Pengertian Nikah
Menurut bahasa, nikah berarti
penggabungan dan pencampuran.
Sedangkan menurut istilah syariat,
nikah berarti akad antara pihak
laki-laki dan wali perempuan yang
karenanya hubungan badan
menjadi halal.
Dalil-dalil tentang disyariatkannya
nikah banyak terdapat di dalam Al-
Qur’an, di antaranya Surah An-
Nisaa’ ayat 3, Surah An-Nuur ayat
32. Di dalam hadits, Nabi saw
pernah bersabda yang artinya,
“Wahai para pemuda, barangsiapa
di antara kalian telah mampu serta
berkeinginan untuk menikah, maka
hendaklah ia menikah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu
dapat menundukkan pandangan
mata dan memelihara
kemaluan.” (Muttafaqun Alaih).
Hukum Nikah
Berkenaan dengan hukum nikah,
penulis kitab al-Mughni membagi
kondisi manusia menjadi tiga
macam, yaitu:
Pertama, orang yang takut
terjerumus dalam pelanggaan jika
ia tidak menikah. Menurut para
fuqaha’ secara keseluruhan,
keadaan seperti ini menjadikan
seseorang wajib menikah.
Kedua, orang yang disunahkan
untuk menikah. Yaitu orang yang
syahwatnya bergejolak, yang
dengan pernikahan tersebut dapat
menyelamatkannya dari berbuat
maksiat kepada Allah.
Ibnu Mas’ud pernah
mengungkapkan, “Seandainya
ajalku hanya tinggal sepuluh hari
dan aku tahu bahwa aku akan
meninggal pada hari yang
kesepuluh, sedang pada saat itu
aku mempunyai kesempatan untuk
menikah, niscaya aku akan
menikah karena takut fitnah.”
Sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat, “Mengasingkan diri
untuk beribadah kepada Allah
adalah lebih baik daripada
menikah, karena Allah telah
memuji Yahya bin Zakaria melalui
firman-Nya surah Ali Imran ayat
39.
Adapun Rasulullah pernah
bersabda tentang anjuran untuk
menikah ini, beliau bersabda,
“Tetapi aku berpuasa dan juga
berbuka (tidak berpuasa),
mengerjakan shalat dan juga tidur
serta menikahi wanita.
Barangsiapa yang tidak mengikuti
sunnahku, maka ia tidak termasuk
golonganku.” (HR. Bukhari dan
yang lainnya).
Sa’ad berkata, “Nabi saw pernah
melarang Utsman bin Mazh’un
untuk membujang. Seandainya
beliau membolehkannya, niscaya
kami juga akan bervasektomi
(dikebiri).” (Muttafaqun Alaih)
Ketiga, orang yang tidak
mempunyai nafsu birahi, baik
karena lemah syahwat atau
sebenarnya ia mempunyai nafsu
birahi tetapi hilang karena
penyakit atau hal lainnya. Pada
hal ini ada dua pendapat:
Pertama: ia tetap disunahkan
menikah.
Kedua: tidak menikah adalah lebih
baik baginya, karena ia tidak dapat
mewujudkan tujuan nikah dan
bahkan menghalangi istrinya untuk
dapat menikah dengan laki-laki
lain yang lebih memenuhi syarat.
Anjuran Menikah
Banyak sekali dalil-dalil baik dari
Al-Qur’an maupun hadits yang
menganjurkan untuk menikah. Di
antaranya yaitu:
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia
menceritakan, Rasulullah saw
bersabda, “Wahai para pemuda,
barangsiapa di antara kalian yang
telah mampu serta berkeinginan
untuk menikah, maka hendaklah ia
menikah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu dapat
menundukkan pandangan dan
memelihara kemaluan. Dan
barangsiapa tidak mampu, maka
hendaklah ia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu dapat
menjadi tameng baginya
(melemahkan
syahwat).” (Muttafaqun Alaih).
Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw bersabda
“Wanita itu dinikahi karena empat
hal: karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan
karena agamanya. Maka pilihlah
wanita yang taat beragama, niscaya
kamu beruntung.” (HR. Bukhari,
Muslim dan yang lainnya).
Wanita yang Disunnahkan untuk
dilamar
Dalam melamar, seorang muslim
dianjurkan untuk memperhatikan
beberapa sifat yang ada pada
wanita yang akan dilamar, di
antaranya:
1. Wanita itu disunnahkan seorang
yang penuh cinta kasih.
Maksudnya ia harus selalu taat
kepada suaminya dan menjaga
kecintaan terhadap suaminya,
sementara suami pun memiliki
kecenderungan dan rasa cinta
kepadanya.
2. Disunnahkan pula agar wanita
yang akan dilamar itu seorang
yang banyak memberikan
keturunan, karena ketenangan,
kebahagiaan dan keharmonisan
keluarga akan terwujud dengan
lahirnya anak-anak yang menjadi
harapan setiap pasangan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah
saw bersabda,
“Menikahlah dengan wanita-wanita
yang penuh cinta dan yang banyak
melahirkan keturunan. Karena
sesungguhnya aku merasa bangga
dengan banyaknya jumlah kalian
pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu
Dawud, an-Nasaa’i, al-Hakim, dan
ia mengatakan “Hadits ini
sanadnya shahih.)”
3. Hendaklah wanita yang akan
dinikahi itu seorang yang masih
gadis dan masih muda.
Sebagaimana dalam beberapa
hadits Rasulullah
menganjurkannya.
4. Dianjurkan untuk tidak menikahi
wanita yang masih termasuk
keluarga dekat. Karena Imam
Syafi’i pernah mengatakan, “Jika
seorang menikahi wanita dari
kalangan keluarganya sendiri,
maka kemungkinan besar anaknya
mempunyai daya pikir yang
lemah.”
5. Disunnahkan bagi seorang
muslim untuk menikahi wanita
yang mempunyai silsilah
keturunan yang jelas dan
terhormat, karena hal itu akan
berpengaruh pada dirinya dan
juga anak keturunannya.
6. Hendaklah wanita yang dinikahi
itu taat beragama dan berakhlaq
mulia.
7. Selain itu, hendaklah wanita
yang akan dinikahi adalah seorang
yang cantik, karena kecantikan
akan menjadi dambaan setiap
insan dan selalu diinginkan oleh
setiap orang yang akan menikah,
dan kecantikan itu pula yang
membantu menjaga kesucian dan
kehormatan.
Sumber: dari Syaikh Hassan
Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah ,
atau Fikih Keluarga , terj. Abdul
Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar),
hlm. 29 – 43.
Rabu, 08 Juli 2015
Pengertian nikah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar