Kamis, 02 Juni 2016

HUKUM BERMA'AFAN DALAM MENYAMBUT RAMADHAN

AHLAN WA SAHLAN YA      RAMADHAN..

'' SAMBUTLAH RAMDHAN AL MUBARAQ DENGAN KEMBALI KEPADA ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA ''

Al Ustaz Abu Muhammad Jibriel Abd Rahman

Pertanyaan:

Tiap tahun menjelang Ramadhan beredar ajakan yang menyeru supaya kaum Muslimin saling memaafkan satu sama lain. Dengan satu persepsi jika hal itu tidak dilakukan akan mengakibatkan amal-amal shalih dibulan Ramadhan akan tertolak. Dasarnya adalah sebuah hadits masyhur yang artinya

"Ketika Rasullullah sedang berkhotbah pada suatu Sholat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan Aamin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Aamin sampai tiga kali. Ketika selesai sholat jum'at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: "ketika aku sedang berhotbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah amin-kan do'a ku ini," jawab Rasullullah.
Do'a Malaikat Jibril itu adalah sbb: "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

* Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);

* Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri;

* Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Maka Rasulullah pun mengatakan amin sebanyak 3 kali”.

Saya mau tanya bagaimana derajat hadits diatas, yang biasanya dijadikan dalil untuk berma'afan sebelum puasa Ramadhan?

Jawaban dan Ulasannya

Hadits tersebut memang sangat masyhur, Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari-cari , hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits yang mu’tabar (kitab rujukan).

Setelah berusaha mencari-cari lagi, maka ditemukanlah ada yang menuliskan hadits tersebut, kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254). Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقِيَ الْمِنْبَرَ ، فَقَالَ : " آمِينَ ، آمِينَ ، آمِينَ " ، فَقِيلَ لَهُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا ؟ ! فَقَالَ : " قَالَ لِي جِبْرِيلُ : أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ ، فَقُلْتُ : آمِينَ . ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ ، فَقُلْتُ : آمِينَ . ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ ، فَقُلْتُ : آمِينَ " .
“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.”

(Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani diShahih At Targhib (1679). Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”).
Dari Ramadhan ke Ramadhan masalah ini sering sekali ditanyakan, dan hadits yang ditanyakan, bisa didapatkan dalam kitab Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ditulis oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Namun setelah diperhatikan dengan apa yang ditulis tersebut, ternyata redaksi dan maksudnya jauh berbeda.
Dengan demikian, hadist diatas tidak ada hubungan

Kewajiban Meminta Maaf/memberi maaf

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لا يَكُونَ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ رواه لبخاري 2296

“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no. 2296)

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui?

Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Anjuran Bertaubat kpd Allah Ta’ala dan Saling Meminta Maaf & Memaafkan

Bertaubat kepada Allah  Ta’ala atas setiap dosa yang dilakukannya  merupakan kewajiban setiap muslim sebagaimana wajib nya melaksanakan ibadah-ibadah yang lain. Dan memaafkan merupakan ciri utama orang beriman yang sedang menuju taqwa. Meminta maaf adalah perilaku terbaik seseorang yang pernah bersalah untuk menuju taubatan nasukha.
Allah Ta’ala berfirman

Wahai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sungguh-sungguh. Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga. Di bawah surga mengalir sungai-sungai. Pada hari kiamat, Allah tiada menghinakan nabi-Nya dan orang-orang mukmin yang mengikutinya. Cahaya mereka memancar di depan mereka dan di sebelah kanan mereka. Orang-orang mukmin berkata: "Wahai Tuhan kami, nyalakanlah terus menerus cahaya kami bagi kami hingga kami masuk surga dan ampunilah kami. Sungguh Engkau Mahakuasa berbuat apa saja."(QS At Tahrim 66:8)

Sebenarnya meminta maaf dan memberi maaf kepada orang lain adalah pekerjaan yang sangat dianjurkan dalam agama. Semua ulama sepakat akan hal ini, termasuk yang membid'ahkannya bila dilakukan menjelang Ramadhan atau di hari Raya Fithr.
Allah SWT berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلينَ
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS Al-A'raf: 199)
فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ
Maka maafkanlah dengan cara yang baik. (QS Al-Hijr: 85)
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ألاَ تُحِبُّونَ أنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ
Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya, "Rasakanlah azab yang membakar ini." (QS An-Nuur: 22)
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنينَ
Orang-orang yang menafkahkan, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imran: 134)
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ
Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS Asy-Syura: 43)
Meminta maaf dan memaafkan seseorang dapat dilakukan kapan saja, dan tidak ada tuntunan syari'at harus dikumpulkan dulu dan menunggu sampai menjelang bulan Ramadhan

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.
Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar