Senin, 26 Oktober 2015

Manhaj shalaf

Manhaj Salaf – Jalan Tepat Dalam Memahami Islam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (generasi) pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

Manhaj Salaf -Jalan Tepat Dalam Memahami Islam

Adalah suatu fenomena yang kita saksikan dan tidak bisa dipungkiri bahwasanya ummat Islam sudah terpecah belah menjadi beberapa golongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengabarkan bahwasanya ummatnya akan terpecah menjadi 73 golongan (dan ini sudah terjadi), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya.

Akan tetapi, ketika ditanyakan kepada golongan-golongan tersebut, mereka menjawab bahwasanya mereka berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah bahkan masing-masing golongan menyatakan golongannyalah yang benar sedangkan yang lainnya salah/sesat, bersamaan dengan itu kita ketahui dan saksikan bahwa golongan-golongan tersebut satu sama lainnya saling bertentangan, bermusuhan bercerai-berai dan tidak berada dalam satu manhaj yang menyatukan mereka. Hal ini seperti dikatakan di dalam sya’ir: “Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila akan tetapi Laila tidak mengakuinya.“

Untuk itu satu hal yang pasti bagi kita bahwasanya kebenaran itu hanya satu dan tidak berbilang yaitu golongan yang benar dan selamat hanya satu yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya (salaf) sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah dalam haditsnya yang mutawatir. Dengan kata lain golongan yang selamat tersebut adalah orang-orang yang memahami dinul Islam dengan pemahaman salafush shalih (manhaj salaf).

Sedangkan manhaj salaf adalah suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dinul Islam yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut Salafy atau As-Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As-Salafiyyun.

Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala` 6/21).

Kemudian di sini akan dikemukakan sebagian dalil-dalil yang menyatakan bahwa manhaj yang benar dalam memahami agama adalah manhaj salaf serta kewajiban bagi kita untuk mengikuti manhaj tersebut, yaitu:

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala :”Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al-Fatihah:6-7).

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah (Syi’ah).” (Madarijus Salikin 1/72).

Hal ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami agama ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah:143).

Allah telah menjadikan mereka orang-orang pilihan lagi adil, mereka adalah sebaik-baik ummat, paling adil dalam perkataan, perbuatan serta keinginan mereka, karena itu mereka berhak untuk menjadi saksi atas sekalian manusia, Allah mengangkat derajat mereka, memuji mereka serta menerima mereka dengan penerimaan yang baik.

Dengan ini jelaslah bahwasanya pemahaman para shahabat merupakan hujjah atas generasi setelah mereka dalam menjelaskan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah.

3. “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali ‘Imran:101).

Para shahabat adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada agama Allah, karena Allah adalah pelindung bagi siapa saja yang berpegang teguh kepada (agama)-Nya sebagaimana firman Allah: “Dan berpeganglah kalian pada tali Allah. Dia adalah pelindung kalian maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj:78).

Dan telah dimaklumi bahwasanya perlindungan dan pertolongan Allah kepada para shahabat sangat sempurna, hal tersebut menunjukkan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian dari Allah.

4. “Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran:110).

Allah telah menetapkan atas mereka keutamaan atas sekalian ummat, hal tersebut karena keistiqamahan mereka pada segala hal, karena mereka tidak akan melenceng dari jalan yang lurus, Allah telah bersaksi atas mereka bahwasanya mereka menyuruh kepada setiap yang ma’ruf, mencegah dari setiap kemunkaran, berdasarkan hal tersebut merupakan suatu keharusan bahwasanya pemahaman mereka merupakan hujjah bagi generasi setelahnya hingga Allah menetapkan putusannya.

5. “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`:115).

Berkata Al-Imam Ibnu Abi Jamrah Al-Andalusi: “Para ‘ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi pertama dari ummat ini,….” (Al-Mirqat Fi Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37).

Syaikhul Islam berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin-red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa 7/38).

Maksud ayat tersebut, bahwasanya Allah mengancam siapa saja yang mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin (dengan neraka Jahannam), maka jelaslah bahwasanya mengikuti jalannya para shahabat dalam memahami syari’at Allah wajib hukumnya, sedangkan menyalahinya merupakan suatu kesesatan.

6. “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:100).

Makna dalil tersebut, bahwasanya Tuhan manusia memuji orang-orang yang mengikuti manusia terbaik, maka diketahui dari hal tersebut bahwasanya jika mereka mengatakan suatu pandangan kemudian diikuti oleh pengikutnya pantaslah pengikut tersebut untuk mendapatkan pujian dan ia berhak mendapatkan keridhaan, jika sekiranya mengikuti mereka tidak membedakan dengan selain mereka maka tidak pantas pujian dan keridhaan tersebut.

7. “Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Furqan:74).

Maka orang-orang bertaqwa secara keseluruhan berimam kepada mereka. Adapun taqwa merupakan kewajiban, di mana Allah dengan gamblang menyebutkannya dalam banyak ayat. Tidak memungkinkan untuk menyebutkannya di sini, maka jelaslah bahwa berimam kepada mereka wajib, adapun berpaling dari jalan mereka akan menyebabkan fitnah dan bencana.

8. “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman:15).

Seluruh shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang kembali kepada Allah, maka Allah memberikan hidayah kepada mereka dengan perkataan yang baik, serta berbuat amal shalih.

Maka merupakan suatu kewajiban untuk mengikuti manhaj para shahabat dalam memahami agama Allah baik yang ada dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah.

9. “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah:24).

Sifat-sifat yang disebutkan pada ayat tersebut di atas adalah berkenaan dengan sifat-sifat para shahabat Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah mengabarkan bahwasanya Dia menjadikan mereka sebagai imam yang diikuti oleh orang-orang sesudah mereka karena kesabaran dan keyakinan mereka, jika demikian kesabaran dan keyakinan merupakan jalan untuk menjadi Imam (pemimpin) dalam agama.

Dan sangat dimaklumi bahwasanya shahabat-shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut daripada ummat Nabi Musa, mereka lebih sempurna keyakinan dan kesabaran dari segenap ummat, maka mereka lebih berhak untuk menjadi imam dan ini merupakan hal yang paten berdasarkan persaksian dari Allah dan pujian Rasulullah atas mereka.

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (generasi) pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian generasi berikutnya.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

Allah telah melihat hati-hati para shahabat Rasulullah di mana Dia mendapatkannya sebaik-baik hati para hamba setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Dia memberikan kepada mereka pemahaman yang tidak dapat dijangkau oleh generasi berikutnya, karena itulah apa yang dalam pandangan shahabat merupakan suatu kebaikan demikian pula dalam pandangan Allah dan apa yang dalam pandangan shahabat jelek, jelek pula dalam pandangan Allah.

2. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah, lalu kami berkata: “Sekiranya kita tetap di sini hingga kita melaksanakan shalat ‘isya bersama beliau”, kemudian kami duduk, lalu beliau mendatangi kami seraya berkata: “Kalian masih tetap di sini?” kami berkata: “Ya Rasulullah, kami shalat bersama Engkau, kemudian kami berpendapat: kita duduk di sini hingga melaksanakan shalat ‘isya bersama Engkau.” Beliau berkata: “Ya”. Abu Musa berkata: “Kemudian beliau mengangkat kepalanya ke langit dan beliau sering melakukan hal tersebut, lalu beliau bersabda: “Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang-bintang telah redup, diberikan kepada langit persoalannya dan Aku adalah penjaga bagi shahabat-shahabatku, jika aku telah tiada maka persoalan akan diserahkan kepada shahabat-shahabatku, dan shahabat-shahabatku adalah penjaga ummatku, jika shahabat-shahabatku telah tiada maka persoalan diserahkan kepada ummatku”. (HR. Muslim).

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku, demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfaq dengan emas sebesar gunung uhud, tidak dapat menyamai (pahala) satu mud infaq mereka, tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaih).

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainnya dari Al-’Irbadh bin Sariyah, lihat Irwa`ul Ghalil no. 2455).

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terus-menerus ada sekelompok kecil dari ummatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Muttafaqun ‘alaih dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dan ini adalah lafazh Muslim).

6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan. Beliau ditanya: “Siapa dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “(golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada (di atasnya).” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash).

Sedangkan ucapan para ‘ulama akan wajibnya berpegang dengan manhaj salaf adalah:

Al-Imam Al-Auza’I berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah, Al-Ajurri hal. 63).

Al-Imam As-Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj as-salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al-Intishar li Ahlil Hadits, Muhammad bin ‘Umar Bazmul hal. 88).

Al-Imam Al-Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi shahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah 2/437-438).

Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah kesesatan.” (Al-Muwafaqat 3/284).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa 4/155). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar ahlul bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa 4/155).

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dinul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji’: 1. Limadza Ikhtartu Manhaj Salaf, Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali; 2. Majalah Syari’ah ed. 04.

Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis: Akh Abu Rosyid (Asisten Ustadz Bandung) 20 Sya’ban 1424 H Judul: Manhaj Salaf – Jalan Tepat Dalam Memahami Islam.

diarsipkan oleh qurandansunnah.wordpress.com

Jumat, 23 Oktober 2015

Shalawat nariyah dlm timbangan

🌴SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN🌴

Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA

KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT

Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya :

Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] , "Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."

Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.

Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât 'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ'il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm 'alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2]

IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [al-Isrâ'/17:19]

Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]

Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan pada-Nya.

Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].

Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]

Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak."[4]

Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.

Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksdunya:
1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz syirik.
2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]
3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.

Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.

SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN

Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma'rûf.[6]

Selain itu, mereka juga sangat 'kreatif' dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.

Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan "fadhilah" tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.

Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau

SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.

BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?

Di sebuah situs internet tertulis: "Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.

Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.

Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat".[9]

Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.

Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.

Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat' tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?

Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ' karya al-Hâfizh Abu Nu'aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti: al-Istî'âb fî Ma'rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn 'Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalâni (773-852 H).

Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal??

Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta 'gelar' syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan 'gelar' syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.

Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.

Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !

Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.

Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]

Imam 'Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, "Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya."[12]

KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH
"Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau."

Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur'ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.

Mari kita cermati nash-nash berikut :

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir. [13]

Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, "Adakah tuhan selain Allâh ?". Hal ini mengisyaratkan, wallahu a'lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan 'saingan' Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .

Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut :

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ

Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur'. Katakan, "Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!". [al-An'âm/6: 63-64]

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]

Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.

Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.

Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ

Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân 3/230 no. 949]

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]

اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970].

Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, "Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata". Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?

Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan -wallahua'lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .

MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.

Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]

Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an); mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7:157]

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan "pemuliaan" dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]

PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.

Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.

Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya.

Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]

Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. [an-Nûr/24:63]

Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, "Wahai Rasûlullâh!" atau "Wahai Nabiyullâh!".

Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat; "shallallahu'alaihi wa sallam" bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini "Hasan sahih gharib"].

Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.

Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.

Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.

"Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam firman-Nya :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ'/4:64]

Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya."[20]

Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ'/4:171.

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, "(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya" [HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]

Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid'ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid'ah.

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!" فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ".

(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, "Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!". Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku". [HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ' al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].

Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.

Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.

Beliau berkata, "Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na'udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya."[22]

Beliau rahimahullah menambahkan, "Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi:

Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.

Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.

Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya".[23] Wallahu a'lam

Makkah al-Mukarramah, 25 Sya'ban 1431 H / 6 Agustus 2010

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
______

Iman kepada hari akhir 2/3

🌻 IMAN KEPADA HARI AKHIR

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan 2/3

Iman kepada hari Akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi
sesudah kematian, misalnya :

[a]. Fitnah Kubur
Yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur tentang Rabbnya,
agamanya dan nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata
yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, Allah
Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam nabiku. Allah
menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan
terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab,
Hah.hah tidak tahu. Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab dengan kebingungan,
Aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu lalu aku
mengatakannya.

[b]. Siksa Dan Nikmat Kubur
Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-
orang kafir, seperti dalam firmanNya.

Artinya : Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim
(berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan
tangannya, (sambil berkata), Keluarkanlah nyawamu. Di hari ini kamu dibalas dengan
siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah
(perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadp ayatayatNya
[Al-Anam : 93]

Allah Subhanahu wa Taala berfirman tentang keluarga Firaun.

Artinya : Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi hari dan petang, dan pada hari
terjadinya Kiamat, (Dikatakan kepada malaikat), Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke
dalam azab yang sangat keras [Al-Mumin : 46]

Dalam Shahih Muslim Zaid bin Tsabit meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahualaihi wa
sallam bersabda :

Kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati) pasti aku memohon kepada
Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya mendengarnya. Kemudian
Nabi Shallallahualaihi wa sallam menghadapkan wajahnya seraya berkata : Mohonlah
perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka. Para sahabat berkata, Kami memohon
perlindungan kepada Allah dan siksa Neraka. Nabi Shallallahualaihi wa sallam kemudian
berkata lagi, Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur. Para sahabat berkata,
Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur. Lalu beliau berkata lagi. Mohonlah
perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
Para sahabat lalu berkata, Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah


baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Nabi Shallallahualaihi wa sallam berkata lagi.
Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah Dajjal. Para sahabat berkata, Kami mohon
perlindungan kepada Allah dari fitnah Dajjal. [Hadits Riwayat Muslim]

Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur. Hal ini dijelaskan
Allah Subhanahu wa Taala dalam firmanNya.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Rabb kami ialah Allah, kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan
mengatakan), Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih ; dan
gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu
[Fushilat : 30]

Artinya : Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketka itu
melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka
mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu
(kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar ?, Adapun jika dia (orangorang
mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh
ketentraman dan rezeki serta Surga kenikmatan [Al-Waaqiah : 83-89]

Dari Al-Barrabin Azib Radhiyallahuanhu dikatakan bahwa Nabi Shallallahualaihi wa
sallam bersabda tentang orang mukmin jika dapat menjawab pertanyaan dua malaikat di
dalam kuburnya. Sabdanya, Ada suara dari langit, Hamba-Ku memang benar. Oleh
karenanya, berilah dia alas dari Surga. Lalu datanglah kenikmatan dan keharuman dan Surga,
dan kuburnya dilapangkan sejauh pandangan mata. [Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud,
dalam hadits yang panjang]

Buah Iman Kepada Hari Akhir
[1]. Mencintai ketaatan dengan mengharap balasan pahala pada hari itu.
[2]. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu
[3]. Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapatkan di dunia dengan mengharap
kenikmatan serta pahala di akhirat.

Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati dengan menyangka bahwa
hari Akhir dengan segala peristiwa-peristiwanya adalah suatu hal yang mustahil. Persangkaan
mereka jelas sangat keliru dan kesalahannya itu dapat dibuktikan dengan syara, indera dan
akal.

[1]. Bukti Syara

Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

Artinya : Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan
dibangkitkan. Katakanlah : Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan Yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah [At-Taghaabun : 7]

Semua kitab-kitab suci samawi telah sepakat tentang adanya hari kebangkitan.

[2]. Bukti Inderawi


Allah Subhanahu wa Taala telah memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang-
orang yang sudah mati du dunia ini. Dalam surat Al-Baqarah terdapat lima contoh mengenai
hal ini.

[a]. Ketika kaum Musa berkata kepada nabinya Musa Alaihis salam bahwa mereka tidak akan
percaya dengan risalah yang dibawa Musa Alaihis salam, sampai mereka melihat Allah
dengan mata kepada mereka sendiri. Oleh karena itulah Allah berfirman (yang ditujukan
kepada bani Israil).

Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata : Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamua sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar,
sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati,
supaya kamu bersyukur [Al-Baqarah 55-56]

[b]. Cerita orang yang terbunuh yang pembunuhnya dipersengketakan bani Israil. Allah
Subhanahu wa Taala lalu memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi, kemudian daging
sapi itu dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh itu agar dapat menceritakan siapa
sebenarnya yang telah membunuhnya. Hal ini diungkapkan dalam firmanNya.

Artinya : Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seorang manusia, lalu kamu saling tuduh
menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu
sembunyikan. Lalu Kami berfirman : Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi
betina itu !. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan
memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti [Al-Baqarah : 7273]

[c]. Kisah kaum yang keluar dari negerinya karena menghindari kematian. Mereka berjumlah
ribuan orang Allah mematikan mereka, lalu menghidupkan kembali. Ini digambarkan dalam
firmanNya.

Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampong
halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah
berfirman kepada mereka: Matilah kamu, kemungkinan Allah menghidupkan mereka.
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur [Al-Baqarah : 243]

[d]. Kisah orang yang melewati sebuah desa yang hancur. Dia sangsi, bagaimana Allah
mematikannya selama seratus tahun, dan kemudian Allah menghidupkannya kembali. Ini
dikisahkan dalam firmanNya.

Artinya : Atau apakah (kamu memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri yang
(temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, Bagaimana Allah menghidupkan
kembali negeri ini setelah hancur ?Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidukannya kembali. Allah bertanya, Berapa lama kamu tinggal di sini ? Ia menjawab,
Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari, Allah berfirman. Sebenarnya kamu telah tinggal
di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah,
dan lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Kami akan menjadikan kamu
tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging, Maka tatkala telah


nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata, Saya
yakin Allah Mahakuasa atas segala sesuatu [Al-Baqarah : 259]

[e]. Kisah Nabiyullah Ibrahim Al-Khalil ketika bertanya kepada Allah bagaimana Dia
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Allah memerintahkannya untuk
menyembelih empat ekor burung dan memisah-misahkan bagian-bagian tubuh burung itu di
atas gunung-gunung yang ada di sekelilingnya. Ibrahim memanggil burung itu, lalu tak lama
tampaklah olehnya bagian-bagian tubuh burung itu menyatu dan segera mendatangi Nabi
Ibrahim kembali. Ini dikisahkan Allah dalam Al-Quranul Karim.

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim bekata : Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati, Allah berfirman : Apakah kamu belum
percaya ? Ibrahim menjawab : Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya,
Allah berfirman. (Kalau demikian), ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya
olehmu, lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu. Sesudah
itu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepada kamu dengan segera, Dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Al-Baqarah : 260]

Inilah contoh-contoh bukti inderawi yang menunjukkan mungkinnya Allah menghidupkan
orang-orang yang sudah mati. Telah diisyaratkan di atas, Allah menjadikan tanda-tanda Isa
bin Maryam yang menghidupkan orang-orang yang sudah mati serta mengeluarkannya dari
kubur dengan izin Allah Subhanahu wa Taala

[Ditulis ulang dari Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi
Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit:
KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone]

Iman kepada hari akhir 1/3

🌹 IMAN KEPADA HARI AKHIR

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan 1/3

Hari akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk
dihisab da dibalas. Hari itu disebut hari Akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari
itulah penghuni Surga dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.

Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur.

[1]. Mengimani bats (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah
mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk
menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

Artinya : Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan
mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan
melaksanakannya [Al-Anbiyaa : 104]

Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al-Kitab, Sunnah dan ijma umat
Islam. Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

Artinya : Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari
Kiamat [Al-Muminun : 15-16]

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda.

Artinya : Di hari Kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki
dan tidak disunat [Hadits Riwayat Bukhari-Muslim]

Umat Islam sepakat akan adanya hari Kebangkitan karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah
yang mengembalikan ciptaanNya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah
diperintahkanNya melalui lisan para rasulNya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

Artinya : Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kami secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ? [Al-Muminun :
115]

Allah Subhanahu wa Taala berfirman kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam

Artinya :Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali [Al-Qashash : 85]

[2]. Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza(pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh
perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al


Quran, Sunnah dan ijma (kesepakatan) umat Islam.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman

Artinya : Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya
kewajiban Kamilah menghisab mereka [Al-Ghasyiyah : 25-26]

Artinya : Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya ; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi
balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya
(dirugikan) [Al-Anam : 160]

Artinya : Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun
pasti Kami mendatangkan (pahalanya). Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat
perhitungan[Al-Anbiyaa : 47]

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda.

Artinya : Allan nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan tutup dan
menutupnya. Allah bertanya : Apakah kamu tahu dosamu itu ? Ia menjawab, Ya Rabbku.
Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah Subhanahu
wa Taala berfirman, Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku
mengampuninya. Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun
orang-orang Kafir dan orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Taala memanggilnya di
hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat
Allah itu untuk orang-orang yang zhalim[Hadits Riwayat Bukhari Muslim]

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Sesungguhnya yang berniat melakukan satu kebaikan lalu mengamalkannya, maka
ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai beberapa lipat
lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah
menulisnya satu kejahatan saja

Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal karena itu sesuai
dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah Subhanahu wa Taala telah
menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk
menerima ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang
diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang
menentangNya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau
tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb Yang Mahabijaksana,
Mahasuci darinya. Allah Subhanahu wa Taala telah mengisyaratkan hal itu dalam firmanNya.

Artinya : Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul
kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka
sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat),
sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)
[Al-Araaf : 6-7]


[3]. Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat
kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertaqwa, yang
mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasulNya, dan kepada
orang-orang yang ikhlas.

Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah
didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu
adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga And yang
mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha
terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Rabbnya[Al-Bayyinnah : 7-8]

Artinya : Tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan [As-Sajdah : 17]

Neraka adalah tempat adzab yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa Taala untuk orang-
orang kafir, yang berbuat zhalim, serta bagi yang mengingkari Allah dan RasulNya. Di dalam
Neraka terdapat berbagai adzab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas
dalam hati.

Artinya : Dan peliharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang
kafir [Al-Imran : 131]

Artinya : Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu Neraka yang
gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi
minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek[Al-Kahfi : 29]

Artinya : Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api
yang menyala-nyala (Neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak
memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika
muka mereka dibolak-balikkan dalam Nereka, mereka berkata ; Alangkah baiknya, andaikata
kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul Al-Ahzab : 64-66]

[Ditulis ulang dari Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Edisi
Indonesia: Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy. Penerbit:
KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone]

Kamis, 22 Oktober 2015

Aku adalah hamba dari sang maha kaya

Adakah pelajaran yang bisa kawan-kawan ambil setelah melihat foto ini ?

......

1. Dia berjualan buah dengan menggunakan gerobak sorong (utk angkut pasir)
2. Lihat dan baca tulisan arab yg ada di bagian depan gerobak buah,
itu artinya : "bagaimana bisa aku takut menjadi miskin (faqir), padahal aku adalah seorang hamba dari Sang Maha Kaya."
Maasyaa Allaah.
3. Mengajarkan kita untuk selalu bersyukur.

Fb Tia Myr

Q o d z a f

Qodzaf
1. Asbabun Nuzul
Para mufasirun berpendapat bahwa
ayat in turun saat terjadinya
peristiwa hadistul ifki yang menimpa
ibunda Aisyah ra. Imam At thobari
berkata : dan sibutkanbahwa ayat ini
turun kepada orang-orang yang
memfitnah ibunda Aisyah.
Sebagaimana juga disebutkan dalam
riwayat Sa’id bin Zubair bahwa ayat
ini turun khusus dalam kasus
ibunda Aisyah. Adapun yang benar
sebagaimana disebutkan oleh
qurthubi dan juga dipilih oleh
thabari bahwa ayat ini bersifat
umum bagi siapa saja yang
menuduh orang berzina
2. Akhmus Syariah
a. Makna dari ﺍﻹﺣﺼﺎﻥ
Sedikitnya ada 4 makna dari al
ikshon pertama : ﺍﻟﻌﻔﺔ
Kedua : ﺔﻳﺮﺤﻟﺍ ketiga : ﺍﻟﺘﺰﻭﺝ keempat
: Islam
b. Syarat-syarat al khadaf
Syarat qadzaf mencakup 3 hal, syarat
pelaku qadzaf, syarat yang diqadzaf
dan ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﺑﻪ
Syarat al qodzif (berakal, baligh,
ihtiyar) sehingga tidak ada had bagi
orang gila,masih kecil atau orang
yang dipaksa. Hanya untuk anak
kecil yang elah menapai masa
remaja dikenai ta’zir yang tidak
mencapai derajat had qodzaf.
c. Syarat yang harus terpenuhi pada
Maqdzuf
Syaratnya adalah islam,
baligh,berakal,merdeka, suci dari
zina. Syarat ini hendaknya masih
terus melekat pada si maqdzuf
sampai terlaksnanya hukuman bagi
qodzif manakala tidak bisa
membuktikan tuduhan zina.
d. Lafazh yang digunakan dalam
qodzaf
i. Sharih : wahai pezina,wahai anak
zina atau menafikan nasab : kamu
bukan anak dari bapakmu
ii. Kinayah: wahai fasik, fajir tidak
dihukumi qodzaf samapi
dijelaskanmaksudnay
iii. Ta’rid : anda bukan pezina ada
khilaf malik = qodzaf syafii dan
hanafy tidak dihitujg sebagi qodazaf
hingga diketahui maksud dari
perkataannya.
e. Hukuma menuduh oragn banyak
i. Jumhur : dihitung Satu (mailk, abu
hanifah, ahmad)
ii. Mendapat had dari setiap tuduha
(laits dan syafi’i)
iii. Dibedakan tentang lafadz apaila
satu untuk semua maka dohitung
satu., jika satu untuk satu8 orang
maka baginya had sejumlah orang
yang dituduh.
f. Apakah saksi disyaratkan adalah?
Syafi’iyah : harus ‘adil sedangkan
hanafiyah : orang fisik bisa menjadi
saksi
g. Apakah kesaksiaan harus melihat
bersama-sama?
Melihat dari dhoirnya ayat tidak
dijelaskan apakah mereka harus
meilhat secara bersamaan atau
sendiri-sendiri.(syafi’I da malik)
hanifah : jika mereka datang tidak
bersamanmaka bagi mereka had.
h. Apakah hukuman bagi budak
sama dengan merdeka
Jumhur : 40 jilid aux\zai dan ibn
hazm dan syiah : 80 jilid
Ibnu mundzir :pendapat pertama
yang rajah
i. Had termasuk hak Allah atau hka
adamy
Hanafy : hak Allah syafi’I dan malik :
hak hamba
j. Apakah diterima kesaksian qodzif
jika bertaubat?
Abu hanifah : fasiknya yang diangkat
sedang syahadattidak diterima
Jumhur : syahdat diterima dan sifat
fasik diangkat
A. PENGERTIAN
Qadzaf menurut bahasa yaitu ram’yu
syain berarti melempar sesuatu.
Sedangkan menurut istilah syara’
adalah melempar tuduhan (wath’i)
zina kepada orang lain yang
karenanya mewajibkan hukuman had
bagi tertuduh (makdzuf).
Sejalan dengan beratnya hukuman
bagi pelaku jarimah zina, hukum
Islam juga mengancamkan hukuman
yang tak kalah beratnya bagi
seseorang yang melakukan tuduhan
berzina kepada orang lain. Hukuman
tersebut tidak dijatuhkan ketika
tuduhannya mengandung
kebohongan. Namun, apabila
tuduhannya dapat dibuktikan
kebenarannya, maka jarimah qadzaf
itu tidak ada lagi dan di jatuhkan
kepada orang yang menuduh.
Artinya, bila si penuduh tak dapat
membuktikan tuduhannya karena
lemahnya pembuktian atau
kesaksiannya, hukuman qadzaf
dijatuhkan bagi si penuduh.
Suatu prinsip dalam fiqih Jinayah
bahwa barang siapa menuduh orang
lain dengan sesuatu yang haram,
maka wajib atasnya membuktikan
tuduhan itu. Apabila ia tak dapat
membuktikan tuduhan itu, maka ia
wajib dikenai hukuman.
B. DASAR HUKUM LARANGAN
QADZAD
Dasar Jarimah Qadzaf adalah firman
Allah:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺮْﻣُﻮﻥَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺼَﻨَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺗُﻮﺍ
ﺑِﺄَﺭْﺑَﻌَﺔِ ﺷُﻬَﺪَﺁﺀَ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﻫُﻢْ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴﻦَ ﺟَﻠْﺪَﺓً
ﻭَﻻَﺗَﻘْﺒَﻠُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓً ﺃَﺑَﺪًﺍ ﻭَﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ
ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ 4} }
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-
lamanya. dan mereka Itulah orang-
orang yang fasik.”
(QS. An-Nuur : 4)
Dalam surat An-Nuur ayat 23, Allah
berfirman :
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺮْﻣُﻮﻥَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺼَﻨَﺎﺕِ ﺍﻟْﻐَﺎﻓِﻼَﺕِ
ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﻟُﻌِﻨُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻷَﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻟَﻬُﻢْ
ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﻋَﻈِﻴﻢٌ 23} }
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang
menuduh wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat
zina), mereka kena la’nat di dunia
dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar, (QS. An-Nuur : 23)
C. UNSUR-UNSUR JARIMAH QADZAF
1. Menuduh zina atau mengingkari
nasab
Maksudnya adalah ucapan yang
mengandung tuduhan atau
penolakan terhadap tuduhan
keturunan, seperti mengatai
seseorang telah berbuat zina atau
menempelkan predikat pezina
kepada seseorang dan tidak
mengakui anak atau janin yang lahir
atau masih dalam kandungan
istrinya.
2. Orang Yang Dituduh Harus Orang
Yang Muhsan
Artinya orang yang dituduh itu
orang baik-baik bukan seseorang
yang biasa berbuat zina, kalau yang
dituduh itu pezina, hal itu bukanlah
tuduhan tetapi sesuai dengan
kenyataannya.
3. Adanya I’tikad jahat
I’tikad jahat inilah yang memotivasi
perbuatan tersebut untuk
mencelakakan orang lain yang tidak
berdosa, sehingga tercemar nama
baiknya aau celaka karena hukumna
dera. Mengenai qadzif (orang yang
menuduh orang lain berzina) ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi,
antara lain: berakal, dewasa, tidak
dipaksa, inilah syarat-syarat yang
menjadi dasar penuntutan.
Sedangkan maqdzuf (orang yang
dituduh berzina) fuqaha’ sepakat
bahwa diantara syaratnya adalah:
islam, akal sehat, baligh, merdeka
(bukan budak), iffah (menjauhi
perbuatan zina). Kelima syarat
tersebut harus terdapat pada
tertuduh agar hukuman qadzaf
dapat dilaksanakan terhdaap
penuduh (atas tuduhan dustanya).
D. PEMBUKTIAN QADZAF
1. Persaksian
Jarimah Qadzaf dapat dibuktikan
dengan persaksian dan persyaratan
persaksian dalam masalah qadzaf
sama dengan persyaratan persaksian
dalam kasus zina. Bagi orang yang
menuduh zina itu dapat mengambil
beberapa kemungkinan, yaitu:
a. Memungkiri tuduhan itu dengan
mengajukan persaksian cukup satu
orang laki-laki atau perempuan.
b. Membuktikan bahwa yang
dituduh mengakui kebenaran
tuduhan dan untuk ini cukup dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki
dan dua orang perempuan.
c. Membuktikan kebenaran tuduhan
secara penuh dengan mangajukan
empat orang saksi
d. Bila yang dituduh itu istrinya dan
ia menolak tuduhannya maka suami
yang menuduh itu dapat
mengajukan sumpah li’an.
2. Pengakuan
Yakni si penuduh mengakui bahwa
telah malakukan tuduhan zina
kepada seseorang.
Menurut sebagian ulama, kesaksian
terhadap orang yang melakukan zina
harus jelas, seperti masuknya ember
ke dalam sumur (kadukhulid dalwi
ilal bi’ri). Ini menunjukkan bahwa
jarimah ini sebagai jarimah yang
berat seberat derita yang akan
ditimpahkan bagi tertuduh,
seandainya tuduhan itu
mengandung kebenaran yang
martabat dan harga diri seserang.
Pera hakim dalam hal ini dituntut
untuk ekstra hati-hati dalam
menanganinya, baik terhadap
penuduh maupun tertuduh.
Kesalahan berindak dalam
menanganinya akan berakibat
sesuatu yang tak terbayangkan.
3. Dengan Sumpah
Menurut Imam Syafi’i jarimah qadzaf
bisa dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak ada saksi dan
pengakuan. Caranya adalah orang
yang dituduh (korban) meminta
kepada orang menuduh (pelaku)
untuk bersumapah bahwa ia tidak
melakukan penuduhan. Apabila
penuduh enggan untuk bersumpah
maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan
dengan keengganannya untuk
sumaph tersebut. Demikian pila
sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa
meminta kepada orang yang dituduh
(korban) bahwa penuduh benar
malakukan penuduhan. Apabila
orang yang dituduh enggan
melakukan smpah maka tuduhan
dianggap benar dan penuduh
dibebaskab dari hukuman had
qadzaf.
Akan tetapi Imam Malik dan Imam
Ahmad tidak membenarkan
pembuktian dengan sumpah,
sebagaimana yang di kemukakan
oleh madzhab Syafi’i. sebagian
ulama Hanafiyah pendapatnya sama
dengan madzhab Syafi’i.
E. HUKUMAN (SANKSI) UNTUK
JARIMAH QADZAF
Dalam qadzaf akan hukuman pokok
yaitu berupa dera (jild) delapan
puluh kali dan hukuman tambahan
berupa tidak diterimanya kasaksian
yang bersangkutan selama seumur
hidup. Hal ini berdasarkan firman
Allah:
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺮْﻣُﻮﻥَ ﺍﻟْﻤُﺤْﺼَﻨَﺎﺕِ ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺗُﻮﺍ
ﺑِﺄَﺭْﺑَﻌَﺔِ ﺷُﻬَﺪَﺁﺀَ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﻫُﻢْ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴﻦَ ﺟَﻠْﺪَﺓً
ﻭَﻻَﺗَﻘْﺒَﻠُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓً ﺃَﺑَﺪًﺍ ﻭَﺃُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ
ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ 4} }
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat rang saksi,
mak deralah mereka (yang menuduh
itu delapan pulah kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya.
(QS. An-Nuur : 4)
Pelaku zina pada hakikatnya
mendapat dua hukuman, yaitu
hukuman fisik (dera dan rajam) yang
telah ditentukan Tuhan dan
hukuman non fisik berupa hilangnya
martabat yang bersangkutan di mata
masyarakat. Oleh karena itu
penuduh pun berhak mendapatkan
hukuman setimpal fisik dan non
fisik. Hukuman fisik berupa dera dan
jild sebanyak delapan puluh kali,
sedangkan hukuman tambahan yang
tak kalah beratnya, bahkan mungkin
inilah yang terberat yaitu tidak
diterima kesaksiannya dalam segala
jenis peristiwa, karena ia telah
berbuat bohong, atau menfitnah.
Hukuman non fisik berupa hilangnya
hak kesaksian bagi si penuduh
sebagai hukuman terberat sebab
hukuman ini menyebabkan
berubahnya martabat si penuduh
dari kategori orang baik-baik menjadi
orang yang dianggap kotor, jahat,
dan tidak dapat di pakai menjadi
saksi.
Adapun pelaksanaan sanksi qadzaf
yang berupa jild ini sama dengan
pelaksanaan sanksi zina, hanya
jumlahnya yang berbeda.
G. HAL-HAL YANG DAPAT
MENGGUGURKAN HUKUMAN
Hukuman qadzaf dapat terhapus/
gugur karena beberapa hal
diantaranya:
1. Mendatangkan sanksi
2. Bila yang dituduh membenarkan
tuduhan penuduh
3. Dimaafkan oleh orang yang
dituduh
Gugur sebab dimaafkan ialah karena
had itu hak orang yang dituduh,
karena inilah had ini tidak dapat
gugur kecuali dengan seizin yang
tertuduh dan dengan
permintaannya, sedangkan yang
tertuduh boleh memaafkannya, dan
apabila si tertuduh sudah
memaafkan, hukuman (had) gugur
karena had itu hak yang tertuduh
semata seperti qishash.