Rabu, 08 Juli 2015

Mempersoalkan penulisan Insya Allah

💢MEMPERSOALKAN PENULISAN INSYA ALLAH💢

Dalam bahasa Arab, lafadz إِنْ شَاءَ اللّهُ tersusun dari tiga kata: “in, syaa-a, Allah” terdiri dari (إِنْ) yang artinya “Jika”, ( شَاءَ ) yang artinya “Dia berkehendak”, dan Allah. Secara bebas tiga kata ini dapat kita terjemahkan menjadi “Jika Allah berkehendak”. Dimaksudkan bahwa segala rencana kita hanya akan terlaksana jika Allah menghendakinya, sebuah keyakinan totalitas bahwa Tuhan Maha Berkuasa di atas segala rencana manusia.

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ tanpa (dengan menyebut), ‘Insya Allah.’” [QS. Al-Kahfi: 23].”

Namun Jika kata tersebut disambung menjadi ( إِنْشَاءَ ) dengan nun dan syin menempel, maka  insyaa-a ia akan berarti “menciptakan, menjadikan,  atau menumbuhkan” (Lihat QS. al-an-‘am: 141 “Dan Dialah yang MENCIPTAKAN surga.. dst..”, atau QS. al-Waqiah: 35, “Kami MENCIPTAKAN mereka [bidadari-bidadari]  dengan langsung.. dst.”) . Penggunaan model seperti ini bisa juga menimbulkan tone atau bunyi berbeda seperti Insya-Ullah atau InsyaUllah. Jika seperti ini, dikhawatirkan ada sebagian kalangan memaknai kata ‘Allah’ sebagai objek (maf’ul) yang diciptakan, padahal tentu saja tidak demikian, karena itu merupakan sebuah makna yang sangat keliru, dan kita berlindung kepada Allah atas makna demikian. 

Di Mana Hiperkoreknya?

Penulisan ‘insya Allah’ menjadi ‘in sha Allah’ justru menjadi keliru, karena dalam bahasa Indonesia, huruf ‘syin’ (ﺵ ) ditransliterasi ke dalam fonem ‘sy’ sedangkan fonem ‘sh’ adalah  transliterasi untuk huruf ‘shad’ (ص).  Sehingga jika kita menulis “in sha Allah” maka padanannya dalam bahasa Arab adalah ( إن صاء الله ) atau ( إن ص الله ) yang justru tidak ada maknanya.

Hal ini berbeda dengan di Malaysia yang mengadopsi transliterasi dari bahasa Inggris di mana ‘syin’ (ﺵ ) di tulis dengan fonem ‘sh’. Orang-orang di London sana, yang suka makan kentang  itu, mereka mentransliterasi semua huruf ‘syin’ (ﺵ )  menjadi ‘Sh’, itu sebabnya kita melihat kata-kata yang tidak lazim kita baca di Indonesia seperti: Shukoor, Shuuraa, Shukran, dll., yang kita pahami dengan syukur, syura, syukran, dst. Apakah orang Indonesia yang menulis ‘in shaa Allah” akan secara konsisten menuliskan lafazh-lafazh yang tak familiar itu? Bagaimana dengan Shahadat, shamil? Maashaa Allah. 

Sekalipun tidak ada standar baku mengenai transliterasi huruf Arab ke huruf  latin berbahasa Indonesia (setidaknya sejauh ini saya belum menemukan bentuk bakunya), bisa dipastikan hampir tidak pernah ada penggunaan fonem ‘sh’ untuk mewakili ‘syin’ (ﺵ )  dari bahasa Arab.

Karena tidak ada bentuk baku inilah, dalam penulisan karya-karya ilmiah, baik skripsi, tesis, disertasi atau pun jurnal-jurnal ilmiah keislaman, mudah kita dapati pedoman transliterasi di halaman muka. Tapi hampir pasti tidak ada satu pun jurnal ilmiah berbahasa Indonesia yang mengalihtuliskan huruf syin (ﺵ) dengan fonem ‘sh’,  kecuali Jurnal Islamia yang memang awal diisi oleh penulis-penulis binaan Syed M.Naquib al-Attas asal Malaysia. Penulisan huruf syin (ﺵ )  menjadi ‘sh’ dalam frase “in sha Allah” justru menimbulkan confused seolah-olah tulisan arabnya adalah إن صاء الله  yang tidak ada maknanya itu. Belakangan UIN Jakarta memang menggunakan fonem ‘sh’ untuk huruf (ﺵ ) tetapi itu pun dengan alasan tak sama dengan broadcast yang banyak beredar itu.

Menurut analisis saya (pakai gaya Sentilun), tidak ada masalah untuk menulis “insya Allah/insya Allaah/in sya Allah” maupun “in syaa Allaah” karena semuanya tetap merujuk kepada kalimat  إِنْ شَاءَ اللّهُ  dalam bahasa Arab. Ini hanya berada pada zona transliterasi atau penyesuaian fonem saja. Akan menjadi keliru kemudian jika kita menuliskannya dalam bahasa Arab dengan mengubah tulisannya,  atau  bicara dalam bahasa Arab dengan mengubah tone-nya.

Bagi mereka yang tinggal di Indonesia, frase “insya Allah” sudah lazim dan sama sekali tidak dimaksudkan sekaligus tidak  pula diartikan dengan “menciptakan Allah”, karena tulisan tersebut hanya transliterasi yang memiliki keterbatasan dengan fonem bahasa Asal. Tidak mengubah huruf asli dan tidak pula mengubah bunyinya, hanya mengalihtuliskan kata dari  bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia di mana fonemnya tidak seluruhnya sama. Persis sebagaimana penulisan Aisyah yang tidak perlu ditulis menjadi “‘Aa-isyah”, atau “ibnu Khattab” menjadi “ibn Khaththaab”, atau Abdurrahman Wahid menjadi ‘Abd al-Raḫmȃn Wȃhid.  Itu hanya pilihan transliterasi.

Transliterasi sendiri di banyak jurnal seringkali menggunakan bantuan simbol untuk membantu menjelaskan setiap hurufnya, al-ḫamd li Allȃhi Rabb al- ‘alamȋn.. Dan yang di Malaysia atau di negara-negara barat tetap bisa menuliskannya dengan “in sha Allah”.

Wa Allȃhu a’lam.

(dakwatuna/dlt/hdn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar