Senin, 03 Agustus 2015

Hadiah, perekat hati yang indah

Hadiah, Perekat Hati
yang Indah

Islam adalah petunjuk hidup yang
mengatur segala aspek kehidupan.
Baik itu hubungan antara hamba
dengan Allah, maupun hubungan
antara sesama hamba. Semuanya
diatur untuk menimbulkan
keharmonisan dan kedamaian hidup
di dunia dan akhirat. Lebih dari itu
segala petunjuk itu jika diniatkan
untuk mencari ridha Allah akan
bernilai ibadah.
Begitu mulianya apabila umat ini
saling bekasih sayang antara
sesamanya. Bangunan umat akan
semakin kokoh. Untuk itu Islam
datang untuk memberikan solusi.
Diantara solusi itu adalah anjuran
untuk saling memberikan hadiah.
Dalam sebuah hadits dari sahabat
abu Hurairah bahwa nabi bersabda,
ﺗَﻬَﺎﺩَﻭْﺍ ﺗَﺤَﺎﺑُّﻮﺍ
“Hendaklah kalian saling memberi
hadiah, niscaya akan saling
mencintai.” (HR. Bukhari).
Hadiah adalah sebuah pemberian
untuk mendatangkan kecintaan,
menumbuhkan kasih sayang,
menghilangkan kedengkian dan
melembutkan hati.
Hadiah merupakan tanda cinta dan
bersihnya hati. Ia juga sebagai
tanda simpati kepada orang yang ia
cintai. Saling memberi hadiah
adalah akhlaq mulia yang dianjurkan
dalam Islam. Untuk itu, Nabi
Muhammad adalah manusia teladan
dalam hal ini. Meskipun seorang
Rasul, beliau tidak sungkan dalam
menerima hadiah.
Dalam sebuah riwayat dari Abu
Hurairah beliau berkata bahwa
Rasulullah jika diberi makanan
beliau bertanya, ini hadiah ataukah
sedekah? jika ini adalah sedekah
beliau berkata kepada para
sahabatnya, “Makanlah!.” Sedangkan
beliau tidak memakannya, namun
jika ini adalah hadiah maka
Rasulullah akan memakannya
bersama-sama dengan mereka. (HR
Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, sahabat Abu
Huraiah menuturkan bahwa Nabi
bersaba,
ﺗَﻬَﺎﺩَﻭْﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﻬَﺪِﻳَّﺔَ ﺗُﺬْﻫِﺐُ
ﻭَﺣَﺮَ ﺍﻟﺼَّﺪْﺭِ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺤْﻘِﺮَﻥَّ ﺟَﺎﺭَﺓٌ
ﻟِﺠَﺎﺭَﺗِﻬَﺎ ﻭَﻟَﻮْ ﺷِﻖَّ ﻓِﺮْﺳِﻦِ
ﺷَﺎﺓٍ
“Hendaknya kalian saling
memberikan hadiah, karena hadiah
dapat menghilangkan sifat benci
dalam dada, dan janganlah
seseorang meremehkan pemberian
tetangganya walaupun hanya secuil
kaki kambing.” (HR. Tirmidzi).
Memang, hadiah adalah sarana
untuk menjernihkan antara dua
orang yang sedang kurang harmonis.
Tatkala salah satu memberi hadiah
kepada yang lain maka masalah bisa
terselesaikan. Bahkan jalinan antara
keduanya semakin erat setelah
sebelumnya kurang harmonis.
Dalam dakwah betapa banyak orang
yang semula memusuhi dakwah
menjadi lunak bahkan menjadi
pendukung dengan akhlaq karimah
yang kita berikan kepadanya. Salah
satunya dengan hadiah yang kita
berikan.
Dalam sebuah riwayat dari sahabat
Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah
bersabda, “Hadirilah orang yang
mengundang, janganlah kalian
menolak hadiah dan janganlah
kalian memerangi kaum
muslimin.” (HR. Ahmad).
Dalam menerima hadiyah, Rasululah
tidak membedakan-bedakan antara
sedikit dan banyak. Beliau tetap
menerima hadiah meskipun sedikit.
Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah
menuturkan bahwa Rasulullah
bersabda,
ﻟَﻮْ ﺩُﻋِﻴﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﺫِﺭَﺍﻉٍ ﺃَﻭْ ﻛُﺮَﺍﻉٍ
ﻟَﺄَﺟَﺒْﺖُ ﻭَﻟَﻮْ ﺃُﻫْﺪِﻱَ ﺇِﻟَﻲَّ
ﺫِﺭَﺍﻉٌ ﺃَﻭْ ﻛُﺮَﺍﻉٌ ﻟَﻘَﺒِﻠْﺖُ
“Seandainya aku diundang untuk
jamuan makan sebesar satu paha
depan (kambing) atau satu paha
belakangnya, pasti aku penuhi dan
seandainya aku diberi hadiah
makanan satu paha depan (kambing)
atau satu paha belakang pasti aku
terima.” (HR. Bukhari).
Seringkali rasa bakhil muncul tatkala
ingin memberi hadiah kepada
seseorang. Asumsi bahwa dengan
memberikan hadiah akan
mengurangi jatah rezeki yang sudah
menjadi bagiannya. Belum lagi
munculnya perasaan jikalau hadiah
yang kita berikan belum tentu
diterima dan seabrek praduga-
praduga yang lainnya. Dengan
melatih jiwa untuk memberikan
hadiah meskipun sedikit akan
menjadi pembiasaan bagi jiwa untuk
berderma.
Dalam sebuah hadits Abu Hurairah
menuturkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai
wanita-wanita muslim, janganlah
seorang budak wanita menganggap
remeh memberi hadiah budak
wanita lainnya sekalipun hanya
sebesar kubangan karena diinjak
kambing.” (HR. Bukhari).
Maksud dari hadits ini adalah Nabi
mendorong para muslimah untuk
memberi hadiah kepada budak-
budaknya meskipun dengan sesuatu
yang amat remeh. Karena sedikit
lebih baik daripada tidak sama
sekali. Ini menunjukkan rasa cinta
yang dalam kepada sesama.
Namun jika kita terpaksa menolak
sebuah pemberian karena beberapa
pertimbangan hal itu tidak
mengapa. Asalkan diberikan
penjelasan kepada yang memberi
dengan penjelasan yang jelas supaya
tidak menimbulkan prasangka yang
tidak baik. Hal ini didasarkan pada
sebuah hadits, “Dari Abdullah bin
Abbas dari Ash-Sha’bi bin Jatsamah
Al Laitsiy bahwa dia (Ash-Sha’bi)
memberi hadiah kepada Rasulullah
berupa seekor keledai yang liar saat
beliau berada di Abwa’ atau di
Waddan. Lalu Beliau mengembalikan
hadiah itu kepadanya. Ketika beliau
melihat apa yang ada di wajahnya,
Beliau berkata, ‘Kami tidak
bermaksud menolak hadiah darimu,
namun ini tidak lain karena aku
sedang berihram’.” (HR. Bukhari).
Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits di
atas terdapat penjelasan untuk tidak
menerima hadiah bagi yang tidak
pantas untuk menerimanya.”
Misalkan kita diberi makanan oleh
seseorang sedangkan kita masih
mampu, sedangkan tetangga kita
dalam kondisi kelaparan. Maka tidak
apa-apa kita menolak pemberian tadi
kemudian menunjukkan kepada
orang yang lebih berhak.
Akhirnya, marilah kita melatih jiwa
kita untuk saling memberikan hadiah
kepada siapapun dengan mengharap
ridha Allah. Harapannya melalui
hadiah meskipun remeh akan
mempererat jalinan ukhuwah
Islamiyah. Memang hadiah adalah
perekat hati yang paling indah.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar