Harta dalam Islam merupakan
amanah dan hak milik seseorang.
Kewenangan untuk menggunakannya
terkait erat dengan adanya
kemampuan
(kompetensi) dan kepantasan
(integritas) dalam mengelola aset
atau dalam
istilah prinsip kehati-hatian
perbankan (prudential principle ).
Prinsip Islam mengajarkan bahwa
“Sebaik-baik harta yang shalih (baik)
adalah dikelola oleh orang yang
berkepribadian shalih (amanah dan
profesional).”
Hak bekerja dalam arti kebebasan
berusaha,
berdagang, memproduksi barang
maupun jasa untuk mencari rezki
Allah
secara halal merupakan hak setiap
manusia tanpa diskriminasi antara
laki
dan perempuan. Bila kita tahu
bahwa kaum wanita diberikan oleh
Allah
hak milik dan kebebasan untuk
memiliki, maka sudah semestinya
mereka
juga memiliki hak untuk berusaha
dan mencari rezki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memuji seseorang yang
mengkonsumsi hasil usahanya
sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah
seseorang mengkonsumsi makanan
lebih baik dari mengkonsumsi
makanan
yang diperoleh dari hasil kerja
sendiri, sebab nabi Allah, Daud,
memakan
makanan dari hasil kerjanya.” (HR.
Bukhari). “Semoga Allah
merahmati seseorang yang mencari
penghasilan secara baik,
membelanjakan
harta secara hemat dan menyisihkan
tabungan sebagai persediaan di saat
kekurangan dan kebutuhannya.” (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
Hal ini
menunjukkan bahwa Islam
menghendaki setiap muslim untuk
dapat mengelola
usaha dan berusaha secara baik,
mengelola dan memenej harta
secara
ekonomis, efisien dan proporsional
serta memiliki semangat dan
kebiasaan
menabung untuk masa depan dan
persediaan kebutuhan mendatang.
Prinsip
ini sebenarnya menjadi dasar ibadah
kepada Allah agar dapat diterima
(mabrur) karena saran, niat dan
caranya baik. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu baik dan
hanya menerima yang baik-baik
saja.” (HR. Muslim).
Kesadaran
akuntabilitas (ma’uliyah) dalam
bidang keuangan itu yang mencakup
aspek
manajemen pendapatan dan
pengeluaran timbul karena
keyakinan adanya
kepastian audit dan pengawasan
dari Allah subhanahu wa ta’ala
seperti sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam :
“Kedua telapak kaki seorang hamba
tidak akan beranjak dari tempat
kebangkitannya di hari kiamat
sebelum ia ditanya tentang empat
hal, di
antaranya tentang hartanya; dari
mana dia memperoleh dan
bagaimana ia
membelanjakan.” (HR. Tirmidzi).
NAFKAH DALAM KELARGA
Secara
prinsip, fitrah kewajiban memberikan
nafkah merupakan tanggung jawab
suami sehingga wajib bekerja
dengan baik melalui usaha yang
halal dan
wanita sebagai kaum istri
bertanggung jawab mengelola dan
merawat aset
keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman: “Kaum
laki-laki itu adalah pengayom bagi
kaum wanita, oleh karena Allah
telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-
laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka… ” (QS. An-
Nisa:34). Dengan demikian, posisi
kepala rumah tangga bagi suami
paralel dengan konsekuensi memberi
nafkah
dan komitmen perawatan
keluarganya secara lazim. Oleh
karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam secara proporsional telah
mendudukkan posisi masing-masing
bagi suami istri dalam sabdanya:
“Setiap
kalian adalah pengayom dan setiap
pengayom akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang
harus diayominya. Suami adalah
pengayom
bagi keluarganya dan bertanggung
jawab atas anggota keluarga yang
diayominya. Istri adalah pengayom
bagi rumah tangga rumah suaminya
dan
akan dimintai pertanggungjawaban
atas aset rumah tangga yang
diayominya…” (HR. Bukhari) Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahkan putrinya, Fatimah
dengan Ali radhiyallahu ‘anhuma
beliau berwasiat kepada
menantunya: “Engkau berkewajiban
bekerja dan berusaha sedangkan ia
berkewajiban mengurus (memenej)
rumah tangga.” (HR. Muttafaq
‘Alaih)
Jadi,
sharing suami-istri dalam aspek
keuangan keluarga adalah dalam
bentuk
tanggung jawab suami untuk
mencari nafkah halal dan tanggung
jawab istri
untuk mengurus, mengelola,
merawat dan memenej keuangan
rumah tangga.
Meskipun demikian, bukan berarti
suami tidak boleh memberikan
bantuan
dalam pengelolaan aset dan
keuangan rumah tangganya bila istri
kurang
mampu atau memerlukan bantuan.
Dan juga sebaliknya tidak ada
larangan
Syariah bagi istri untuk membantu
suami terlebih ketika kurang mampu
dalam memenuhi kebutuhan
keluarga dengan cara yang halal dan
baik serta
tidak membahayakan keharmonisan
dan kebahagiaan rumah tangga
selama
suami mengizinkan, bahkan hal itu
akan bernilai kebajikan bagi sang
istri. Bukankah Khadijah
radhiyallahu ‘anha . ikut andil dalam
membantu mencukupi kebutuhan
keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. sebagai bentuk ukhuwah dan
tolong menolong dalam kebajikan.
(QS.Al-Maidah:2)
Prinsip
keadilan Islam menjamin bagi kaum
wanita hak untuk mencari karunia
Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya
dan ketentuan syariat dengan niat
mencukupi diri dan keluarga untuk
beribadah kepada Allah secara
khusyu’.
Meskipun demikian, istri harus
memiliki keyakinan bahwa tugas
utama
dalam keluarganya adalah mengatur
urusan rumah tangga dan mengelola
keuangan keluarga bukan mencari
nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin)
menyimpulkan dari surat An-Nisa:
32 : “ bagi para lelaki ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan… ”,
prinsip dasar hak dan kebebasan
wanita untuk berusaha mencari
rezki. Sejarah Islam di masa Nabi
telah
membuktikan adanya sosial kaum
wanita dalam peperangan, praktek
pengobatan dan pengurusan
logistik. Di samping itu mereka juga
terlibat
dalam aktivitas perniagaan dan
membantu suami dalam pertanian.
MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA
Manajemen
keuangan keluarga islami harus
dilandasi prinsip keyakinan bahwa
penentu dan pemberi rezki adalah
Allah dengan usaha yang diniati
untuk
memenuhi kebutuhan keluarga agar
dapat beribadah dengan khusyu’
sehingga
memiliki komitmen dan prioritas
penghasilan halal yang membawa
berkah
dan menghindari penghasilan haram
yang membawa petaka. Rasulullah
bersabda: “ Barang siapa berusaha
dari yang haram kemudian
menyedekahkannya, maka ia tidak
mempunyai pahala dan dosa tetap
di atasnya. ”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Demi
Allahyang jiwaku ada di tangan-Nya,
tidaklah seorang hamba memperoleh
penghasilan dari yang haram
kemudian membelanjakannya itu
akan mendapat
berkah. Jika ia bersedekah, maka
sedekahnya tidak akan diterima.
Tidaklah ia menyisihkan dari
penghasilan haramnya itu kecuali
akan
menjadi bekal baginya di neraka.
Sesungguhnya Allah tidak akan
menghapus
kejelekan dengan kejelekan, tetapi
menghapus kejelekan itu dengan
kebaikan sebab kejelekan tak dapat
dihapus dengan kejelekan
pula.” (HR. Ahmad) Dan sabdanya:
“Daging yang tumbuh dari harta
haram tidak akan bertambah kecuali
neraka lebih pantas baginya.” (HR.
Tirmidzi).
Seorang
wanita shalihah akan selalu
memberi saran kepada suaminya
ketika hendak
mencari rezki, “Takutlah kamu dari
usaha yang haram sebab kami masih
mampu bersabar di atas kelaparan,
tetapi tidak mampu bersabar di atas
api neraka.” Demikian pula
sebaliknya suami akan berwasiat
kepada
istrinya untuk menjaga amanah
Allah dalam mengurus harta yang
dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan
secara benar tanpa boros, kikir
maupun haram. Firman Allah yang
memuji hamba-Nya yang baik: “.. Dan
orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqan:67)
Dalam mencari pendapatan, Islam
tidak memperkenankan seseorang
untuk ngoyo
dalam pengertian berusaha di luar
kemampuannya dan terlalu terobsesi
sehingga mengorbankan atau
menelantarkan hak-hak yang lain
baik kepada
Allah, diri maupun keluarga seperti
pendidikan dan perhatian kepada
anak
dan keluarga. Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
bagi dirimu, keluargamu dan
tubuhmu ada hak atasmu yang harus
engkau
penuhi, maka berikanlah masing-
masing pemilik hak itu haknya.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Allah
telah menegaskan bahwa bekerja itu
hendaknya sesuai dengan batas-
batas
kemampuan manusia.(QS.Al-
Baqarah:286). Namun bila
kebutuhan sangat
banyak atau pasak lebih besar
daripada tiang maka dibutuhkan
kerjasama
yang baik dan saling membantu
antara suami istri dalam
memperbesar
pendapatan keluarga dan melakukan
efisiensi dan penghematan sehingga
tiang penyangga lebih besar dari
pada pasak. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah
kamu bebani mereka dengan apa-
apa yang mereka tidak sanggup
memikulnya.
Dan apabila kamu harus membebani
mereka di luar kemampuan, maka
bantulah mereka. ” (HR. Ibnu Majah).
Dalam manajemen keuangan
keluarga juga tidak dapat dilepaskan
dari optimalisasi potensi keluarga
termasuk anak-anak untuk
menghasilkan rezki Allah. Islam
senantiasa
memperhatikan masalah
pertumbuhan anak dengan anjuran
agar anak-anak
dilatih mandiri dan berpenghasilan
sejak usia remaja di samping
berhemat
agar pertumbuhan ekonomi keluarga
muslim dapat berjalan lancar yang
merupakan makna realisasi
keberkahan secara kuantitas maka
Islam
melarang orang tua untuk
memanjakan anak-anak sehingga
tumbuh menjadi
benalu, tidak mandiri dan
bergantung kepada orang lain.
Firman Allah
Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6)
mengisyaratkan bahwa kita wajib
mendidik dan membiasakan anak-
anak untuk cakap mengurus,
mengelola dan
mengembangkan harta, sehingga
mereka dapat hidup mandiri yang
nantinya
akan menjadi kepala rumah tangga
bagi laki-laki dan pengurus
keuangan
keluarga bagi perempuan, di
samping anak terlatih untuk bekerja,
meringankan beban dan membantu
orang tua.
PEMBELANJAAN DAN POLA
KONSUMSI ISLAMI
Pengeluaran
atau pembelanjaan adalah
mengelola harta yang halal untuk
mendapatkan
manfaat material ataupun spiritual
sehingga membantu para anggota
keluarga dalam memenuhi
kebutuhannya. Dalam hal ini
terdapat beberapa
jenis pembelanjaan yang bermanfaat
bagi generasi yang akan datang, dan
pembelanjaan dengan jalan baik
(amal shaleh) untuk mendapatkan
pahala di
akhirat, seperti zakat dan sedekah.
Syariat Islam mengajarkan beberapa
aturan yang mengatur pembelanjaan
keluarga muslim, di antaranya secara
garis besar adalah:
1. Komitmen pembelanjaan dan
pemenuhan kebutuhan dana adalah
kewajiban suami
Suami
bertanggung jawab mencari nafkah
untuk istri dan anak-anaknya sesuai
dengan kebutuhan dan batas-batas
kemampuannya. Allah berfirman:
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang
yang
disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang
diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang
melainkan
(sekadar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan
memberikan
kelapangan sesudah
kesempitan.” (QS. At-Thalaq [65]:7)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “barang siapa
yang menafkahkan hartanya untuk
istri, anak dan penghuni rumah
tangganya, maka ia telah
bersedekah.”
(HR. Thabrani). Hadits ini
mengisyaratkan bahwa pemenuhan
kebutuhan
dana atau pembelanjaan untuk
anggota keluarga itu akan berubah
dari
bentuk pengeluaran yang bersifat
material (nafkah) menjadi
pengeluaran
yang bersifat spiritual ibadah (infaq)
yang membawa pahala dari Allah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam Haji Wada’:
“Ayomilah
kaum wanita (para istri) karena
Allah, sebab mereka adalah mitra
penolong bagimu. Kamu telah
memperistri mereka dengan amanah
Allah dan
kemaluan mereka menjadi halal
bagimu dengan kalimat Allah. Kamu
berhak
melarang mereka untuk membiarkan
orang yang engkau benci memasuki
kediamanmu. Mereka berhak atasmu
untuk dipenuhi kebutuhan nafkah
dan
pakaian secara lazim.”
Menjawab pertanyaan seorang
sahabat tentang kewajiban suami
terhadap istrinya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Dia
memberinya makan ketika dia makan
dan memberinya pakaian ketika ia
berpakaian, serta janganlah dia
meninggalkannya kecuali sekadar
pisah
ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh
memukul wajahnya dan
menjelek-jelekkannya.” Hindun binti
Utbah, istri Abu Sufyan pernah
mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan bercerita
bahwa Abu Sufyan adalah seorang
suami yang pelit, “ia
tidak pernah memberiku dan anak-
anakku nafkah secara cukup. Oleh
karena
itu aku pernah mencuri harta
miliknya tanpa sepengetahuannya.”
Lalu rasul bersabda: “Ambillah dari
hartanya dengan ma’ruf (baik-baik)
sebatas apa yang dapat
mencukupimu dan anakmu.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Seorang sahabat bercerita kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa dia mempunyai uang
satu dinar. Rasulullah bersabda:
“Bersedekahlah
dengannya untuk dirimu, kemudian
sahabat itu bertanya, ‘bagaimana
jika
aku mempunyai sesuatu yang lain?’
rasul menjawab, ‘bersedekahlah
dengannya untuk istrimu.’ Kemudian
ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika
aku mempunyai sesuatu yang lain?’
Rasul menjawab, ‘bersedekahlah
dengannya untuk pelayanmu.” (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
2. Kewajiban menafkahi orang tua
yang membutuhkan
Di
antara kewajiban anak adalah
memberi nafkah kepada orang
tuanya yang
sudah lanjut usia (jompo) sebagai
salah satu bentuk berbuat baik
kepada
orang tua, seperti diisyaratkan Al-
Qur’an: “Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu
berbuat pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra:23).
Rasul bersabda: “Kedua
orang tua itu boleh makan dari
harta anaknya secara ma’ruf (baik)
dan
anak tidak boleh memakan harta
kedua orang tuanya tanpa seizin
mereka.” (HR. Dailami)
Menurut
Ibnu Taimiyah, seorang anak yang
kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan
saudara-saudaranya yang masih
kecil. Jika anak itu tidak
melaksanakan
kewajibannya, berarti ia durhaka
terhadap orang tuanya dan berarti
telah
memutuskan hubungan kekerabatan.
Selain itu, suami dan istri harus
percaya bahwa memberi nafkah
kepada kedua orang tua adalah
suatu
kewajiban seperti halnya membayar
utang kedua orang tua yang bersifat
mengikat dan bukan sekadar
sukarela. Hal itu tidak sama dengan
memberikan sedekah kepada kerabat
yang membutuhkan yang sifatnya
kebajikan.
3. Istri Boleh Membantu Keuangan
Suami
Jika
seorang suami tidak mampu
mencukupi kebutuhan rumah
tangganya karena
fakir, istri boleh membantu suaminya
dengan cara bekerja atau berdagang.
Hal itu merupakan salah satu
bentuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa
(saling tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan) yang
dianjurkan
Islam. Selain itu, istri pun boleh
memberikan zakat hartanya kepada
suaminya yang fakir atau memberi
pinjaman kepada suami apabila
suami
tidak termasuk fakir yang berhak
menerima zakat.
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur
Keuangan Rumah Tangga
Telah
dijelaskan bahwa suami wajib
berusaha dan bekerja dari harta
yang halal
dan istri bertanggung jawab
mengatur belanja dan konsumsi
keluarga
dalam koridor mewujudkan lima
tujuan syariat Islam, yaitu dalam
rangka
memelihara agama, akal,
kehormatan, jiwa dan harta. Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Istri adalah pengayom bagi
rumah tangga suaminya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas
aset rumah tangga yang
diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila
seorang istri menyedekahkan
makanan rumah tanpa efek yang
merusak
kebutuhan keluarga, maka dia
mendapat pahala dari amalnya.
Demikian pula
suami mendapatkan pahala dari
hasil usahanya, demikian pula
pelayan
mendapatkan bagian pahala tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit
pun.” (HR. Tahbrani).
5. Istri berkewajiban untuk hemat
dan ekonomis.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidak akan jatuh
miskin orang yang berhemat”. (HR.
Ahmad). Selain itu ia harus realistis
menerima apa yang dimilikinya
(qana’ah). Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sungguh
beruntung orang yang masuk Islam,
diberi rezki cukup dan menerima apa
yang Allah berikan kepadanya.” (HR.
Muttafaq ‘Alaih).
6. Seimbang Antara Pendapatan dan
Pengeluaran yang Bermanfaat
Istri
tidak boleh membebani suami
dengan beban kebutuhan dana di
luar
kemampuannya. Ia harus dapat
mengatur pengeluaran rumah
tangganya
seefisien mungkin menurut skala
prioritas sesuai dengan penghasilan
dan
pendapatan suami, tidak boros dan
konsumtif. (QS. Al-Baqarah:236, 286)
Abu bakar pernah berkata: “Aku
membenci penghuni rumah tangga
yang membelanjakan atau
menghabiskan bekal untuk beberapa
hari dalam satu hari saja.”
Islam
menganjurkan umatnya untuk
bekerja dan berusaha dengan baik .
Islam
juga menganjurkan agar hasil
usahanya dikeluarkan untuk tujuan
yang baik
dan bermanfaat. Keluarga muslim
dalam mengelola pembelanjaan,
harus
berprinsip pada pola konsumsi
islami yaitu berorientasi kepada
kebutuhan
(need ) di samping manfaat (utility )
sehingga hanya
akan belanja apa yang dibutuhkan
dan hanya akan membutuhkan apa
yang
bermanfaat. (QS. Al-Baqarah:172, Al-
Maidah:4, Al-A’raf:32). Dalam
berumah tangga, suami-istri
hendaknya memiliki konsep bahwa
pembelanjaan
hartanya akan berpahala jika
dilakukan untuk hal-hal yang baik
dan
sesuai dengan perintah agama.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Sesungguhnya tidaklah
kamu menafkahkan suatu nafkah
dengan ikhlas karena Allah kecuali
kamu mendapat pahala
darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).
7. Skala Prioritas Pengeluaran
(Perlu/ Needs Vs Ingin/ Wants )
Islam
mengajarkan agar pengeluaran
rumah tangga muslim lebih
mengutamakan
pembelian kebutuhan-kebutuhan
pokok sehingga sesuai dengan
tujuan
syariat. Ada tiga jenis kebutuhan
rumah tangga, yaitu:
a. Kebutuhan primer,
yaitu nafkah-nafkah pokok bagi
manusia yang diperkirakan dapat
mewujudkan lima tujuan syariat
(memelihara jiwa, akal, agama,
keturunan
dan kehormatan). Kebutuhan ini
meliputi kebutuhan akan makan,
minum,
tempat tinggal, kesehatan, rasa
aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Kebutuhan sekunder,
yaitu kebutuhan untuk memudahkan
hidup agar jauh dari kesulitan.
Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi
sebelum kebutuhan primer
terpenuhi.
Kebutuhan ini pun masih
berhubungan dengan lima tujuan
syariat.
c. kebutuhan pelengkap.
Yaitu kebutuhan yang dapat
menambah kebaikan dan
kesejahteraan dalam
kehidupan manusia. Pemenuhan
kebutuhan ini bergantung pada
kebutuhan
primer dan sekunder dan semuanya
berkaitan dengan tujuan syariat.
Prioritas
konsumsi dan pembelanjaan ini juga
terkait dengan prioritas hak-hak
yaitu hak terhadap diri (keluarga),
Allah (agama), orang lain. Orang
lain juga diukur menurut kedekatan
nasab dan rahim, yang paling utama
adalah orang tua kemudian saudara.
(QS.Al-Anfal:75) Aplikasi
aturan-aturan di atas menuntut
peran ibu rumah tangga untuk
memperhitungkan pengeluaran
rumah tangga secara bulanan
berdasarkan tiga
kebutuhan di atas, dengan tetap
menyesuaikannya dengan
pendapatan,
sehingga rumah tangga muslim
terhindar dari masalah-masalah
perekonomian
yang ditimbulkan atau sikap boros
untuk hal yang bukan primer.
Islam
mengharamkan pengeluaran yang
berlebih-lebihan dan bermewah-
mewahan
karena dapat mengundang kerusakan
dan kebinasaan. Allah berfirman:
“Dan
jika Kami hendak membinasakan
suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (suatu mentaati
Allah)
tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, maka
sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya
perkataan (ketentuan Kami),
kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya.” (QS. Al-Isra’:16).
Selain itu, bergaya hidup mewah
merupakan salah satu sifat orang-
orang yang kufur terhadap nikmat
Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka
yang kafir di antara kaumnya dan
yang mendustakan akan menemui
hari
akhirat (kelak) dan yang telah Kami
mewahkan mereka dalam kehidupan
di
dunia…” (QS. Al-Mu’minun:33). Nabi
juga sangat membenci gaya hidup
mewah: “Makan,
minum dan berpakaianlah sesukamu,
sebab yang membuat kamu berbuat
kesalahan itu dua perkara: bergaya
hidup mewah dan berprasangka
buruk.” (HR. Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas).
8. Bersikap Pertengahan dalam
Pembelanjaan
Islam
mengajarkan sikap pertengahan
dalam segala hal termasuk dalam
manajemen
pembelanjaan, yaitu tidak
berlebihan dan tidak pula kikir atau
terlalu
ketat. Sikap berlebihan adalah sikap
hidup yang dapat merusak jiwa,
harta dan masyarakat, sementara
kikir adalah sikap hidup yang dapat
menimbun, memonopoli dan
menganggurkan harta. Kedua pola
ekstrim dalam
konsumsi itu memiliki mendekati
sifat mubadzir. Firman Allah: “Dan
orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqon :67) “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan
janganlah
kamu terlalu mengulurkannya karena
itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS. Al-Isra:29) “dan
janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu)
secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan
itu
adalah sangat ingkar kepada
Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Allah
akan memberikan rahmat kepada
seseorang yang berusaha dari yang
baik,
membelanjakan dengan pertengahan
dan dapat menyisihkan kelebihan
untuk
menjaga pada hari ia miskin dan
membutuhkannya.” (HR. Ahmad).
“Tidak akan miskin orang yang
bersikap pertengahan dalam
pengeluaran.” (HR. Ahmad).
Jika
pembelanjaan kita telah sesuai
dengan aturan-aturan Islam, Allah
akan
memajukan usaha kita serta
melipatgandakan pahala dan berkah-
Nya. Bahkan
Allah akan memberikan kelebihan
hasil usaha agar kita dapat
menyimpan
dan menabungnya untuk menjaga
datangnya hal-hal yang tidak
terduga atau
untuk menjaga kelangsungan hidup
generasi yang akan datang.
Semoga bermanfaat!
PengusahaMuslim.com didukung
oleh Zahir Accounting Software
Akuntansi Terbaik di Indonesia .
Senin, 16 November 2015
Harta dalam islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar