu, shalat,
puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk
mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan ibadah-ibadah tersebut,
misalnya tentang syarat, rukun dan
pembatalnya.
Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang
diharamkan yang disepakati oleh
para Rasul dan syariat sebelumnya.
Kelima hal ini disebutkan dalam
firman Allah Ta’ala ,
ö ﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺣِﺶَ ﻣَﺎ ﻇَﻬَﺮَ
ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻄَﻦَ ﻭَﺍﻟْﺈِﺛْﻢَ ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻲَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ
ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺰِّﻝْ ﺑِﻪِ ﺳُﻠْﻄَﺎﻧًﺎ
ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Katakanlah,’Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang tampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)
Kelima hal ini adalah haram atas
setiap orang pada setiap keadaan.
Maka wajib bagi kita untuk
mempelajari larangan-larangan Allah
Ta’ala, seperti haramnya zina, riba,
minum khamr, dan sebagainya,
sehingga kita tidak melanggar
larangan-larangan tersebut karena
kebodohan kita.
Ke empat, ilmu yang berkaitan
dengan interaksi yang terjadi antara
seseorang dengan orang lain secara
khusus (misalnya istri, anak, dan
keluarga dekatnya) atau dengan
orang lain secara umum. Ilmu yang
wajib menurut jenis yang ke empat
ini berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan keadaan dan kedudukan
seseorang. Misalnya, seorang
pedagang wajib mempelajari hukum-
hukum yang berkaitan dengan
perdagangan atau transaksi jual-
beli. Ilmu yang ke empat ini
berbeda-beda sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan masing-masing.
(Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah ,
1/156)
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim
rahimahullah di atas, jelaslah bahwa
apa pun latar belakang pekerjaan
dan profesi kita, wajib bagi kita
untuk mempelajari ilmu-ilmu
tersebut di atas. Menuntut ilmu
agama tidak hanya diwajibkan
kepada ustadz atau ulama. Demikian
pula kewajiban berdakwah dan
memberikan nasihat kepada
kebaikan, tidak hanya dikhususkan
bagi para ustadz atau para da’i.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻓَﻮَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻷَﻥْ ﻳَﻬْﺪِﻯَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻚَ ﺭَﺟُﻼً ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚَ ﻣِﻦْ
ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻟَﻚَ ﺣُﻤْﺮُ ﺍﻟﻨَّﻌَﻢِ
“Demi Allah, jika Allah memberikan
petunjuk kepada satu orang saja
melalui perantaraanmu, itu lebih
baik bagimu dibandingkan dengan
unta merah (yaitu unta yang paling
bagus dan paling mahal, )”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dan tidak diragukan lagi, bahwa
untuk berdakwah sangat
membutuhkan dan harus disertai
dengan ilmu. Bisa jadi, karena
kondisi sebagian orang, mereka tidak
terjangkau oleh dakwah para ustadz.
Sebagai contoh, betapa banyak
saudara kita yang terbaring di rumah
sakit dan mereka meninggalkan
kewajiban shalat? Di sinilah peran
penting tenaga kesehatan, baik itu
dokter, perawat, atau ahli gizi yang
merawat mereka, untuk menasihati
dan mengajarkan cara bersuci dan
shalat ketika sakit. Demikian pula
seseorang yang berprofesi sebagai
sopir, hendaknya mengingatkan
penumpangnya misalnya untuk tetap
menunaikan shalat meskipun di
perjalanan. Tentu saja, semua itu
membutuhkan bekal ilmu agama
yang memadai.
Terahir, jangan sampai kita menjadi
orang yang sangat pandai tentang
seluk-beluk ilmu dunia dengan
segala permasalahannya, namun
lalai terhadap ilmu agama.
Hendaknya kita merenungkan firman
Allah Ta’ala ,
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ ﻇَﺎﻫِﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻋَﻦِ
ﺍﻟْﺂَﺧِﺮَﺓِ ﻫُﻢْ ﻏَﺎﻓِﻠُﻮﻥَ
“Mereka hanya mengetahui yang
lahir (saja) dari kehidupan dunia,
sedangkan mereka lalai tentang
(kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum
[30]: 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar